Cerita kita telah lama usai. Bertumpuk dengan banyak memori tanpa hadirmu. Bertahun-tahun aku lewati hari, berusaha mengabaikan tiap bayang yang selalu hadir, bersama senyummu yang tak sedikitpun hilang dari ingatan. 


Perpisahaan hari itu adalah kesepakatan, ku lepas pergimu dengan senyum dan air mata. Beberapa kali aku berusaha menahanmu untuk tak pergi. Menawarkan bersama untuk melewati apapun yang mengganggu pikiran. Kau bilang ingin bertumbuh lebih baik, seolah aku penghalang terbesar. 


Kau adalah kenangan yang berwarna, tak semua memori terasa manis, kadang kala hitam terlau kuat mendominasi, obrolan tak selalu menghadirkan nyaman, lebih pada sesak inginnya berhenti beradu argumentasi.



Usia 27 tahun tak membuatku dewasa. Diri yang tertawa merasa dicintai tertinggal di sana, 5 tahun lalu. Terjebak dalam cerita dongeng yang kita rangkai bersama. Atensi yang kau berikan, hal-hal kecil yang tak pernah aku tahu akan menjadi pegangan pada bayangmu nantinya. Sesal menjadi teman karib, menemani memori yang terus kembali ke permukaan. Mengisi tiap sisi ruang kosong dalam diri.

Netramu yang menenduhkan, menenangkan resah dan memberi rasa aman. Hari demi hari presensimu menguat, menyabotase diri dan membawa kembali pada memori masa lalu. Tatapmu yang intens pada netraku, seolah membaca isi pikiran. Tawamu meledak, melihatku membuang muka seketika. Kau mengenalku dengan baik, tiap sisi yang aku sembunyikan rapat dari dunia.




Mungkin, aku butuh penutup cerita. Tapi aku pun tak ingin mematahkan usaha sendiri dalam melepasmu. Dulu, rasa itu tak pernah salah, selalu tepat untuk pemiliknya. Namun, sekarang aku cukup mengerti, sejak awal ternyata memang salah. Tak ada lagi memori nyata, hanya aku yang mengglorifikas hadir yang tak kasat mata. Menjadikannya objek untuk meluapkan campuran perasaan yang tak jelas maknanya.


Berapa kali pun ku bongkar kenangan lama dalam galeri foto, tak ada kamu, meski dalam beberapa potret diri masih tersimpan jejak yang menghubungkan. Sudah usai lama, meski tiap lagu yang meceritakan kisah, menari kembali senyummu memenuhi diri. Hanya sesaat dalam hilangnya sadarku terhadap realita.

0 Komentar