BAYANGAN KEMBAR KELABU
Oleh: Rabiatul
Adawiyah
KESAMAAN YANG
MENUSUK
“Kedua
tangan itu menyatu, bersama dan tak terpisahkan.
Menggenggamnya
dengan erat, hingga waktu tak rela
memisahkannya.
Mereka
tidak akan melelepaskan genggaman itu
atau
genggaman itu yang akan meninggalkan mereka
jauh
dan membuat mereka merasa sendiri
menghadapi dunia
dunia yang tak mudah dipahami.
Bahkan
dapat menghancurkan hanya karena mereka ingin mencoba mengenalnya”.
Seorang gadis berdiri
di dekat jendela kamarnya yang terbuka lebar. Menatap suasana pagi yang cerah.
Suara burung-burung berkicau di luar sana, seolah bernyanyi untuk gadis itu.
Matanya yang bulat menatap bunga-bunga mawar yang ada di taman rumahnya.
Sedangkan seseorang
yang memiliki mata yang sama dengan gadis yang menatap ke luar jendela itu
sedang menatap pantulan dirinya di cermin. Melihat seperti apa dirinya. Dia
tersenyum pada pantulan dirinya, kemudian mengambil sebuah mawar yang ada di sampingnya.
Sebuah bunga yang menjadi ikatan di antara dia dan gadis yang ada di dekat
jendela itu.
Dia mengambil pensil
dan sebuah kertas. Dia mulai menuangkan isi pikirannya dalam kertas yang putih
itu.
Mawar
merah adalah sebuah ikatan yang suci…
Yang
menggambarkan keindahan di antara kita…
Tapi,
seindah apapun mawar ini…
Dia
akan tetap menusuk, membuat kita terluka suatu saat nanti…
Jika
kau tertusuk, pegang tangan ini…
Karena
Kita satu ikatan
Dalam simpul yang sama
Genggam tangan ini,
Dan, kita menyatu….
*****
Kedua gadis yang
mengenakan tas punggung sama tapi berbeda warna
itu tersenyum bangga menatap sekolahnya. Bangunan berlantai tiga itu
sudah penuh dengan manusia yang menggunakan seragam putih abu. Di depan
gerbangnya terukir dengan besar namanya “SMA 48 SELONG, LOMBOK TIMUR”.
Sekolah ini yang
mengajarkan mereka bagaimana cara menghargai sesama, menjadikan mereka manusia
yang memiliki pendirian. Membentuk kepribadian
mereka. Tapi, tanpa mereka sadari di sekolah inilah awal semuanya terjadi, awal
badai yang mencoba menghasut, sebelum badai yang lain datang.
Mereka berdua memasuki
kelas, memandang setiap ujung ruangan. Semua teman-teman mereka sudah datang,
ada yang tertawa. mengerjakan pr di sekolah, lebih tepatnya mencontek pr teman
sebangku. Ada yang melamun menikmati kesendiriannya karena antisosial. Berbagai
macam karakter manusia ada di kelas ini. Meskipun begitu mereka tetap menyatu
menjadi sebuah keluarga kecil.
“Hai twin sister” sapa
seorang gadis di belakang sambil melambaikan tangan ke arah mereka berdua,
dan mereka berdua tersenyum menatap
gadis itu.
“Pagi anak-anak” sapa
seorang guru setengah baya. Guru yang terkenal dengan kata-katanya yang menusuk
hati membuatnya berbeda dari guru yang lain, dia salah satu guru yang mempunyai
kata-kata yang jujur mengenai bagaimana kemampuan peserta didiknya, meskipun
kata itu menyakitkan dia tidak pernah peduli. Membuat semua siswa enggan
berhadapan dengannya, mereka lebih memilih sakit fisik daripada sakit hati. Tapi
bagaimanapun juga, mereka tidak bisa menghindar dari guru yang berparas cantik
ini. Karena pelajaran yang diajarkan memang sangat penting, Kimia. Pelajaran yang membuat semua siswa
berpikir “Lebih baik tidur daripada harus pusing“. Guru ini memang sangat
kompeten dalam mengajar tapi karena sifatnya yang seperti itu membuat siswa
selalu waspada, memperhatikan pelajaran dengan dibayangi sebuah kekhawatiran
mendapat kata-kata itu.
Selain itu, guru yang
biasanya dipanggil Ibu Mia ini mempunyai segudang peraturan saat di kelas, dia
tidak ingin ada siswa yang mengganggu di saat dia sedang menjelaskan materi
pelajaran. Semua siswa harus memperhatikan pelajaran, karena selalu ada kuis
lima menit terakhir sebelum bel keluar main berbunyi.
“Fara Amaliya dan Fira
Amaliya kerjakan soal nomor 1 dan 2” perintahnya. Dia memang menyukai si kembar
karena salah satunya memang anak jenius dalam bidang eksak yang dilahirkan
untuk menjadi generasi muda yang akan memajukan Indonesia.
Fara mendekatkan diri
pada Fira membisikkan sesuatu di telinganya, “Masih ingat kan?” Tanyanya penuh
perhatian pada saudara kembarnya ini.” Lumayan,” balas Fira sambil tersenyum padanya,
tapi ada getar kekhawatiran dalam nada bicaranya. Kebiasaan Fira yang selalu
berkeringat saat dia disuruh mengerjakan soal di depan.
Fara membalikkan
tubuhnya. Berat hatinya meninggalkan sang adik sendiri. Fara memahami apa yang
terjadi pada adiknya, tapi apa yang bisa dilakukannya untuk membantu. setiap
gera-gerik yang dilakukan oleh Fara selalu ditatap tajam oleh Ibu Mia. Membuat Fara
mendelik ketakutan.
“Fira, menyakitkan
menjadi dirimu. Harus berbeda dengan saudaramu sendiri. Tidak bisakah kamu
secepat Fara?” tanyanya. tanpa mempedulikan kata-kata yang dapat menyakitkan
hati, salah satu sifat Ibu Mia yang paling dibenci Fara, mengatakan begitu saja
perbedaan yang dimiliki keduanya dalam pelajaran. Fara yang jenius dan Fira
yang menengah membuat Fara merasa bersalah pada adiknya. Kenapa dia tidak
membagi kejeniusannya itu pada saat di dalam kandungan. Sehingga mereka bisa
terlahir dengan tingkat kecerdasan yang sama. Mengapa hanya satu yang
membedakan mereka. Kenapa harus ini?
membuat Fara selalu ingin menggantikan posisi Fira di saat yang seperti ini
Sungguh Fara menyalahkan ketidakadilan yang menimpa. Meskipun begitu, Fira yang
selalu berkata “Kakak bisa membaginya padaku, ajarkan padaku setiap saat.
Sampai di akhir waktu aku akan mengalahkan kakak”. Kata itulah yang yang selalu
membuat Fara merasa tenang, karena tidak ada perasaan seperti apa yang
dirasakan oleh Fara dalam diri Fira.
“Saya akan mengejarnya” jawab Fira dengan
penuh kepercayaan diri sambil tersenyum pada Ibu Mia. Dia memberi tanda titik
pada pekerjaannya pertanda dia telah selesai. Memang tidak secepat yang
dilakukan Fara tapi yang terpenting baginya dia mampu mengerjakannya.
“Kamu jangan hanya
berkata, buktikan dengan tindakan dan hasil” sindir Ibu Mia membuat kepercayaan
diri Fira menguap ke udara.
“Bener tuh. Sudah tau tidak mampu, kenapa tidak bertanya. Tahu diri
dong,” kata Tia dengan suaranya yang melengking. Suasana kelas mulai gaduh,
menyudutkan Fira dalam ketidakberdayaannya dalam bidang eksak.
Fara terkesiap
mendengar ucapan Tia. Ditatapnya gadis itu dengan tatapan tajam. Dia tidak
terima Fira dihina seperti itu. Kata-kata itu menggurat hatinya.
“Sudah. Hentikan!. Fira
seharusnya kamu malu dengan dirimu sendiri, diasingkan dalam duniamu” kata Ibu
Mia. Dia menatap jam tangannya, kemudian meninggalkan kelas.
Suara bel berbunyi setelah kepergian Ibu Mia.
Semua siswa berhamburan ke luar kelas, perut mereka yang sedang bergoyang meminta
sesuatu untuk mengganjalnya. Menjadikan pemiliknya merasa kesal.
“Mulutnya Ibu Mia,
mengapa selalu berkicau seperti itu. Menyebalkan! Gerutu Fira. Sedangkan Fara
hanya tersenyum melihat tingkah adiknya
Mereka berdua ke luar
kelas setelah semua teman-temannya pergi ke kantin. Tangan mereka tetap
menyatu. Menggenggamnya dengan erat seperti yang biasa mereka lakukan. mereka
berjalan. Melewati semua siswa yang
menatapnya dengan tatapan aneh ataupun iri, karena mereka tidak memiliki apa
yang dimiliki kedua gadis itu. Sebuah cermin untuk melihat diri mereka.
Langkah mereka terhenti, di persaimpangan
antara kelas XI IPA dan XI IPS. Fara dan Fira
melepaskan genggaman itu, melangkahkan kaki mereka pada arah yang
berlawanan. menentang hati mereka yang tidak ingin dipisahkan, meski hanya
sebentar.
“Semangat,”kata Fira.
Dia melambaikan tangannya pada Fara yang melangkah menuju ke perpustakaan. “Kamu
juga,” balas fara sambil tersenyum.
Fara sudah ditunggu
oleh semua guru untuk membicarakan tentang lomba Kimia tingkat nasional yang
akan diadakan tiga bulan lagi. Inilah salah satu tanggung jawab yang harus dijalani
Fara, kejeniusannya dituntut untuk membawa nama sekolahnya dikenal di semua kalangan
bahkan Indonesia. Sebuah tanggung jawab yang harus diselesaikannya sendiri
tanpa bantuan orang lain.
*****
Fira memejamkan
matanya. Memikirkan lagi pilihannya, kegemarannya,
bahkan yang akan menjadi bagian dari hidupnya. “Bukankah aku sama dengannya,
hanya berbeda jalan untuk menempuhnya?” Tanya Fira pada dirinya sendiri dan
tersenyum untuk meringankan beban yang mulai dirasakannya. Tapi dia akan
bertahan, benteng dalam hatinya masih kuat. Ada Tuhan yang akan membantunya
menghadapi semua itu. Semua perbedaan yang ada
Fira membuka matanya
menatap ruangan yang ada di depannya, mading.
Fira membukanya pelan, hatinya sudah menetapkan pilihanya. “Kita sama, tapi berbeda”.
“Hai semua. Apa kalian
sudah siap untuk pertempurannya?”, Tanya Fira ceria seperti biasanya. Dia
langsung berbicara pada inti masalahnya. Tersenyum pada teman-temannya
“Tentu saja” jawab
anggota mading dengan kompak, mereka tersenym. Rasa senang bergelut dalam diri
mereka. Lomba yang sudah lama mereka nantikan akhirnya tiba.
“Karena temanya tentang
menyelamatkan bumi dari tangan kerusakan. Apakah ada yang memilki ide?” Tanya Fira.
Pandangannya menyapu semua anggota mading.
“Bagaimana tentang
sebuah ilustrasi cerita yang menggabungkan gambar tentang manusia yang ingin
menyakiti alamnya sendiri.” Kata seorang gadis dengan tubuhnya yang kecil. Dia
bersemangat mengeluarkan ide yang brilian itu dari otaknya.
“Boleh juga idenya Gita”
kata Fira. Gadis bernama Gita itu tersenyum bangga kerena Fira sang ketua
menerima pemikirannya.
Mereka berdua menempuh
jalan yang berbeda. Jalan yang sudah mereka pilih. Menjalaninya karena itu adalah sebuah pilihan
yang mereka sudah tentukan. Menerima semuanya, karena hidup setiap orang sudah
memiliki skenario sendiri, meskipun mereka sama sekalipun. Tidak ada yang bisa
menjamin apa yang akan terjadi dengan pilihan mereka.
Memang pada
kenyataannya SMA 48 lebih membanggakan mereka siswa yang berprestasi dalam
bidang akademik ketimbang mereka yang berprestasi dalam bidang nonakademik. Karena
hal itu menjadikan mereka yang ada tenggelam dalam ribuan orang yang
berprestasi dalam bidang akademik.
****
JURANG KEABADIAN
DALAM GURATAN TAKDIR
Takdir
memberikan semua orang sebuah kesempatan,
Kesempatan
yang akan pudar
Jika
tidak digunakan
Takdir
yang akan menusuk, menerjang membawa mereka pada jurang kehidupan
Sebuah
palung terdalam dalam hidup
Terus
berputar mengelilingi setiap detik dari hidup
Membuat
mereka terlupakan dalam penjara yang menakutkan
Mengguratkan
sakit yang berlebihan
Fara dan Fira menatap
miris pada orang yang ada di hadapannya. Tangannya yang menengadah membuat Fara
merasa kasihan tapi tidak dengan Fira. Dia berpikir untuk apa meminta belas
kasihan pada orang lain, selama dia masih bisa melakukannya. Bahkan Allah sudah berkata demikian pada umatnya,” Jangan
pernah kamu mengemis pada orang lain”.
Fara mengeluarkan uang
dari sakunya memberikannya pada pengemis itu sedangkan Fira hanya menatapnya
dengan tatapan heran.”Dia masih mampu, untuk apa meminta pada orang lain?” kata
Fira tanpa mempedulikan pengemis itu.
