Memeluk Diri
29 tahun hidup menjadi saksi manipulasi dunia dan segala bentuk kegilaan di dalamnya. Masih waras rasanya menjadi dua kata yang istimewa. Aku sedang mendramatisir hidup sendiri, tak sedang lancang mengomentari dunia manusia lain. Pada masalah yang berulang dan sama, kecil-kecil bentuknya, namun mengguncang segala jenis emosi yang ada. Seolah-olah berusia 29 tahun adalah momen terbaik penyadaraan akan realita. Semua terasa serba tanggung, takut bermimpi lebih tinggi, bagaimana jika terjatuh di pertengahan jalan? Hanya membayangkan untuk memuali lagi saja membuat lelah, apalagi harus bertarung dengan waktu. Memang umur bukanlah batasan untuk melakukan apapun dalam hidup, namun entah mengapa, semakin bertambahnya umur, membuatku semakin takut.
Aku tak sedang berencana untuk mundur. Tak ada sedikit pun terbersit dalam pikiran, aku bisa tersandung dan kembali pada titik awal. Di tempat ini, setiap hari adalah perjuangan. Perjuangan melawan sepi yang terlalu aku resapi dan nikmati. Perjuangan melawan masa lalu yang sebenarnya sudah tak berarti apa-apa. Namun, manusia sepertinya tak menyukai perasaan sederhana. Aku menemukan diri sedang bergelut pada bayangan yang dengan bijaknya aku maafkan begitu saja, di titik warasku yang pernah tersisa. Kini, gila sedang menguasai diri, aku ingin berlari dan mengobrak-abrik tenang sebagai alasan penutup kisah. Berjuta kali skenario itu terputar di kepala. Pada akhirnya, aku tak pernah memiliki sedikit pun keberanian.
Terlalu banyak isi kepala tanpa bisa berbuat apa-apa. Terlalu banyak ingin namun terkubur pada pupusnya semangat, meredup bersama waktu yang terbuang begitu saja. Aku bahkan tak ingat lagi apa yang pernah kulakukan. Rasanya parameter bermakna yang aku gaungkan memudar, berlahan hilang terbawa matahari musim panas. Perasaanku mendingin, rasionalku pun tak bekerja, dan mulai tenggelam pada memori lama yang terasa sedikit menenangkan jiwa. Ragaku berpetualang pada senyum pertama yang pernah membuat jantung berdegup tak normal. Atau pada percakapan sederhana yang paling kubenci namun diam-diam aku rindukan. Pada panggilan sederhana namun tak pernah ada lagi yang melafalkan.
Selamat merayakan hari bahagia untuk hidup yang baru pada dua pasang manusia. Kamu melanjutkan hidup pada kisah baru, itu adalah pilihan terbaik sebagai manusia, karena apapun yang terjadi, selama napas masih berhembus, bukankah berjalan ke depan adalah hal yang wajib? Aku pun melakukan hal yang sama, percayalah sosok manusia itu sudah tak memiliki arti apapun, bagai debu tak terlihat wujudnya, namun mengotori hal-hal di sekitarnya. Perasaan menyesal itu menyiksa dan membunuh berjuta kali. Ingin aku cabik-cabik tiap keping bayang yang menghantui, membakarnya pada emosi, dan menenggelamkannya di palung terdalam lautan.
Aku sedang mengutuk perasaan buruk sendiri, untuk mu doa baik selalu dilangitkan. Kalkulasi realita yang menumpuk dan aku biarkan begitu saja. Menamparku untuk kembali pada waras yang tersisa. Pada dunia yang sering aku skenariokan alurnya, yang aku tentukan akhir dan tokoh utamanya, kini memanipulasiku dan menjadikanku tokoh kecil yang tak berarti apa-apa. Merangkak untuk menemukan jalan menuju akhir melegakan, melawan sepi pada kesendirian yang didominasi gelap dan bayang akan kelamnya satu fase kehidupan. Menghantui untuk meminta pertanggung jawaban pada pemilik yang jatuh cinta pada pengandaian yang tak mungkin terwujud. Pada satu manusia yang bersahabat baik dengan sepi, semoga datang satu tenang dari sosok yang sedang berpindah pada dunia sakral ibadah terpanjang yang Tuhan perintahkan.
0 Komentar