“Karena dia
membutuhkannya” jawab Fara tenang. Sambil terus berjalan menikmati setiap
langkahnya, menjejaki jalan pulangnya.”Kita memang tidak tahu apa yang
sebenarnya terjadi padanya. Apakah dia memang tidak mampu lagi ataupun hanya
berpura-pura tidak mampu, itu semua adalah urusannya dengan Tuhan. Kita sebagai
manusia hanya bisa menolongnya. Bukankah itu tugas kita?, membantu orang yang
membutuhkan” jelas Fara panjang lebar pada adiknya.
Fira mengangguk, merenungkan semua yang
diucapkan Fara barusan. Mencari sebuah kebenaran dari apa yang didengarnya,
menjelajahi setiap lekukan kepalanya. Mungkin jawaban tentang itu sedang
bersembunyi dibalik saraf-saraf yang menumpuk di otaknya.
*****
Fara menghempaskan
tubuhnya di kasurnya yang didominasi dengan warna biru. Dia mencoba memejamkan
matanya, ingin segera berlari ke dalam mimpinya. Menjadikan mimpi-mimpi itu
nyata dalam dunianya. Sedangkan Fira, dia membuang begitu saja tas punggungnya
lalu mengambil handuk yang tergantung bebas di dekat kamar mandi. Dia masuk
membersihkan wajahnya. Mengambil air wudu dan menyelesaikan tugasnya pada Sang
Ilahi.
“Salat dulu” kata Fira
pada Fara yang mulai terbuai dengan kenyamanan kasurnya yang hangat. Fara
menganggukan kepalanya, tapi matanya tetap terpejam. Pikirannya sedang melayang
memikirkan betapa beruntungnya dia.”aku
bersyukur terlahir bersama dia, saudara yang selalu mengingatkan aku saat mulai
terbuai dengan dunia, saudara yang akan membawaku ke jalan yang benar, menjadikanku
manusia yang pandai mensyukuri segalanya” batin Fara.
Meskipun sikap Fira
yang kadang tidak memikirkan sesuatu itu membuatnya terlihat seperti orang
egois. Seperti yang dilakukannya tadi siang. Namun, dibalik sikapnya itu ada
ketegasan dalam dirinya. Ada kepercayaan yang kuat membuatnya memiliki
perbedaan yang mendasar antara dirinya dan Fara. Tapi dengan semua itu mereka
saling melengkapi, saling mengingatkan di saat mereka mulai melupakannya.
“Terima kasih” ucap Fara
seketika. Fira hanya mengerutkan kening mendengar kata-kata itu. Dia heran
untuk apa mengucapkan terima kasih pada saudara sendiri karena memang itu peran
yang harus dijalaninya saling melengkapi satu sama lain.
“Tentu”, jawab Fira
sambil tersenyum. Dia melanjutkan kegiatannya. Membiarkan Fara menjalankan
kewajibannya pada yang kuasa.
“Fara, Fira. Makan
dulu” teriak seseorang dari lantai bawah. Suaranya terdengar berat.
“Ya, Ma,” jawab Fara.
Dia melipat perlengkapan salatnya. Ditatapnya Fira yang tidak kunjung bangkit
dari duduknya. “Cepetan,” kata Fara sambil menarik tangan Fira. Fira berdiri
dengan malas. Langkahnya gontai, rasa malas sedang menghantui dirinya.
*****
Fira mengambil buku
gambar di atas meja belajarnya. Dia mulai
mencoret-coretkan pensilnya pada kertas itu. Garis yang awalnya hanya sebuah
titik dia kembangkan menjadi sebuah garis yang memiliki titik-titik keindahan.
Menuangkan segala imajinasinya. Menjadikan kertas kosong itu dunia fantasinya.
Memikirkan ide-ide yang harus dituangkan
dalam lembaran itu. Sebuah ide yang dapat menarik semua orang ingin tahu apa
isinya. Sebuah ide yang dapat membantu kelompoknya menjadi pemenang tahun ini.
Bagi Fira tidak sulit melakukannya karena dia memang menyukai apa yang
dilakukannya.
“Soal tersulit lagi?”
Tanya Fira pada Fara yang sedang fokus pada buku kumpulan olimpiade Kimia di meja
belajarnya. “Tidak ada pilihan lain, selain menghadapinya” kata Fara sambil tersenyum pada Fira.
“Ajari aku setelah ini,
seperti kata Ibu Mia aku harus bertindak” kata Fira sambil tertawa. Dia merasa
lucu dengan kata-kata itu. Lama-lama dia bosan mendengar kata-kata yang tidak
memiliki variasi itu.
“Kamu memang sudah
bertindak, hanya saja Ibu Mia yang tidak menyadarinya. Jangan dengarkan kata-kata
itu. Lupakan saja” kata Fara menyalahkan Ibu Mia. Dia kembali memfokuskan
dirinya pada bukunya. Tenggelam dalam
soal-soal rumus yang menumpuk.
Fira hanya tersenyum
getir. Memikirkan perkataan Fara yang membela dirinya. memang sebuah keajaiban
Fara bekata seperti itu. Kata yang sedikit kasar yang pernah diucapkannya pada
guru kebanggaannya itu.
*****
PERMAINAN SANG
WAKTU
DALAM DEKAPAN
SANG ILAHI
Waktu
membuat mereka berbeda dalam kesamaan yang palsu
Sebuah
topeng untuk menutupi segalanya
Kamu
dan dia..
Akan
tenggelam dalam permainannya
Mencoba
melawannya,
Membuatmu
jatuh dalam limbungan darah
Membuatmu
menyesal tersesat dalam tipu daya yang bersimbah
Waktu
menjelajah dalam dekapan Sang Ilahi
Fara berjalan menuju
perpustakaan. Langkahnya sekarang sendiri, tidak ada Fira yang akan mengajaknya
mendentumkan nada di setiap langkahnya. Dia akan mempersiapkan lomba itu. Berkutat
bersama buku-buku yang menumpuk. Buku yang mulai usang karena sang waktu.
Bergelut bersama teman yang memiliki kosa kata yang sedikit, atau bahkan yang
tidak memiliki kosa kata dalam bahasa Indonesia. Mereka hanya memiliki kosa
kata sebuah rumus.
Tidak ada Fira yang
cerewet dengan teori kebahasaannya, yang menjelaskan tentang ide-ide menarik
untuk menghiasi mading, menampilkan acara musik yang membuat semua orang
tertawa. Memang tidak ada rumus-rumus yang rumit keluar dari mulut Fira. Dan
itu memuat Fara senang karena dia bisa membebaskan pikirannya dalam cengkeraman
rumus.
Fara melihat sekelilingnya
dia menatap seorang lelaki yang bernama Alan. Dia menggunakan kaca mata tebal, menunduk
menatap dengan serius pada buku matematikanya. Suara angin yang berbisik tidak
dapat memecahkan konsentrasinya.
Alan merupakan salah
satu siswa yang memilki kosa kata paling sedikit. Sikapnya yang antisosial tapi
memiki tingkat kecerdasan membuatnya disegani semua kalangan, terutama para
gadis. Misterius dan cerdas, itulah yang semua orang pikirkan tentang dia.
”Bagaiaman caramu
menikmatinya?” kata Fara bergurau pada dirinya sendiri lebih tepatnya ingin
bertanya pada lelaki itu. Tapi dia takut mengganggunya
Fara menghembuskan napasnya
yang berat, dia kembali menatap bukunya, menenggelamkan pikirannya pada soal
yang ada, ingin menyelesaikan tugasnya.
Lelaki itu mengangkat
kepalanya. Dia seperti mendengar suara orang yang mengatakan sesutau.”Hanya
pikiranku saja” kata lelaki itu pada dirinya sendiri. Dia kembali melakukan
aktivitasnya, sikapnya yang antisosial membuatnya terbiasa untuk tidak bertanya
pada orang lain, dia terbiasa tidak membutuhkan orang lain. Terbiasa melakukan
segalanya sendiri.
*****
“Untuk mendukung ide
yang sudah disampaikan oleh Gita. Bagaimana kalau kita membuat sebuah miniatur
bumi yang sebagian terbakar dan sebagian lagi tetap hijau. Hal itu menunjukkan
sebagian kerusakan yang sudah terjadi karena ulah manusia yang lebih
mementingkan diri sendiri. Manusia yang lebih mengutamakan kebutuhannya
sehingga dia mengeksploitasi hutan secara besar-besaran, hingga akan menyebabkan
kegundulan pada hutan. Menimbulkan berbagai macam bencana terutama tanah
longsor karena tidak ada tumbuhan yang akan menahan tanah-tanah. Sedangkan untuk
puisinya akan mengangkat tentang bagaimana kita menyelamatkan bumi itu melalui
tangan-tangan generasi muda, dengan mengajarkannya sejak dini” jelas Fira
menyalurkan ide yang ada dalam pikirannya, Saat menjelaskan ide tersebut Fira
mondar-mandir kesana kemari, kedua tangannya menari untuk menjelaskan
maksudnya.
Semua anggota mading
yang lain menyetujui idenya, tapi akan ditambahkan berbagai macam artikel yang
akan mendukung ide tersebut. Anggota mading yang lain memang bersyukur dengan
adanya Fira di tengah-tengah mereka.
“Ada yang ingin bertanya?” Tanya Fira pada
anggota yang lain. Seorang gadis mengangkat tangannya.” Bagaimana kalau kita
melatih kecepatan dalam mendekorasi mading, bukankah lombanya juga diukur dari
segi berapa banyak waktu yang kita habiskan?” kata gadis itu
“Kamu benar, Ka. Aku
hampir melupakan hal itu.” jawab Fira sambil tersenyum telunjuknya terangkat
saat dia mengucapkan kalimat itu.Mereka pun berlatih mendekorasi mading dengan
memanfaatkan waktu yang sesingkat mungkin.mengupayakan yang terbaik untuk mading
tahun ini.
“Mulai dari sekarang”
perintah Fira sambil melihat jam tangannya. Lomba mading kali ini merupakan
lomba terbesar dalam sejarah. Lomba ini diikuti oleh semua sekolah yang ada di
NTB karena itu mereka berusaha menampilkan sebaik mungkin yang mereka bisa. Mereka
ingin dianggap keberadaannya. Mereka ingin mengubah pandangan semua orang
terutama sekolah bahwa tidak hanya bidang akademik yang akan memajukan sekolah,
tapi bidang non-akademik juga bisa melakukannya.
Sebenarnya bagaimana sekolah itu maju bukan
hanya diukur dari satu bidang saja tapi semua bidang yang ada di lingkungan
sekolah tersebut. Mereka bertekad membuat yang berbeda itu menjadi satu dalam
naungan yang seharusnya, dalam ikatan yang sama, dalam sandaran yang sama yaitu
sekolah. Apapun itu sekolah inilah yang membuat mereka menjadi satu keluarga
besar yang berkumpul dalam berbagi macam watak.
Fira berpamitan pada
anggota yang lain “Aku duluan, ya,” Katanya. Kemudian pergi meninggalkan ruang mading.
Dia ingin pulang bersama Fara.
Fira melihat jam tangan yang dia kenakan, dia
mengerutkan keningnya. Dia berlari dengan cepat menuju perpustakan tanpa
meperhatikan setiap langkah kakinya, yang dia pikirkan hanya satu “Fara sudah
pulang dan dia terlambat datang”. Karena itu Fira hampir saja menabrak
seseorang yang baru saja keluar dari dalam perpustakaan
“Maaf.” ucap Fira merasa
malu karena tidak berhati-hati. Sedangkan lelaki itu menatapnya heran, keningnya
berkerut. Dia seperti melihat sesuatu yang aneh di hadapannya. Fira jadi merasa
tidak nyaman keran tatapan lelaki itu. “Memang
ada yang salah dari penampilan ku. “ batin Fira. Tangannya memegang ujung
jilbabnya karena merasa tidak nyaman dengan tatapan itu. Dia berbalik berlari
lagi meninggalkan lelaki itu dengan pikirannya “aneh.” batin lelaki itu.
****
Fira menatap jam dinding
yang ada di ruang tamu. Setiap detik dia habiskan dengan rasa khawatir yang ada
dalam dirinya. Dia merasa bersalah padanya karena meninggalkan Fira pulang
terlebih dahulu. “Kamu ke mana Fir?” tanyanya pada ruangan yang sepi itu.
Fira mendorong pintu
rumah yang tidak terkunci. Keringat mengalir di dahinya napasnya
terengah-engah. Dia memang berlari sepanjang jalan, dia tidak ingin membuat Fara
merasa cemas karena keterlambatannya.
”Assalamu’alaikum, aku
pulang” kata Fira ceria. Dia menghampiri Fara yang sedang berada di ruang tamu,
berdiri sambil memegang dahinya, rasa khawatir tergambar jelas dalam raut
wajahnya.
”Aku baik-baik saja”
kata Fira mengejutkan Fara. Kakaknya ini memang memiliki tingkat kekhawatiran di atas
rat-rata.
“Maaf tidak menunggumu”
kata Fara. Fira hanya menganggukan kepalanya, rasa haru menyelimuti dirinya. Dia
hanya tidak pulang bersama membuat Fara meminta maaf, cemas akan dirinya.
Betapa beruntung
hidupnya, memilki saudara yang selalu peduli padanya. Saudara yang akan menjadi
sandarannya, yang akan selalu menggenggam tangannya, dan dia tidak akan
melepaskannya apapun yang terjadi , tangan mereka.”kuucapkan beribu syukur padamu Tuhan” batin Fira.
***
BULAN DAN
BINTANG TERHIMPIT SINAR
Bulan
dan bintang sang penghias malam…
Suatu
pertanda kebesaran Tuhan…
Mereka
memang ciptaan yang sempurna…
Bulan
dengan sinarnya yang terang …
Dan
bintang yang tetap mencoba bersinar…
Mengalahkan
sang bulan dalam sinar nun jauh di angkasa…
Akan
ada titik dimana dia akan mencoba menyingkirkan sinar bulan...
Meski
itu adalah suatu kemustahilan…
Karena
sinarnya terhimpit sinar bulan…
Beribu bintang di angkasa
selalu menjadi saksi kebersamaan mereka saat malam, bahkan sudah menjadi
sahabat setia mereka. Kedua pasang mata itu menengadah ke langit, menatap
betapa indahnya alam semesta yang diciptakan Tuhan di malam hari, mereka
membayangkan begitu sempurnanya tangan Tuhan yang mengolah dunia ini menjadi
begitu indah.
Bintang itu berkelap-kelip
seolah bintang itu juga merasakan keberadaan manusia. Memberikan manusia
jawaban atas apa yang sering mereka katakan. Menjadi saksi buta bagi mereka
yang sedang bahagia ataupun sedih. Bintang-bintang itu membuat berbagai macam
pola dalam kejauhan yang terbentuk dalam satu lingkar yang tidak akan terpisah.
Jika bintang itu dihubungkan akan membuat suatu pola sesuai dengan keinginan. Menggapai
bintang berarti menggapai sebuah mimpi yang selalu diinginkan semua orang.
Begitu juga dengan Fara
dan Fira, mereka memiliki mimipi yang berbeda. Mereka ingin menggenggam bintang
mereka. Membuatnya bersinar dalam genggaman tangan mereka. Menjadikan bintang
itu sebagi pegangan hidup mereka jika saatnya akan tiba.
Fara mengangkat
tangannya, telunjuknya menghubungkan bintang-bintang membentuk suatu kalimat,
teknik kimia. Dia tersenyum bangga dengan apa yang dia ingin gapai. Sebuah
mimpi yang sudah diputuskannya, ditetapkannya. Fara menekuni bidang kimia
karena dia ingin menggapai mimpinya. Sesaat dia menatap Fira yang ada di
dekatnya. Terbaring di atas rumput, matanya tertutup tapi Fara yakin dia tidak
tertidur, karena sebuah senyum mengembang di bibirnya. Entahlah apa yang sedang
dia pikirkan.
Fara dan Fira memang
sedang berada di taman belakang rumahnya, sebuah taman yang dirancanng khusus untuk mereka, dari taman ini terlihat
jelas pemandangan malam yang mengesankan, yang meremukkan hati ketika melihat
taburan bintang di angkasa yang gelap. Tempat ini menjadi tempat rahasia bagi
mereka berdua, karena tidak ada seorang pun yang pernah ke taman itu sekalipun
kedua orang tua mereka.
“Jurnalis” kata Fira. tiba-tiba
dia membuka matanya, telunjuknya mulai menghubungkan bintang-bintang membentuk
sebuah ukiran dengan kata jurnalis, impiannya. Sebuah mimipi yang ingin
digapainya, ingin digenggamnya sama seperti Fara.
“Kita harus
menggapainya, bersama. Apapun rintangannya, selalu pegang tangan ini” kata Fara
mengulurkan kedua tangannya pada Fira. Fira menggapainya dengan cepat, dia
memang akan selalu membutuhkan tangan ini. sekarang mereka dalam posisi
terlentang kedua tangan mereka bersatu dengan erat.
“Kak Fara bagaikan
bulan, yang menunjukkan jalan untuk bintang,” kata Fira sambil menatap bulan
yang sedang mengejek sinar bintang yang mulai meredup dimakan gelapnya malam.
“Jika aku bulan maka
kamu juga bulan” kata Fara sambil tersenyum.
“Bulan hanya satu.
Anggap saja aku bintang yang sedang mengemis cahaya pada bulan. Tapi, aku akan
berusaha mengalahkan bulan agar aku tidak bergantung pada cahayanya. Bulan
memiliki cahaya yang lebih terang dari bintang, meskipun bintang itu indah,
tapi dia akan tersingkir karena cahaya bulan, mungkin bintang akan mengalah
karena meskipun dia berusaha melawan, dia tahu dia tidak akan mampu” kata Fira,
dia tetap memandang langit saat mengucapkan itu.
Fara diam, dia sudah
tidak tahu kata apa yang akan dikatakannya. Dia mendadak kekurangan kosa kata,
tidak tahu kosa kata yang mana yang tepat untuk menjawab perkataan Fira. Karena
terpojok dalam pembicaraan yang membuat Fara merasa hatinya mengerti apa yang
dimaksud Fira, dia yang dibanggakan dan Fira yang direndahkan.
“Sudahlah. Anggap saja
aku bergurau,” kata Fira sambil tertawa, menertawakan dirinya yang mulai
merasakan perbedaan yang ada.
“Begini, bukannya aku
ingin menyembunyikan karakter dalam diriku, hanya saja aku berpikir tidak salah
menjadikan seseorang itu sebagai sebuah motivasi, yang akan menjadikanku lebih
baik dari sebelumnya, membuat sebuh getar semangat” kata Fira dengan bahasanya
yang klise. Dia tersenyum mendengar kata-katanya sendiri.
Fara menatapnya dengan
tatapan heran, sama sekali tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh
saudara kembarnya ini. Baru saja Fara berpikir bahwa Fira mulai merasakan
perbedaan antara dirinya. Tapi, sekarang Fira sudah kembali pada wataknya yang
sesungguhnya, ceria.
Mengapa tiba-tiba Fira
mengatakan sesuatu yang menyimpang dari pembicaraan yang bahkan tidak
dimengerti oleh Fara. Fara lebih baik dihadapkan pada persolan perhitungan yang
paling rumit sekalipun, ketimbang harus menerjemahkan kalimat yang memiliki
berbagai macam makna, tergantung dari sudut pandang mana orang mengartikannya. Menurut
Fara bahasa yang seperti itu tidak memiliki makna yang pasti, sangat berbeda
dengan bidang kegemarannya. Saat menemukan jawaban A dalam sebuah soal maka jawabannya
pasti A, asalkan tidak salah dalam perhitungan. Kimia itu ilmu pasti. Bukan
hanya kimia tapi semua perhitungan lainnya.
“Jangan mulai
menghadapkanku pada bahasamu yang sulit itu. Katakanlah!. Sepertinya ada yang
tersimpan di hati” kata Fara sambil tersenyum jahil pada Fira, dan senyum itu
mampu membuat Fira merasa kesal.
“Mengagumi seseorang,
salah tidak?” Tanya Fira hati-hati dalam mengucapkannya, jika dia tidak menjaga
nada bicaranya saat mengucapkan kalimat itu, senyum yang tidak diinginkan Fira
akan terkembang begitu saja, mengejeknya.
Fara tertawa
sejadi-jadinya, dia memegang kepalanya mengingat lagi apa yang baru saja
dikatakan oleh adiknya. Apa pendengarannya masih berfungsi dengan baik,
sepertinya ada sebuah petir yang menggelikan terdengar oleh telinganya.
“Tentu saja” kata Fara
akhirnya. Dia menghentikan tawanya mencoba memahami situasinya. Mungkin Fira
sedang tidak bercanda dan dia tidak sepatutnya tertawa karena itu memang bukan
hal yang salah. Setiap orang pasti akan merasakan hal itu, dan itu tidak bisa
dihentikan, hanya bisa dikontrol agar perasaan itu tidak membuncah. Hati boleh
dimiliki orang lain tapi palung hati yang paling dalam, hanya boleh
dipersembahkan untuk Sang Pencipta yang memberikan kehidupaan dan sebuah
kesempatan untuk menjalaninya.
“Sebenarnya aku juga
tidak terlalu memahami situasinya. Semuanya terjadi begitu saja. Bahkan aku
tidak mengetahui namanya. Bertemu dengannya dalam keadaan yang menurutku
lumayan genting. Dia juga menatapku dengan tatapan aneh, membuatku tidak
nyaman. Tapi ada yang berbeda dalam tatapan itu, sebuah ketulusan” cerita Fira
panjang lebar.
“Aku juga tidak
mengerti tentang hal yang seperti itu, karena memang aku tidak pernah
merasakannya. Kamu bisa menjadikan perasaan itu sebagai sebuah motivasi” jelas Fara
dengan bijaksana. Dia ingin mencoba memahami apa yang sedang melanda adiknya. Sesuatu
yang baik ataukah buruk yang dapat memerdaya adiknya. Tapi dia berharap adiknya
bisa mengendalikan semuanya.
“Tenang kak, perasaanku
tidak seperti apa yang ada dalam pikiran kakak. hanya sebatas kagum karena
pancaran ketulusan itu sangat jelas di matanya”.
Fara tersenyum lega
mendengar perkataan adiknya. Dia tidak ingin Fira mengalami sesuatu yang dapat
menyakiti hatinya. Bahkan sesuatu yang sangat disukai bisa menghancurka seseorang dalam hitungan detik, bagaikan
musuh dalam selimut. Bersembunyi dalam diri dan akan meyerang saat dia mulai
merasa tersakiti.
Taman itu selalu
menjadi saksi apa yang tengah mereka ceritakan tentang masalah yang mereka
hadapi, tentang sesuatu yang mencoba menghantui pikiran mereka. Saling
membaginya untuk dirasakan bersama. Menjadikan masalah itu menjadi masalah
bersama untuk diselesaikan bersama.
*****
JURANG
DI PENGHUJUNG WAKTU
Sesuatu
yang membuat semua orang tenggelam…
Tenggelam
dalam hitamnya kehidupan…
Menjelma
menjadi sebuah jurang…
Waktu dengan kejam memberi dendam..
Menjerumuskan mereka…
Dalam titik kekosongan…
Cepat
dan mencekam…
Membuatnya
terjebak, menguncinya dalam lingkar syaitan…
Di
penghujung waktu yang mulai terbiaskan…
Matahari sedang tertawa
pada semua orang yang ada di bumi, menertawakan betapa kesalnya semua orang
karena ulahnya. Dia menyinari bumi dengan penuh semangat, sehingga menimbulkan
radiasi panas yang berlebihan. Membakar apa saja yang ada. Tapi apa pedulinya
matahari tentang semua kekekesalan manusia di bumi. Dia hanya menjalankan tugas
dan hanya akan berhenti ketika sahabatnya malam sudah datang. Apa yang
dilakukan adalah sebuah kewajiban dari Sang Pencipta yang menciptakannya dengan
begitu sempurna.
Semua siswa SMA 48 mengalihfungsikan
buku mereka yang semula berfungsi untuk mencatat menjadi kipas angin. Panas itu
membuat mereka tidak konsentrasi dalam menerima pelajaran. Apalagi jam
pelajaran terakhir berhubungan dengan perhitungan yang membutuhkan konsentarsi
tinggi untuk dapat memahami materinya yang rumit. Rumus-rumus itu seperti
sebuah teka-teki yang mengelilingi otak mereka. Seperti sebuah permainan yang
menantang sekaligus mengejek.
Fira menatap papan
tulis dengan sorot mata yang tajam, dia berharap dengan memperhatikan guru yang
sedang menjelaskan materi tentang reaksi
redoks dan elektrokimia itu dapat dipahaminya dengan mudah, tapi faktanya itu
tidak semudah yang dia pikirkan, bukan hanya karena materinya yang menurut Fira
sulit tapi juga karena suasana siang yang membuatnya ingin tertidur, ditambah
lagi dengan suara Ibu Mia yang sangat kecil membuatnya ingin segera menuju alam
mimpinya. Suara itu bagaikan sebuah aluanan musik, dan materi itu sebagai
pelengkap cerita sebelum tidur.
Fira membuka matanya
dengan kedua tangannya, memaksanya terus menatap papan yang tadinya putih
bersih berubah menjadi hitam karena tumpukan reaksi kimia sudah terpajang di
sana. Fira membaca beberapa contoh soal untuk disalin ke buku catatannya.
Setarakan
reaksi berikut ini
NaCrO2 + Br2
+ NaOH Na2CrO +
H2O
Fira
menguap untuk kedua kalinya, matanya sudah merah, andai saja guru yang satu ini
tidak memilki kebiasaan yang sangat dibenci Fira, bukan hanya Fira tapi hampir
semua siswa di SMA 48, terkecuali saudara kembarnya Fara, bagi Fara pelajaran
perhitungan adalah makanannya.
Fira
menghela napasnya yang berat, ditatapnya jam tangan yang melingkar di tangannya,
tinggal lima menit sebelum memasuki waktu kuis. Dia menoleh pada bangku di
sebelahnya, menemukan Fara sedang mengerjakan kumpulan soal kimia. Dia ingin menanyakan beberapa soal yang membuatnya
ingin menangis tapi melihat Fara yang begitu serius mengerjakan soal membuat Fira
tidak enak untunk mengganggunya.
Fira
harus rela terjebak dalam lubang itu, dia sudah berusaha keras untuk
menghindarinya tapi pada akhirnya dia akan terjatuh.
“Fira
amaliya, kerjakan soal nomor satu” perintah Ibu Mia dengan lembut, tapi ada
getar yang berbeda dalam kelembutan kalimatnya yang terbungkus dalam kengerian.
Fira terdiam, penyakit tidak tenang dan rasa khawatirnya mulai merasuki
dirinya.
Fara mengangkat kepalanya dari bukunya saat
nama Fira dipanggil. Dia tersenyum memberikan Fira semangat. Senyum itu memang
memberikan sebuah ketenangan dalam diri Fira, tapi tetap saja dengan senyuman
itu Fira tidak dapat menjamin dia mengerjakan soal itu dengan benar.
1. Setarakan reaksi berikut ini dengan
cara setengah reaksi dalam suasana asam, basa dan bilangan oksidasi
Cu + HNO3 Cu(NO3)2
+ NO + H2O
Fira melangkahkan kakinya yang terasa sangat berat,
dia tidak ingin meninggalkan tempat duduknya. Tangannya gemetaran saat memegang
spidol, dia berpikir keras mencoba mengingat contoh-contoh soal yang diberikan
tadi. Memang dia mengingatnya tapi Fira bingung harus menempatkannya di mana,
rasa tidak percaya dirinya mulai kambuh.
Tidak ada satupun yang dia ingat tentang bagaimana
cara menyelesaiakn soal ini. “bagaimana ini?” kata Fira pada dirinya sendiri.
Keringatnya sudah bercucuran membasahi tubuhnya. Dia hanya megetuk-ngetukkan
spidol yang dipegangnya. Papan putih itu sama sekali tak dapat dinodainya.
“Bukankah
kalian sama, ibu hampir tidak bisa membedakan kalian, karena memang kalian selalu
bersama kapan pun itu. Tapi di saat ibu mengajar, perbedaan diantara kalian
sangat signifikan. Seharusnya kamu tahu diri Fira, kalau tidak bisa kamu harus
belajar. Ada Fara yang akan mengajarimu” suara lembut Ibu Mia sudah menjadi
begitu buas di telinga Fira. Fira sudah
tidak bisa menahannya, tapi apa yang bisa dilakukannya, semua itu fakta yang
tidak bisa lagi disangkal. “bertahanlah
benteng pertahananku, meskipun kamu mulai terkikis, jangan sampai kamu membenci
saudara kembarmu sendiri, sandaranmu” batin Fira Dia mencoba menguatkan hatinya yang sedikit demi sedikit mulai
terkikis.
“Kemana otakmu ketika Ibu menjelaskan. Soal
segampang itu tidak dapat kamu kerjakan. Ibu malu sebagai pembimbing kelasmu.”
Kata Ibu Mia dengan nada menyakitkan, menekan setiap kalimatnya.
Dibangkunya, Fara mendadak menjadi sebuah patung,
dia tidak pernah menyangka kata-kata itu sangat melukai dirinya, bagaimana
dengan Fira. Kalau dia saja begitu terluka mendengarnya bagaimana dengan Fira?.
Fara ingin berteriak mengatakan tidak
ada manusia yang sempurna, setiap manusia mempunya kekurangan dan kelebihan. Fara
merasa tidak adil ditempat ini, mengapa semua orang hanya bisa melihat
kekurangan Fira, bagaiman dengan kekurngannya sendiri, dia bahkan tidak
mengerti kalimat Fira yang begitu sederhana. Kenapa tidak ada yang melihat
kelebihan Fira dalam berbahasa, semua orang menutup fakta tentang hal itu.
”Fira,
maaf membuatmu menjadi seperti ini harusnya aku yang ada di posisimu, begitu
sobongnya diriku, hingga membuatmu direndahkan” batin
Fara
“Kamu pikir mading bisa membuatmu masuk universitas
ternama, kamu jurusan ipa bukan bahasa. Dan ibu pembimbing kelas ini yang harus
bertanggung jawab atas kalian semua” lanjut Ibu Mia, suaranya yang lembut itu
benar-benar sudah berubah menjadi suara penyanyi rock yang sedang mengalunkan
nada dengan keras ditelinga Fira
Fira ingin
berlari menjauhi semua orang, bersembunyi di dalam terowongan yang begitu
gelap,sehingga tidak ada satupun orang yang dapat menemukannya.
“Katakan sesuatu , aku membutuhkan tangan kakak
untuk mearikku saat ini” batin Fira. Dia begitu berharap Fara
dapat menolongnya, mengulurkan tangannya. Tapi apa yang diharapkan tidak
terjadi dan itu membuat hati Fira semakin terkikis, tidak ada tangan yang
selalu terulur saat Fira sedang sedih, tidak ada tangan yang selalu menggengam
tangannya dengan erat, tidak ada kata-kata yang selalu menyejukkan hatinya, “kemana
perginya semua itu”. Pikir Fira
*****
Fira menatap gambar-gambar, artikel, puisi dan
cerpen yang sudah dibuatnya. Air matanya mulai jatuh membasahi pipinya dia
sudah tidak kuat lagi tapi dia harus tetap menghadapinya karena semua ini
adalah cobaan hidupnya.”Aku tetap bangga bisa membuat kalian semua” kata Fira
seolah berbicara pada karya yang sudah dibuatnya.
Fira menerawang ke dalam pikirannya, dia ingin
menghilangkan semua yang telah terjadi barusan, kata-kata yang menyakitkan
dirinya, kata-kata yang membuatnya mulai lelah dengan semua perbedaan yang ada.
Fira menjelajah lebih jauh lagi membongkar isi
pikirannya, dia ingin mencari kata yang sempat didengar dari Fara setelah
kejadian itu “Aku ingin menggantikanmu,
fir” , kata itu memang sangat singkat dan sederhana bagi orang lain tapi
sangat luar biasa bagi Fira, kata itu seperti sebuah obat yang dapat
menyembuhkan luka dengan cepat.
“Mungkin kata itu terlalu berat, sehingga aku tidak
bisa membawanya sendiri, aku membutuhkan tangan lain untuk membantuku tapi
tangan itu tidak kunjung datang” ucap Fira pada dirinya sendiri.
“Ada aku”kata seseorang yang tiba-tiba masuk ke
dalam ruang mading. Gadis itu duduk di samping Fira, dia membelai pundak Fira
untuk menenangkannya.
“Makasih, git” kata Fira pada gadis yang bernama Gita itu. Fira memeluknya mencoba membagi apa yang
dirasakannya.
“Bukan salah Fara, memang sudah takdir yang membuat
semua ini terjadi”kata Gita bijaksana.
“Tentu, aku hanya butuh waktu untuk sendiri, aku
merasa bersalah pada Fara karena membuatnya ikut merasakan sakit ini” kata Fira
.
Fira tersenyum, ternyata masih ada tangan yang ingin
menghapus kesedihannya, meskipun tangan itu tidak sebegitu hangat tangan Fara.
Tapi, bagaimanapun juga, Fira bersyukur masih memiliki tangan ini, tangan
sahabatnya gita.
*****
Fara membolak-balik buku kimianya, tidak ada satupun
soal yang paling sulit yang mampu menghilangkan rasa cemasnya, kekhawatirannya,
dan rasa sedihnya. Fira saudara kembarnya sendiri mulai menjauhinya bagaimana
mungkin dia dapat bertahan lagi, siapa yang akan menjadi sandarannya, siapa
yang akan membalas genggaman tangannya. Jika Fara disuruh memilih lebih baik
dia menjadi orang yang tidak memiliki kemampuan apapun ketimbang harus
kehilangan saudaranya sendiri.
Kenangan bersama Fira mulai berkelebat dalam
benaknya, canda dan tawa, sedih dan senang telah mereka bagi satu sama lain,
mengapa semuanya terasa begitu cepat berlalu. Baru tadi malam mereka membagi
perasaan mereka, tapi karena waktu yang hanya beberapa jam memisahkan mereka
yang sudah tujuh belas tahun bersama.
Fara
menggigit pensilnya, matanya mulai berkaca-kaca, rasa bersalah dalam dirinya
telah memuncak keluar begitu saja. Dia ingin menyakiti dirinya, siapa yang
peduli. Tidak akan ada yang mencegahnya di tempat ini, perpustakaan selalu
sepi.
Fara menatap seorang laki-laki yang selalu duduk di
pojok ruangan, berkutat dengan buku matimatikanya, Alan. Maunusia yang anti
sosial itu bukan jenis orang yang peduli pada urusan orang lain.
Fara berteriak, air matanya yang tertahan sejak tadi meluap begitu saja.
Suara tangisnya pecah dalam ruangan yang penuh keheningan itu. “Terlalu sulit
tanpamu”
Alan menghampiri guru piket itu. Dia mengguncang
tubuhnya yang sedang tertidur dengan pulas, dia bahkan tidak mengucapkan
apa-apa ketika guru piket itu bangun dan bertanya “Kenapa?” pada Alan. Lelaki
itu hanya menunjuk Fara yang sedang menangis sambil memeluk lututnya, suara
tangisnya yang keras sudah berubah menjadi isakan tertahan.
“Kamu kenapa?” Tanya guru piket itu khawatir pada Fara,
dia membawa Fara ke uks untuk membeTiannya obat karena badan Fara sedikit
demam. Fara menurut saja, karena dia memang sudah kehabisan tenaga dan nafsu
untuk menolak. Semaunya seoalah-olah sudah mati dalam benak Fara.
“Tidak
punya hati,” batin Fara. Dia benar-benar tidak habis
pikir bagaimana Alan itu dibuat oleh Tuhan. Dan dia pikir, dia yang paling
sempurna hanya karena terlahir dengan sifatnya yang tidak berperikemanusiaan
itu, terlahir dengan otak yang cerdas.
Dia pikir karena semua itu orang akan menggaguminya, mengatakan “si
cerdas yang misterius”, meneriakkan namanya. Bagaimana mungkin dia tidak
berpikir kalau banyak sekali orang yang tersiksa, direndahkan dan diabaikan
karena keberadaannya. Tidak inginkah manusia anti sosial itu keluar dari jurang
kehidupan yang dirancangnya sendiri dalam skenarionya yang tidak memperdulikan
orang lain.
“Sombong,
tapi mungkin semuanya sudah terlanjur,dia terlanjur jatuh dalam jurang itu. Hingga dia
tidak tahu bagaimana cara keluar, dan itu membuat dia trebiasa, terbiasa dengan
kesendiriannya, meskipun yang dirasakan hanya kesepian yang selalu
menghantuinya” batin Fara. Dia menoleh pada Alan sebelum
langkah kakinya hilang dibalik pintu perpustakaan mengingatkan Fara satu hal “Mungkin karena aku juga sudah terbiasa
bersama Fira, membuat ku bisa merancang kata-kata indah itu” . Air mata Fara
jatuh lagi mengingat semua tentang dia dan Fira.
*****
Fira membuka kamar tidurnya dengan pelan, dia tidak
ingin kepulangannya diketahui oleh Fara. Memang perasaannya sudah membaik tapi
sekarang rasa minder mulai menghantuinya. Fira merasa sangat rendah berada di
samping Fara, dia tampak kecil dan tidak berarti.
Fara menatap jam yang ada di meja belajarnya, jam
14. 30. “Tumben tidur siang, biasanya dia selalu berkutat dengan buku using
kesayanggannya” kata Fira sambil berjAlan mendekati Fara
Dia terkejut
dengan apa yang dilihatnya, wajah Fara sangat pucat, bibirnya yang merah
berubah menjadi pucat pasi, tubuhnya berkeringat dan mengigau menyebut nama Fira.
Fira menaruh tangnnya di dahi Fara. Suhu tubuh Fara
sangat tinggi, fanasnya menjalar memasuki diri Fira. Membuatnya semakin merasa
bersalah “Maaf, pasti karena diriku” batin
Fira.
Dengan gerakan yang cepat, Fira berlari ke dapur untuk
mengambil baskom, es batu dan handuk kecil. Dia ingin mengonpres Fara agar fanasnya
turun. Dia tidak tahu obat jenis apa yang harus dibeTiannya pada Fara, karena
itu Fira tidak ingin mengambil resiko yang akan berdampak fatal pada kesehatan Fara.
Fira menggengam tangn Fara sambil berbaring
didekatnya. “Bukankah, tanganku ini adalah sandaran kakak, kenapa tidak
mencarinya saat kakak butuh. Tangan ini dengan cepat akan menyambut
tangan kakak, menggenggamnya seperti
yang selalu kita lakukan. Meski benteng pertahannan ku mulai terkikis, tapi aku
akan berusaha untuk selalu mengingat satu hal bahwa kakak adalah cerminan diriku,
disaat akau ingin tahu seperti apa wajahku, kakak selalu ada menjadi cerminku.
Aku akan bertahan sampai aku sudah tidak mampu lagi menghadapinya, karena
hatiku tidak selamanya akan seperti ini, waktu akan mengubahnya. Maaf, bila
suatu hari hati kumulai kehilangan arah dan mulai melupakan siapa kakak, orang
yang selalu menjadi naunganku. Pada saat itu tiba, aku ingin kakak selalu
mengngiatkanku, membawaku kembali untuk menata semuanya, bahwa kita sama karena
kita memang tidak berbeda. Ulurkanlah selalu tangan kakak, mesipun aku akan
menolaknya, terus berusah dan jangan berhenti melakukannya,” Ucap Fira pada Fara
yang sedang tertidur. Air mata Fira jatuh lagi, membayangkan semuanya akan
berubah seiring dengan berjalnnya waktu. Karena Fira tidak bisa menghentikan
waktu yang selalu berputar, maka dia dan Fara harus siap menerima segala
perubahan yang akan terjadi.
*****
MAWAR MERAH DARAH
KEINDAHAN YANG MENUSUK
Biarkan
sinar merah ini mengeringkan kesedihanku…
Biarkan
semua anganku terbang menembus waktu…
Dan,
biarkan kesenyapan menghapusku dari duniamu…
Menjadikanku
lenyap dalam debu…
Sinar
kita sudah menyatu, saling melawan
Mencari
kemenangan dalam kekosongan…
Membuatku
memulainya untuk menyerang…
Saling
menyakiti dalam kegelapan …
Matahari terbit dari timur dengan malu-malu
menampakkan sinarnya, karena dua orang gadis sedang menunggu kedatanngannya.
Ingin menyambutnya dengan senyum yang selalu mengembang dikedua bibir gadis itu.
Bunga-bunga yang ada di taman itu membiaskan dirinya
pada sang matahari, membuatnya tampak indah dari biasanya, taman yang
didominasi dengan bunga mawar itu, tampak begitu elegan dengan warana hijau
menyatu dengan alam. Taman ini memang tempat persinggahan ke dua gadis itu,
selain rumah yang menjadi naungan mereka.
Fira menatap Fara yang sedang duduk disampingnya,
mata saudara kembarnya itu terpejam menikmati udara pagi yang masih segar,
membuang segala beban yang dirasakannya. Menyambut hari baru dengan kebersamaan
mereka.
“Seharusnya kakak
masih tertidur di kamar” ucap Fira pada Fara. Mata Fira lurus kedepan menatap
rerimbunan bunga mawar.
“Tertidur sepanjang
hari membuatku lebih sakit” jawab Fara sambil membuka kedua matanya dan
menatap lekat-lekat wajah Fira. “Aku berharap disetiap aku membuka mataku, selalu ada kamu didepanku, sedang tersenyum”
lajut Fara
Mereka berdua terdiam, mencoba mengolah dan menata
pikiran masing-masing. Membayangkan segala yang telah terjadi kemarin. Mencoba
mengeluarkan apa yang harus diketahui diantara mereka berdua, rahasia, perasaan
dan rasa sakit.
Matahari yang sudah tidak malu-malu lagi menampakkan
sinarnya menyesapi kesunyian ditaman itu, menggugah mereka untuk memulai segAlanya.
“Aku egois, maaf” ucap Fira membuka pembicaraan setelah
beberapa menit terdiam. Sibuk dengan pikirannya yang berkecambuk, rasa sakit
dan sayang itu saling tarik menarik bagaikan sebuah magnet, saling berlawanan
arah membuat salah satunya harus mengalah.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, inilah hidup kita”
ucap Fara. Dia menarik nafasnya kemudian meghembuskannya lagi. Fara ingin
semuanya kembali pada rotasinya, berputar pada tempatnya.
“Sarapan dulu” teriak seseorang. Dia bersandar pada
pintu masuk rumah, dia melambaikan tangannya pada Fara dan Fira. Matanya yang
tajam, memilki pancaran yang indah, sehingga dengan jelas terlihat kebahagiaan
selalu ada di dalamnya.
Suara perempuan itu mengagetkan Fara dan Fira,
menyadari siapa orang itu membuat mereka tersenyum bahagia.
“Mama” seru Fara dan Fira serempak, mereka saling
lihat kemudian tertawa, menyadari kebiasaan mereka yang satu ini tidak berubah,
selau kompak ketika memanggil mamanya. Mereka masuk ke dalam rumah, menyusul
langkah mamanya.
“Bagaiman
persiapan lomba yang akan kalian lakukan itu?” Tanya papa sambil memasukkan
nasi goreng kedalam mulutnya. Mama berhenti mengunyah, dia seperti memikirkan
sesuatu dalam benaknya, “Satu bulan lagi, ya?” kata mama akhiranya.
Fara dan Fira mengangguk mengiyakan. Fara meminum
airnya untuk mendorong makanan masuk kedalam tenggorokkannya.”Perbanyak latihan
soal saja, pa” jawabnya sambil tersenyum.
“Bagaimana denganmu Fira?” Tanya papa tegas
“Tidak perlu belajar. Fira tidak akan berhadapan
pada soal yang rumit seperti Fara. Dia hanya perlu mengarang tidak jelas dalam
kertas putihnya,” kata mama menjawab pertanyaan papa.
“yah, mungkin saja,” jawab Fira. Dia mulai tersudut
dalam lingkaran keluarga kecilnya, tapi dia tetap tersenyum. Menampakkan Fira
yang selalu ceria
“Bagaimana bisa kamu melakukan itu. Segala sesuatu
itu butuh persiapan. Kapan kamu akan menyadari betapa pentingnya sebuah persiapan.
Memang, bidangmu tidak sehebat bahkan tidak dapat menandingi bidangnya Fara,”
kata papa. Dia mengambil korannya yang ada diruang tamu.
“Kamu lihat Fara. Tidak bisakah kamu menekuni bidang
seperti Fara. Pasti mama akan sangat bangga memiliki dua orang putri yang
memiliki kecerdasan yang luar biasa,” sahut mama.
“Aku bisa mengajarkannya, ma” kata Fara mencoba
menghentikan kata-kata mama dan papanya.
“Dia tidak akan pernah bisa, jika dia tidak ingin
melakukannya sendiri. Fira bakAlan mengganggu waktu belajrmu, Fara” kata mama
dengan nadanya yang membuat Fira tersindir.
Fira tersenyum getir mendengar kedua orang tuanya
beradu argument tentang kelemahan
dirinya. waktu memang semakin kejam, membuat dia terlupakan dan tak dianggap
ditengah-tengah keluarga kecilnya. Bahkan dia di anggap sebagai pengganggu.
Fira beranjak dari tempat duduknya. Meninggalkan semua orang, karena dia mulai
merasa sakit mendengar semua itu. Bagaimana tidak, keluarga yang seharusnya
mendukungnya malah menjatuhkannya.
*****
PENJILAT BERBALUT KECERDASAN
Mencoba
melawannya, membuatku terjatuh…
Langkah
kakiku kehilangan arah…
Berputar
dalam lingkar yang sama…
Membuat
setiap detik nadiku terasa berhenti…
Dia..
dia yang setinggi tumpukan es bersalju…
Kutemukan
terpuruk dalam kesepian…
Menggigil
dalam gersangnya padang pasir…
Berbulir
bersama hembusan angin…
Fira berjAlan membawa langkah kakinya menuju
sekolah. Menkmati rasanya sendiri menelusurui jAlan tanpa ada yang menemani
langkahnya. Matanya menatap jAlan raya memperhatikan kendaraan yang berlalu lAlang,
seperti sebuah hiasan yang indah. Fira sesekali tersenyum pada dirinya sendiri,
memang berjAlan merupakan budaya yang sudah lama hilang dalam diri masyrakat,
apalagi masyrakat kota. Perkembangan zaman dan teknologi telah mengubah budaya
yang dulunya sangat kental sekarang menjadi bahan tertawaan bahkan dianggap
kampungan, dengan berbagai macam
kendaraan yang sudah tercipta dari otak jenius manusia.
Beberapa sorot mata memandang rendah pada Fira. Mereka
yang menggunakan mobil bahkan menatap Fira dengan tatapan yang sangat
merendahkan
Fira mengalihkan padangannya dari jAlan raya pada
jam tangan yang dia kenakan. Jam yang berwarna putih itu sontak membuat Fira
teringat akan satu hal, hari senini. Jujur hari senin adalah hari yang paling
dibenci Fira. Siapa yang ingin menghabiskan waktunya dengan berdiri selama dua
jam dibawah terik matahari.
Fira selalu berpikir tentang satu hal, bukankah
upacara bendera dilaksanakan untuk menghormati jasa para pahlawan yang sudah
berjuang melawan penjajah. Tapi tidak adakah cara yang lebih bermanfaat dari
itu, bukannya menghabiskan waktu dengan hanya berdiri dilapangan merupakan
salah satu kegiatan yang menyia-nyiakan kemerdekaan. Kalau hanya berdiri dan
mendengarkan isi pidato yang disampaikan oleh kepala sekolah mungkin berguna,
tapi bagaimana kalok faktanya semua siswa sibuk dengan iaz pembicaraan mereka masing-masing.
Bukan hanya siswa yang membenci hari senin tapi dari
kAlangan guru banyak yang membencinya. Buktinya pada saat upacara banyak
guru-guru yang tidak hadir. Pertanda mereka membenci hari senin, dan pura-pura
terlambat untuk menghindarinya.
Fira berlari, gerbang sekolah sudah ada di depan
matanya. Tapi semua tidak semudah yang dia bayangkan, tidak sekompleks yang
dipikirkan. Sebuah motor yang mencolok dengan warna merahnya datang berlawanan
dari arah Fira, terlihat jelas keaadaan pemiliknya sedang gugup karena takut
terlambat.
Fira mencoba menghindari motor itu tapi seperti
seorang hantu dia mengikuti langkah Fira, perasaan takut membayanginya. Fira
menutup matanya, sudah pasrah dengan semuanya. Dia tidak ingin melihat proses
yang mengeTian itu dalam hidupnya. Kejadian yang pertama terjadi dalam hidupnya
yang bahkan menjadi terakhir, karena dia tidak tahu apa Tuhan akan
menyelamatkan hidunpnya atau sebaliknya.
“Braaaaakkkkkkk….”
Darah segar itu keluar dari lutut Fira. Memnag bukan
kecelakaan yang serius tapi rasa sakit
itu tetaplah rasa sakit. Fira menangis, sebenarnya dia tidak ingin menagis tapi
air mata itu keluar begitu saja. Mungkin air mata itu bukan hanya karena rasa
sakit tapi karena kesiAlan yang menimpanya hari ini.
Fira memeluk lututnya sambil menahan isakan
tangisnya. Pikirannya berkecambuk dengan berbagi hal yang terjadi hari ini. Fira
ingin marah pada orang yang melakukan ini, Fira menghapus air matanya, dia
ingin berdiri saat dilihatnya sebuah tangan terulur padanya “Fara? Mungkinkah?” batin Fira. Tanpa melihat siapa pemilik dari
tangan itu, karena dia sudah terlanjur berpikir pemilik tangan itu adalah Fara.
Fira mendongak, menatap pemilk tangan ini. Memastikan
apakah itu Fara atau orang lain. Jantung Fira terasa berhenti, dia memaki
dirinya sendiri yang ceroboh. Meraih uluran tangan orang tanpa berpikir logis. Reflex Fira menarik tangannya dari
tangan yang menggenggamnya. Dia menatap siapa yang ada di depannya ini, pemilik
motor yang telah menabraknya. Seharusnya Fira marah mengeluarkan rasa kesalnya tapi
melihat orang ini membuatnya tidak bisa berkata apapun, “dia?” batin Fira
Tatapan lelaki itu penuh ketakutan, sepertinya dia
juga tidak menyangka dia melakukan perbuatan yang seperti ini. Tapi bukannya
dia minta maaf, dia hanya diam dengan tatapan bersalah pada Fira.
Fira diam menunggu apa yang akan dilakukan lelaki
itu selanjutnya, tapi lelaki itu tetap diam bahkan semakin lama tubuhnya
semakin berguncang, rasa takutnya memuncak, keringat keluar dari tubuhnya,
matanya terbelalak seperti orang yang dikejar
hantu, dia mengeluarkan kata-kata yang tidak dimengerti Fira “bukan
salahku, bukan.., bukaaaannn” teriak lelaki itu. Fira melihat tingkah lelaki
itu. Dia ingin memanggil satpam sekolah, tapi lelaki itu berlari
meninggalkannya lebih dulu. Fira mengejarnya menuju gudang belakang sekolah,
entahlah apa yang terjadi pada lelaki itu.
Fira menarik tangn lelaki
itu, dia bersembunyi di bawah meja dalam gudang, seketika lelaki itu
menhentakkan tangannya membuat Fira jatuh tersungkur. Fira meringis kesakitan,
menahan rasa nyeri pada lututnya. Fira semakin kaget melihat tingkah lelaki
itu, dia memukul dirinya sendiri, berteriak, meneriakkan kata “aku tidak
bersalah”, membuat Fira semakin bingung.
“Mati saja, jika itu yang kamu inginkan,
sakiti saja dirimu jika itu yang terbaik. Tapi tidakkah kamu berpikir siapa
yang akan menanggung semua itu, bukan hanya kamu tapi mereka, yang sudah
mengurusmu. Tidakkah kamu berpikr seperti apa hati mereka melihatmu seperti
ini, seperti orang bodoh yang tidak menggunakan otaknya, idiot. Mereka, masih
membutuhkanmu, mereka adalah tuamu” kata Fira dengan suaranya yang begitu keras
sehingga menggema diseluruh sudut ruangan yang berdebu itu. Lelaki itu terdiam,
dia menunduk, menghentikan aksi gilanya
itu. Merenungkan kembali apa yang dikatakan gadis yang sudah ditabraknya itu.
Sudah lima menit mereka
terdiam, Fira sengaja tidak mengatakan apapun. Dia ingin memebeTian waktu untuk
lelaki itu menenagkan dirinya, menata persaannya kembali. Setahu Fira lelaki
itu merupakan salah satu kebanggaan sekolahnya, salah satu siswa yang
berprestasi tapi apa ynag membuat otak cerdanya kehilangan kendali seperti itu,
“atau dia gila karena terlalu cerdas”
batin Fira.
Tiba-tiba lelaki itu
bangkit dari tempat dudunya, mantap Fira lagi-lagi dengan tatapan anehnya waktu
itu “cepet sekali normalnya”pikir Fira. Mimik wajahnya sudah kembali seperti
semula. Tenang, seperti tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Dia berbalik menuju pintu gudang. Dia bahkan
tidak memperdulikan keberadaan Fira, apalagi mengucapkan terimakasih ataupun
kata maaf. Fira tresenyum tidak percaya, memangnya dia dianggap apa?, patung? Yang
hanya bisa melihat suatu adegan, “aku manusia bukan patung” gumam Fira pada
dirinya sendiri. Masih tidak percaya. Mendengar apa yang diucapkan Fira membuat
lelaki itu berhenti di pintu, dia berbalik dan mnyebutkan namya, hanya nama.”Alan”
ucapnya sambil berlalu begitu saja meninggalkan Fira dengan mulut menganga, ini
manusia langka yang pertama ditemukannya. Fira merasa seperti penemu yang
menemukan manusia yang paling langka di dunia. “Aku tidak butuh nama tapi aku
butuh ucapan terima kasih dan kata maaf” teriak Fira.
Fira bangkit dari
duduknya, meninggalkan gudang, membanting pintunya bahkan Fira ingin melenyapkan
gudang ini. Ingin melupaka bahwa dia pernah terjebak dalam gudang ini bersama
manusia langka temuannya.
Fira berjAlan menuju
kelasnya dengan langkah gontai. Dia ingin menyegarkan pikirannya dengan
pelajaran pertama kesukaannya, bahasa Indonesia. Tapi, masalahnya ternyata
tidak berhenti digudang, masalah itu masih mengikuti jejaknya, yang coba
meninggalkan masalah itu. Dia dipanggil wali kelasnya, karena tidak mengikuti
upacara dan pembinaan wali kelas, mengingat wali kelas membuat pikiran Fira
semakin kacau, kejadian-kejadian yang pernah terjadi karena kata-kata guru itu
berkelebat dalam benkanya, kata-kata itu menggema, saling bertautan dalam
otaknya, membuat Fira semkin terdampar di pulau tak berpenghuni.
Fira mengetuk ruangan Ibu
Mia dengan pelan, berat rasanya menemui guru ini, tapi apa yang bisa dia
lakuan, dia sudah melanggar peraturan maka dia harus menerima hukamannya
Ibu Mia sedang duduk dimejanya, memerisa hasil
ulangan, dahinya berkerut, bibirnya maju kedepan, kekecewaan tergambar jelas
diwajahnya, mersa tidak puas dengan hasil ulangan anak didiknya, dia merasa gagal
dalam menyampaikan materi. Padhal dia begitu yakin dengan caranya menjelaskan,
tapi hasil ulangan ini seolah berkata “Ibu, tidak bisa menjelaskan dengan baik,
makanya nilai ulangan saya jelek”.
Melihat ekspresi Ibu
Mia yang seperti itu membuat Fira merasa semakin tidak yakin untuk memuinya,
bagimana kalok kekesAlannya dilampiaskan pada Fira, membayngkannya saja membat Fira
takut. Fira ingin membalikkan badannya, bermaksud tidak menemui guru itu, tapi Ibu
Mia mendongakkan kepAlanya karena mendengar suara kakii mengganggu
konsentrasinya, dahi Ibu Mia berkert tergurag rasa tidak suka akan kedatangna Fira
yang mengganggu itu.
“Duduk” perintahnya.
Ada getar kesinisan dalam bicaranya, membuat Fira semakin yakin, kesiAlannya
akan sangat lengkap karena guru ini. hari ini akan diingat Fira sebgai hari
senin yang paling bersejarah dalam hidupnyaFira menari nafasnya, mencoba
berfikir positif sebelum dia duduk dikusi, jika guru ini menghinanya lagi akan
dia jadikan hinaan itu sebagai motivasi terbesar dalam hidupnya, jika guru ini
memanadang rendah dirinya, akan dijadikan pandangan itu sebagai penuntun yang
akan menemani langkahnya menggapai mimpinya, menjadikan guru ini sebagi
pembelajaran yang paling indah.
“Hanya orang cerdas
yang bisa melakukan itu?” kata pertama yang langsung menyerang Fira, tanpa ada
pembukaan apapun, sontak Fira kaget mendengarnya, tidak percaya guru seperti
apa ini, mana kelembutan dibalik suaranya.
“Ini” Ibu Mia
menyodorkan dua buah kertas padanya, Fira
sempat heran dengan apa yang dilakukan itu, tapi seketika Fira juga
menyadrainya itu adalah kertas ulangan Fira yang memiliki perbandingan yang
sangat jauh dengan Fara.
“Bagaiman mungkin kamu
membolos dan mendapatkan nilai seperti ini?, ibu tidak mengerti apa yang kamu
pikirkan, kamu mau berlaga seperti orang hebat” lanjut Ibu Mia.
“Saya bisa jelaskan, mengapa saya tidak mengikuti
upacara” protes Fira mencoba membeTian alasaan, seharusnya sebagai guru, dia
akan menayakan mengapa siswanya tidak membolos, bukan semakin merendahkannya
seperti ini, siswa mana yang akan mendengarkan guru, jika mereka mersa tidak
dihargai.
“Saya tidak butuh penjelasanmu, sebaiknya kamu
segera masuk kelas karena pelajaran pertama adalah pelajaran kesukaanmu” sindir
buk mia. Kata-kata itu menyirat hati Fira, membuat amarahnya berada diujung
kepala.
“Saya masih
heran kenapa begitu banyak guru yang tidak bisa menjadi guru yang sebenarnya”
kata Fira dengan suara yang meninggi, dia meninggalkan ruangan Ibu Mia . Dia
sudah tidak memperdulikan sopan santun pada seorang guru, jika dia tidak
dihargai, bagaimana dia bisa menghargai orang lain, itulah prinsip Fira pada
siapaun itu, termasuk guru.
Sepertinya semua yang dilakukan Fira tidak ada yang
benar di semua guru yang memuja saudara kembarnya itu, tapi haruskah begini
caranya dengan cara merendahkan dan membedakan dia dan Fara, tidak pernahkah
mereka berpikir kata-kata yang mereka keluarkan bagaikan racun yang membunuh
tali persaudaraaan mereka secara berlahan.
“Aku semakin termotivasi untuk melakukan tugasku,
mengubah cara pandang semua orang yang tidak menganggap kami ada, dalam naungan
nonakademik” kata Fira, dia ucapkan kata-kata itu dengan semangat. Mengalirkan iaz
a-energi posoitif dalam dirinya membuat ion-ion yang melemah menjadi begitu
berminat untuk terbangun, terbangun dari tidur panjangnya karena sudah lama
terpuruk di dalamnya.
Fira memasui kelas dengan gontai, jam pelajaran
sudah dimulai sekirar dua menit yang lalu, Pak Jihad yang sedang menjelaskan
materi tentang karya ilmiah itu berhenti menjelaskan karena kedatangan Fira.
Semua mata menatap Fira dengan berbagai macam
tatapan. Tia, gadis itu menatapnya dengan tatapan sinis.
“Anak kesayangan datang terlambat. mau cari muka?
Unjuk kemampuan?” katanya pada Fira.
Fira hanya diam, dia sudah tidak memiliki tenaga
untuk meladeni orang seperti Tia. Teman sekelasnya sendiri menghinanya. Sepertinya dunia sudah tidak berpihak
padanya.
“Apa yang kamu katakana Tia?, jaga bicaramu” kata Pak
Jihad membuat Tia terdiam.
“Kenapa kamu datang terlambat, Fira? Tanya Pak Jihad
sambil mendekatiya.
“Tertabrak motor” jawab Fira sambil menunjuk bekas
darah yang sudah iaz at dilututnya, roknya iaz sobek memperlihatkan guratan
luka itu “tapi hati ini jauh lebih sakit
ketimabng luka ini” tambah Fira dalam hatinya.
Fira menjelaskannya semuanya dia tidak ingin
mendengar berbagai macam komentar, biarkan dia melakukan apa yang ingin
dikatakan bibirnya, meskipun hatinya menyuruhnya matia-matian untuk tetep diam,
dia butuh ketenangan untuk menata isi hatinya, agar tidak berserakan.
Pak Jihad meminta aura ke uks, tapi Fira
menolakknya, karena Fira ingin menenangkan hatinya. Mungkin dengan mendengar
pelajaran ini,, yang merupakan bagian dari kesukaannya dapat menenangkan
hatinya, menenangkan pikirannya yang sedang kalut.
Semuanya bergumam “kasian” padanya saat mendengar
apa yang dikatakan Fira, tapi tidak dengan Tia. sepertinya dia benar-benar anti
pada Fira.
Fira memperhatikan Pak Jihad yang sedang menjelaskan
materi mengenai karya ilmiah. Dia
memfokuskan pikirannya. Mendengar dengan seksama apa yang dijelaskan dan
meyalinnya dalam buku, karena otak bukan tempat penyimfanan permanen, otak
hanyalah tempat penyimfanan sementara
“Siapa yang bisa menjelaskan apa itu karya ilmiah?”
tanyanya, matanya mengekor seluruh ruangan. menyapunya dengan tatapan
ketegasan dalam pandangannya.
Fira mengangkat tangannya, saat dia melakukannya tatapan-tatapan
sinis itu mulai menghantamnya. Fia semakin merasa sakit, mengapa teman
sekelasnya sendiri membencinya. Dunia sudah berubah menjadi dunia Fara yang
selalu benar dalam melakukan segala hal.
“Karya ilmia merupakan karangan yang bersifat ilmiah
yang membahas suatu masalah” jawab Fira iaz a. Kesibukan ini membuat hatinya
sedikit lebih baik. Kalau memang perlu dia ingin membuat semua orang menatapnya
iri lagi dalam pelajaran ini. dia sudah bosan bersembunyi dibalik topengnya.
Pak Jihad tersenyum melihatnya. Dia tahu apa yang
sedang menimpa Fira. Gadis kecil itu pasti lelah menjAlani hari-harinya.
“Seperti yang
dikatakan Fira, karya ilmia itu membhas suatu masalah tertentu yang harus
kalian selesaikan” jelas Pak Jihad. Semua yang ada dikelas itu tertawa,
kata-kata itu sepertinya sangat lucu ditelinga mereka, membuat mereka tidak
bisa berhenti tertawa, sedangkan Fira
hanya terenyum getir melihat tingkah teman-temannya.
Sekarang kelas itu sudah dipenuhi dengan tawa yang
meledak, suara Pak Jihad yang terkenal dengan ketegasaanya dalam berbicara
tenggelam dalam gelak tawa. Ajis seorang anak laki-laki yang kurus, duduk
dipojok bangku paling belakang mengangkat tangannya, dia ingin menanyakan
sesuatu.
“Membuka buku
saat ulangan masalah pak, berarti kami harus melakukannya untuk membuat
masalah,” tanyanya dengan muka polos. Semua langsung tertawa lagi mendengar
pertanyaan bodoh ajis itu, tapi mereka semua berteriak menyetujuinya, membuat Pak
Jihad geram melihatnya.
Pak Jihad memukul meja dengan keras, mereka sudah
keterlaluan menjadikan pelajaran sebagai bahan tertawaan, dia merasa tidak
dihargai.
“Diam. Bagaimana kalian akan mengerti jika hanya
tertawa saja.” Kata Pak Jihad dengan suaranya yang keras.
“Bukankah itu terlelu berat, apalagi kami sudah
kelas XII?” tamya Tini, gadis tercantik dikelas ini.
“Penelitian ini sebagai tugas akhir kalian, tidak
ada semester. Jadi, kerjakan dengan benar. Satu lagi, kalian dilarang mengopy
dari internet atau penelitian milik orang lain, mengopy merupakan salah satu
tindakan yang merusak moral generasi bangsa. Mendidik kalian seperti orang yang
tidak menghargai karya orang lain dan tidak bertanggng jawab” jelas Pak Jihad
lagi.
Semua siswa menghela
napsa berat, sepertinya tugas-tugas ini membunuh pikiran mereka secara
berlahan-lahan. Membuat mereka berpikir untuk melaTian diiri, ketimabng
menghadapi semua itu.
“dalam karya ilmiah atau penelitian terdiri dari
tiga bagian yaitu, bagian awal, bagian akhir dan bagian isi. Jelas Pak Jihad
sambil menulis di papan. Pak Jihad terus menjelaskan materi tentang karya
ilmiah, Fira mencoba menikmatinya seperti biasa, tapi mungkin keadaannya yang
sedang tidak baik membuatnya hanya ingin pulang dan tidur.
Fira melihat keadaan kelasnya. Sepertinya mereka
sudah memahami betapa beratnya tugas in, sehingga mereka menyimpan suara
mereka. Semua mata menatap papan tulis dengan fokusnya, telinga-telinga sedang
mendengarkan dengan seksama penjelasn Pak Jihad. “jadi, hanya aku seorang yang tidak focus, bukankah ini adalah
pelajaran kesukaanku, ada apa dengan ku?” batin Fira.
Satu jam sudah berlalu, jam pelajaran Pak Jihad
sudah usai. Sebanyak itulah Fira menghabiskan waktunya dengan melamun. Raganya
menetap dalam kelas ini tapi jiwanya melayang entah kemana. Dia ingin pulang,
meninggalkan suasa sekolah hari ini
“Kamu hanya menang di bidang yang tidak penting”
kata Tia tiba-tiba. Gadis itu sudah ada di depan Fira, kedua tangannya
diletakkan dipinggang menambah keangkuhannya. Dua dayang-dayangnya yang selalu
mengikutinya juga memandang Fira dengan tatapan merendahkan.
“Dari pada kalian. Bodoh dalam semua hal” tembak
Fira langsung, dia pergi meninggalkan ketiga gadis itu. Mematung ditempatnya
mendengar kata-kata bodoh itu meluncur dengan cepat.
Ruang guru sedang ramainya, semua guru sudah kembali
dari tugas mengajar di kelas. Mereka juga butuh istirahat, menenangkan pikiran
mereka yang berkecambuk karena ulah semua siswa.
Pak Jihad merapikan mejanya. Sebelum dia pergi ke
kantin guru. Tiba-tiba Ibu Mia menghampirinya dengan tatapan merendahkan
“Bapak, tidak mengajarkan anak didik bapak yang
pintar berbahasa itu. Saya malu melihat nilainya dalam bidang eksak, dia
jurusan ipa bukan bahasa. Bila perlu bapak juga harus belajar eksak agar bisa
membantunya. Jangan hanya menjejali otaknya dengan puisi” katanya dengan penuh
kesinisan dalam mengucapkan kata-kata itu.
Pak Jihad hanya diam, dia tidak ingin mengotori
mulutnya dengan membalas kata-kata itu. Menjadi guru yang sesungguhnya adalah
hal yang paling dia impikan. Bukan hanya sekedar menjadi guru yang bisa
mengajar, tapi juga harus menjadi guru yang bermoral.
“Oh si Fira.. gdis kembar berbanding terbalik dengan
kembarannya itu” kata Ibu Tirta guru Biologi yang tiba-tiba ikut nimbrung dalam
pembicaraan yang menyudutkan Pak Jihad.
“Dia hanya dapat menghias madingnya setiap minggu.
Tanpa melakukan apapun pada nilainya yang berantakan” kata Ibu Mia lagi. Dia
tersenyum menyindir. Merasa puas atas kemenangannya.
“Bagaimana mungkin kembarannya memiliki kecerdasan
yang tinggi. Sedangkan dia, berdendang tersenyum bangga pada kemampuannya yang
rendah itu” kata Ibu Tirta.
“Fira itu bagaikan langit dan bumi. Bumi yang selalu
bermimpi menggantikan langit suatu saat nanti” kata Ibu Mia semakin
menjadi-jadi.
Pak Jihad tersenyum pada kedua guru itu. Senyum itu
adalah sebuah senyum yang mengejek. Dia merasa malu memiliki rekan kerja yang
tidak bermoral dlam berbicara.
“Setiap manusia memiliki kekurangan dan kelebihan
masing-masing. Tidak ada yang sempurna di dunia ini, hanya Yang Maha Sempurna, yang menciptakan alam
semesta. Kita sebagai guru hanya bertugas mendidik bukan menjatuhkan,”kata Pak
Jihad. Dia tersenyum kemudian pergi meninggalkan ke dua guru itu.
Langkah Pak Jihad terhenti di depan ruang guru.
Dilihatnya seseorang tengah menunduk menangis tersedu-sedu. Melihat gadis itu
membuatnya merasa bersalah, karena dia tidak dapat menolngnya.
“Fira..”Gumam Pak Jihad pelan. Dia memegang kepala
fira bersahabat. Ikut merasakan apa yang sedang dirasakan anak didiknya ini.
“Maafkan saya, Pak. Andai saja saya bisa seperti
Fara. Bapak tidak akan dihina seperti itu,”kata Fira dibalik tangisnya. Dia
merasa sangat sakit mendengar Pak Jihad mendapatkan kata-kata tidak
berperikemanusiaan itu.
Pak Jihad menatap Fira bangga. Dia membawa Fira
menjauh dari tempat itu, dia tidak ingin seseorang melihat keadaan anak
didiknya ini. Diasingkan oleh lingkungan yang seharusnya mengajarkan dia
berbagai hal. Tidak diterima di lingkungan yang dia banggakan.
Mereka berdua sampai di depan ruang mading. Keadaan
Fira benar-benar buruk. Sinar hatinya sudah padam dimakan waktu. Digerogoti
dengan kasarnya.
“Duduk, renungkan semuanya. Yakin bahwa ada maksud
Allah dibalik semua ini. kuatkan hatimu. Bentangkan lagi sinarmu, jangan
biarkan dia padam,” kata Pak Jihad. Dia membeTian Fira minum, agar dia merasa
tenang.
Fira bukannya berhenti menangis tapi semakin
menjadi-jadi. Sesak di dadanya bertambah, beban yang dipikulnya semakin terasa
berat. Mengapa hanya karena dirinya, semua orang mendapat masalah.
“Apa saya salah terlahir di dunia ini dalam keadaan
seperti ini. bahkan saya tidak menginginkannya,” kata Fira. Kini dia menerawang
di sudut pikirannya. Tak dianggap adalah hal yang paling menyakitkan dalam
hidupnya.
"Semua manusia terlahir dengan berbagai macam
kelebihan dan kekurangan. Ini adalah cobaan dari Allah, karena dia
menyayangimu. Lewati semua cobaan ini, maka Allah akan meninggikan derajatmu.
Tidak ada manusia yang terlahir sempurna di dunia
*****
Fira berjAlan, memandang setiap langkah kaikinya.
Ingin melupakan setiap detik apa yang terjadi hari ini.
Fira menuju
ruang bk untuk meminta surat izin meninggalkan sekolah. Dia ingin pulang
menenangkan pikirannya, tertidur pulas dikasurnya yang empuk. Tenggelam dalam buaian
nyanyian dalam tidurnya, memimpikan kenyamanan dan kedamaan hatinya. Membuat
dirinya melupakan kehidupan nyatanya untuk sesaat, membuat dirinya merasa
bebas, hingga dia ingin terbang. Meninggalkan dunia yang berbau busuk.
Ibu ratna sedang
mengurus surat kepulangan seseorang, membuat Fira harus menunggu. Fira memang
tidak menyukai yang namanya menunggu. Baginya itu adalah pekerjaan yang membosankan
karena yang ditunggu belum tentu datang. Tapi, kali ini dia tidak memilii
pilihan lain selain menunnggu “kadang menunggu itu baik” gumam Fira pelan,
menghibur dirinya yang mulai bosan.
Fira mengeluarkan novel dari dalam tasnya,
berharap novel kesukaannya ini dapat membunuh rasa bosannya. Tapi ternyata segala
sesuatu yang disukai itu memiliki titik jenuh.
Dia merasa jenuh dengan novel yang disukainya, kebiasaan yang selalu
dilakukannya ini tidak bias menghilangkan rasa bosannya.
Fira bangkit dari kursi
panjang yang ada di depan ruang bk. Dia mengintip ke dalam ruangan melaului
kaca., mencari celah-celah untuk mengetahui apa yang ada di dalam sana. Fira
seketika mengerutkan kening saat melihat seorang lelaki sedang duduk di depan Ibu
Ratna, menjelaskan sesuatu yang tidak dapat di jangkau pendengaran Fira. Lelaki
itu hanya menganggukkan kepal pertanda dia mengerti dengan apa yang dikatakan
buk ratna.
“Aku yang tertabrak, kamu
yang tersakiti” kata Fira pada lelaki itu dari kejauhan. Rasa kagumnya mulai
menipis dan digantikan dengan rasa penasarannya, terlalu banyak hal aneh dari
lelaki itu. Si jenius yang berteriak secara tiba-tiba seperti orang gila yang
kehilangan hidupnya, lelaki yang memiliki stok kata yang terbatas, membuat Fira
ingin tahu lebih banyak tentang dia.
Alan bangkit dari
tempat duduknya, sepertinya urusannya sudah selesai. Cepat-cepat Fira menghentikan
aksi mengintipnya.
Fira merapikan jilbanya, menunduk saat dia
memasuki ruangan. meneutupi bengkak di matanya. Alan berhenti saat berpapasan
dengannya, menatapnya sebentar kemudian pergi. Seperti yang selalu dilakukanny,
tidak memperdulikan orang lain.
“Si
cerdas yang tak patut bercermin dalam kekeruhan,” batin
Fira
*****
BERSIMPUH BERSAMA HENTAKAN HUJAN
Rintik-rintik
kecil…
Membekukan
ku dalam kedinginan tak bersyarat
Mengguyur
dalam kegelapan
Mengunci
hatiku yang menggigil
Setan-setan
berkeliling mengelilingi
Meminta
sebuah perlindungan abadi
Membutakan
mata hati
Mengerang
dibalik ketabahan
Tersenyum
palsu dalam sebuah kebencian
Menumpahkan
setetes darah dalam guyuran hujan
Mengguratkan
sebuah kenangan
Menembus
batas kesadaran
Mengupas
semua ingatan
Meninggalkannya
dalam debu kekeringan
Fira membuka pintu
kamarnya, dilihatnya Fara sedang tertidur di ranjangya.
“Dia cantik saat teterbuai
mimpi. Apa aku juga?” Tanya Fira miris pada dirinya. Dia menghempaskan tubuhnya
dikasur, memejamkan mata. Mencoba menghilangkan semua masalah yang ditahan
hatinya. Tapi, kini semuanya telah naik kepermukaan tak dapat dia hentikan.
Terjadi tanpa diinginkan.
Bunga
–bunga itu melambai pada Fira sepertinya dia tidak sedang menghibur keadaan
Fira yang sendiri, dia malah mngejek. Suara deruan ombak, yang semula menjadi
nada penyejuk hati berubah menjadi raungan yang mengenaskan, pasir yang putih
yang semula membuat Fira merasa geli harus menginjaknya, berubah menjadi duri
yang menusuk telapak kakinya. Membuat rasa sakitnya menjalar ke seluruh tubuh
Fira. Fira menatap sekelilingnya ingin mencari tahu ada di allam sebelah mana
dia,” bunga-bunga ini?” tunjuk Fira, dia mencoba mengingat dimana dia pernah
melihat unga mawar yang indah seperti ini. “Taman belakang rumah, tempat akau
dan Fara” gumam Fira lagi. Tapi, setahu Fira tamana belakang rumahnya tidak
memiliki pantai dan pasir putih seperti ini, mungkinkah bunga-bunga ini
hanyalah kamuflase dari bunga-bunga yang ada di taman belakang.
Fira ingin menjauh dari semua yang berhubungan
dalam kehidupan nyatanya, meskipun dia harus
tenggelam dalam rasa sepi.
Fira
duduk, menatap lusanya lautan. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya. Dia pernah
berpikir ngin menjadikan angin sebagai sahabatnya, tempt membagi isi hatinya,
karena dia merasa angin tidak akan membocorkan rahasianya. Tapi, sepertinya
angin tidak selalu ada, dia selalu menghilang saat bibir Fira mulai mengatakan segAlanya, “Apa kamu membenciku
angin, karena hatiku sudah ternodai dengan perbedaan yang ada?” ucap Fira, dia
mengangkat tangan kanannya mencoba menangkap angin agar dia selalu di dekatnya.
Tap,i tiiba-tiba angin itu menjadi
sangat kencang, tidak ada lagi angin yang menyejukkan. Angin itu seperti ingin
menggerogoti Fira. kenapa semua yang ada di dunia ini seolah-olah membencinya,
angin itu menyerang. Fira memegang batang-batang mawar yang ada di dekat
pantai, dia sudah tidak peduli dengan duri-duri yang akan menusuknya. Angin itu
semakin kencang membuat Fira menangis, dalam tangisnya dia menyebut nama fara,
dia butuh uluran tangn Fara untum menariknya dari tempat ini.Dia membutuhkan
seseotrang untuk menolongnya. Dan, yang
dipikirkan hanyalah Fara seorang, saudara kembarnya. Saudaranya yang jenius,
hingga dipuja semua orang, saudara yang
penyebabkan hatinya mulai terguncang.
Angin itu semakin kencang, tangan Fira sudahh
tidak kuat lagi memegang batang bunga mawar. Daun-daun yang tadinya hijau
berubah menjadi merah seperti bunganya. Daunnya berbalut dalam darah segar
Fira. Rasa perih itu tidak dapat ditahan oleh Fira. Belum saja Fira lepas dari
serangan angin, dan mawar yang menusukknya, ombak itu menerjng ke arah Fira,
dia ingin Fira tenggelam di dalamnya. Fira berteriak, di suda tidak bisa
menghadapinya sendiri. Sekali lagi dia menyebut nama Fara. Entah, karena Fira
memang ada di dunia yang aneh, atau karena suaranya yang mengandung kekuatan
sihir. sesosok tubuh cantik berdiri di depannya, tersenyum menis menatap Fira.
“Kak
Fara, tolang Fira…” gumam Fira lemah, dia mulai merasakan rasa sakit yang luar
biasa pada setiap sendi-sendi tubuhnya. Jauh menyimpang dari pikirkan Fira
kalau Fara akan mengulurkan tangannya seperti biasa, menolongnya. Tapi
tiba-tiba, senyum manis dibibir Fara lenyap seketika, mata indah miliknya yang
juga dimiliki Fira menataonya dengan tatapan marah. Fara berbalik meninggalkan Fira sendiri
melawan kematian yang akan menjemputnya secara berlahan, Fira meronta-ronta
memanggil nama fara, meminta pertoloongannya, tapi Fara sama sekali tidak
membalikkan badannya, dia terus berjAlan meninggalkan Fira yang tenggelam dalam
ombak yang mengeTian itu.
Fira terbangun, dia menatap kedua
telapak tangannya, menatap sekelilingnya. Tapi hanya ada Fara seorang dikamar
ini, masih tertidur pulas, tersenyum dalam tidurnya “Di dunia manapun itu, Fara selalu menjadi kesukaan semua orang”
gumam Fira pelan.
Suasana
di luar membuat fira kedinginan, entah apa yang terjadi saat dia tertidur.
Guyuran hujan sudah menggema di setiap ujung bumi mengingatkan dia akan mimpi.
Mimpi yang menjadi nyata.
Fira bangkit dari kenyamanan kasurnya, rasa
dingin menembus tulang Fira membekukan dirinya. Dia meraih handuknya yang
tergantung bebas, masuk ke dalam kamar mandi, membasuh dirinya dengan
kehangatan.
Fira bersimpuh dilantai
kedua tangannya diangkat, kedua matanya terpejam dalam hembusan kata yang
menggurat hati. Kata-kata itu mengalir bak hujan di luar sana. Semakin deras
bersama deruan angin dan gemuruh menambah sesak di dada Fira.
“aku bersimpuh dalam
dekap dingin
Meminta seperti anak kucing.
Lembaran baru dalam diriku sudah kubuka
Kutanggalkan hatiku
bersam hembusan angin, tersiram hujan yang melanda
Rintih hatiku sudah
menjerit meminta seonggok keadilan
Tuhan
Hanya itu yang dapat ku
ukir di tengah kegersangan dan kebekuan hatiku
Nasi sudah menjadi
bubur, terlajur tertelan dalam perih hatiku”
Air mata Fira sudah
mengalir tertindih hujan diluar sana. Kata
demi kata mengalir dari bibirnya, menghembuskan setiap apa yang dirasakannya.
Fira menghapus air
matanya, dia menelungkupkan kepAlanya dilutut, merenungkan apa arti mimipi itu
sebenarnya. Dia berdiri sambil mengehembuskan
napsnya yang berat. Dia berdiri, menatap dirinya pada pantulan cermin.
Mengamati seperti apa dirinya, dimana letak perbedaan yang ada.
Fira melihat dua buah
mawar merah yang teTiat rapidengan pita merah. Bunga segar itu menggugah selera
untuk menyentuhnya. Keindahan dibalik kemunafikannya membuat orang tertipu.
Membuat semua orang ingin mendekapnya dalam tangan, bermain dengan durinya.
Fira mengambil mawar itu, mengamatinya penuh kengerian. Bunga indah ini sudah
menipu dirinya, warna merahnya bak orang sedang kehausan darah.
Fira berjAlan mendekati
jendela. Ditatapnya taman belakang yang penuh dengan bunga mawar itu, sedang
mengemis air pada hujan. dia melihat ke dalam, menatap bunga yang ada di meja
Fara sama seperti yang dipegangnya saat ini. Sebuah tanda ikatan diantara
mereka.
Fira mencabut lapisan
bunga itu dengan kasar, dibuangnya keluar. Menyatu bersama hujan, membiarkannya
merasakan kenikmatan akan hujan. Taburan bunga itu bagaikan bunga sakura
ketiban hujan.
Hanya ada tangkai yang
berduri dalam genggaman tangan Fira. “Kamu sudah tak indah lagi. Kau
menancapkan durimu dihatiku,” kata Fira kemudian membuang tangkai bunga itu
keluar, melayang di angkasa sampai akhirnya dia terhempas di tanah.
Keindahannya sudah tidak berarti apa-apa.
Fira tersenyum sambil
menitikkan air mata. Menangisi nasib bunga mAlang itu, harus terbuang karena
keindahannya hilang
“Mawar yang kehausan
darah untuk memperindah warnanya…” gumam Fira pelan. Dia merenung dimeja
belajarnya, membuat note tentang
karya ilmiah. Bergelut dengan ide-ide yang mulai bermunculan ke permukaan
otaknya.
Mata indah itu sudah
memandang lama apa yang terjadi. Buliran bening itu mengalir dbalik selimut
yang dia kenakan. Menyembunyikan perih hatinya. Dia memegang erat selimutnya,
melampiaskan segAlanya pada benda tak bernyawa ini. dingin di luar sana sudah
menembus ke dalam selimut, kulit, tulang dan hatinya, membuat mereka semua
beku.
Mata indah itu adalah
mata Fara, melihat deretan kejadian yang menyakitkan. Bunga yang sudah menjadi
ikatan mereka, lenyap di bawah naungan hujan. dia ingin menyelamatkan bunga mAlang
itu. Tapi, selimut ini menempel ditubuhnya, kasurnya menarikkanya untuk tetap
diam, merasakan lebih lama kehangatannya
Fara menyerah. Hatinya
sudah terluka karena Fira sendiri, dia meremas tangannya. Dia tidak dapat
bersinar dibawah hujan, dia tak mampu melawan. “ajarkan aku bagaimana menjaga mawar milikku. Agar tak kuluka atau dia
yang akan melukai,” batin Fara.
*****
CAHAYA BINTANG
DI SIANG HARI
Menatap ujung nun jauh di sana
Merangkak
untuk dapt mencapinya
Mengais-ngais
untuk mendapatkannya
Dilempar
dengan kasarnya
Menatap
bayangannya yang mulai tampak
Bertentangan
dengan cahayanya
menimbulkan
getar yang tak biasa
terperangkap
dalam kisahnya
berpendar
di tempat yang tidak seharusnya
tempat
dia mengais sebuah cahaya yang membuatnya selalu tampak gersang di antara
sejuknya embun pagi…
Fira menatap
sekelilingnya. Dia duduk bersandar dibangkunya, kedua tangannya terhempas di
atas meja, menikmati keributan yang ada. Kelasnya sudah menjadi tempat penjual
dan pembeli bertransaksi mengenai harga suatu barang. Mereka semua bersahutan,
dalam kegusaran yang mencekam.
Fira hanya memandang
mereka, tidak terlibat adu mulut. Dia melirik bangku disampingnya menemukan
Fara tengah memegang kepAlanya, guratan-guratan lelah tergambar di sana,
merangkai kata bukanlah bidangnya.
Fira melirik bangku
disampingnya, menemukan gadis yang sering merendahkannya tengah bergelut dengan
buku setebal dinding. Dia hanya membolak-balikkan tiap lembar tanpa membacanya,
dia tidak mengerti dengan berbagai macam teori yang ada. Dia membanting bukunya
di atas meja, laptop yang tengah menemaninya berguncang karena getaran di meja.
Dia menatap Fira yang sedang tersenyum mengejeknya, mngejek
ketidakberdayaannya.
Seseorang datang
menemui Fira, tubuhnya yang gempal menutupi pandangan. Membuat Fira mendecakkan
lidahnya, terhAlangi untuk melihat pemandangan yang langka ini.
“Fira, bagaimana mengerjakan
ini?” Tanya gempar, sambil memperlihatkan Fira laptopnya. Dia kesal dengan
kata-kata yang dibuatnya sendiri, tidak ada kalimat padu yang saling bertautan.
“Bab 2 berisi tentang
kajian pustaka. Jika kamu meneliti tentang Semut Rangrang Sebagai Mahkluk
Sosial berarti kajian pustakanya adalah, semut secara umum, jenis-jenisnya,
tempat koloninya. Kemudian cantumkan sedikit tentang semut rangrang beserta
pengertian makhluk sosial,” jalas Fira. Gempar hanya menganggukkan kepalnya
pertanda mengerti, dia nyengir pada Fira memperlihatkan deretan gigi kuningnya.
Semua mata memandang
iri pada Fira. Dia hanya perlu duduk santai dibangkunya, dia tidak perlu
berkicau menanyakan ini dan itu. Tidak perlu pusing dengan penelitiannya.
“Sombong sekali kamu,”
kata Tia. gadis itu sudah muak melihat tingkah Fira yang berlagak seperti
dibutuhkan semua orang.
Fira tersenyum,
“Kerjakan saja, waktu sedang mengejar. Jangan sampai terkena tikamannya,” kata Fira menusuk.
Fara melihat apa yang
tengah terjadi. Menatap Fira dengan segala perubahannya, bukan gadis ceria
lagi. Setiap kata yang keluar dari bibirnya menusuk hati yang mendengarnya.
“Kamu hanya bayangan
Fara. Menakutkan..” kata Tia sambil bergidik.
Kemarahan Fira
memuncak, dia tidak menyukai kata itu. Hanya menjadi bayangan membuatnya akan
hilang, karena itu keberadaannya tak dianggap di semua lingkungan.
“Daripada kamu,
bersolek berjam-jam di depan cermin usang hanya untuk menarik perhatian lelaki.
Tidak punya otak, setan telah berkeliling di setiap perputaran waktumu,” kata
Fira menyiratkan luka di hati Tia.
Fira bangkit dari
kursinya dengan gusar, meninggalkan kelas yang sudah membuatnya semakin
terbakar. Dia ingin sendiri di dunianya yang sepi, dia sudah tak perduli dengan
tempatnya saat ini, menghilang jauh lebih indah. Dia melihat Fara menatapnya
tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakannya.
“Firaaa… “ panggi Fara.
Tapi Fira telah menghilang di kerumunan siswa yang lain. Sosoknya sudah tak
terlihat dari pandangn.
*****
DIBALIK BUKU BERDEBU
Lembaran
putih berlipat-lipat, saling menindih
Ternodai
gumpAlan debu
Hanya
mematung pada tempat kebanggaan
Tak
dilirik satupun orang
Padhal,
dia ingin berbagi
Sejuta
pengetahuan yang tersimpan
Mengelupas
sebuah misteri
Keberadaannya
di tempat ini
Hanya
sebagi pajangan penghias mata
Mempertemukan
dua pasang jiwa
Yang
akan menjadi sahabat karibnya…
Fira menatap tembok putih dihadapannya,
mencari sebuah ide di dalamnya. Menjelajahi setiap material-material
penyusunnya. Dia sedang bergelut dengan berbagai macam cerita yang melibatkan
hati dan perasaannya.
Setiap detik kejadian
dalam hidupnya dia tulis dalam lemabaran-lemabaran putih yang dia ukir dengan
kata-katanya yang menggairahkan. Membagi rasa sakitnya.
Fira membuat lukisannya sendiri di kanvas
putih yang suci, menatap seorang gadis yang sama dengannya tengah dikerumuni
semua orang. Membuat hatinya merasa teriris saat melihatnya. Dia goreskan
pensil itu menghubugkan tiap titik yang ada. Menjadikannya sebuah goresan tanpa
noda yang menorehkan luka. Tiap goresan yang dia buat bagaikan sebuah nada
keperihan. Mencabik seluruh ingatannya.
Dia tersenyum sinis
pada kanvas yang sudah ternodai gambarnya yang memillukan. Ditatpnya anggota yang lain. Sama sibuknya dengan
dirinya, semuaa sedang terjerat dalam permainan yang tak pasti. Yang menentukan
keberadaan mereka.
“Semangat semuanya” ucap Fira sambil berdiri
dari tempat duduknya, diangkatnya kedua tangannya memberi semangant pada
anggota mading.
Semua mata menatapnya dengan senyuman, mereka
tahu apa yang dirasakan ketuanya ini, dia ingin dianggap bukan hanya karena dia
mampu. Tapi dia hanya ingin keberadaan siswa-siswa yang seperti mereka
dihargai.
“Tentu” jawab anggota yang lain, mereka tahu seperti apa
semangat yang dimilki ketuanya.
Mereka juga akan
berusaha menyelesaikan permainan ini,
membantu pimpinannya menuju puncak permainan yang akan menjadikan mereka semua
orang-orang yang dihargai.
“Lukisan yang indah,”
komentar gita. Melihat Fira yang menggoyangkan lukisan ditangan kanannya.
“Lukisan yang memilukan.
Kanvas ini jadi ternodai,” kata Fira. Dia tersenyum pada Gita. Fira menatap
sekali lagi lukisan itu, menyisiri setiap goresan luka yang dia torehkan
sendiri.
“Ada yang kurang,” kata
Fira pada dirinya sendiri. Dia menyipitkan mata memandang lukisan itu. Tangnnya
yang mungil mulai bergerak, menari-nari di atas kanvas. Lihai bak orang sudah
mahir.
“Lengkap sudah,” kata
Fira setelah dia menyelesaikan lukisan itu. Dua buah bunga mawar yang teTiat
dengan pita tergemulai lemah di tanah. Tampak layu karena goresannya, meminta
setetes air untuk membangkitkannya.
*****
Fara membongkar semua
buku kimia yang ada diperpustakaan, membuat lemari-lemari itu berantakan, tidak
dia pedulikan tatapan marah dari penjaga perpustakaan. Pada saat jam pelajaran
seperti ini, Fira merasa perpustakaan ini miliknya dan lelaki anti sosial yang
tidak pernah bangkit dari duduknya, dipojok ruangan.
Fara menghela napas,
mengapa sekolahnya yang favorit memilki buku yang terbatas. emua
buku yang ada sudah Fara kerjakan soalnya, dan rata-rata setiap buku memilki
kesaman dalam soal, membuat Fara malas untuk mngerjakan soal yang mirip.
Ditatapnya deretan
buku, yang sudakh dibolak-baliknya berulang kali. Buku yang berdebu itu membuat
dadanya terasa sesak. Di baliknya tumpukan buku itu sekali lagi. Dan, tepat
saat itu, Fara melihat lelaki anti sosial itu sedang berdiri menatapnya,
bibirnya seperti ingin mengucapkan sesuatu tetapi tertahan ditenggorokannya
Dia bersusah payah
mencoba mengucapkan kalimat itu, dia menunduk. “Terimakasih” katanya pelan. Kata
itu membuat Fara merasa aneh. Dahi Fara berkerut, terimaksih untuk apa. Fara merasa
dia tidak pernah menolong Alan. Jangankan menolongnya, memulai pembicaraan
dengannya baru kali ini.
Melihat Fara hanya diam
dengan dahinya yang berkerut memaksa Alan untuk berbicara lagi. Dia berpikir
gadis dihadapannya ini, tidak ingat atau memang dia memiliki daya ingat yang
sangat rendah.
“Berapa IQ-mu?” tanya Alan
tiba-tiba, membuat Fara merasa tersinggung. Untuk apa menanyakan hal itu
memangnya penting baginya, dan stelah dia tahu apa yang akan dilakukannya.
Kini wajah Fara yang
tadinya heran berubah menjadi kesal, mengapa lelaki ini sangat sombong, padhal
dia baru pertama berbicara dengan Fara.”beginikah
sikap orang yang anti sosial” batin Fara.
Melihat ekspresi Fara
yang seperti itu membuat Alan menjadi tidak sabar, mengapa jAlan pikiran gadis
ini begitu lambat “Kamu memiliki daya ingat yang sangat rendah?” kata Alan
lagi. Dia memasukkan kedua tangannya kedalam saku celananya, membuatnya tampak
semakin sombong dalam pandangan Fara.
“Entah manusia seperti apa kamu, tapi
terimaksih juga” kata Fara sambil pergi meninggalkan Alan yang sedang
tersenyum.
Fara masih menahan
emosinya, sopan santun masih menguasai dirinya. Bagaimanapun juga Alan sudah
membantunya, meskipun hanya bantuan kecil, tapi sangat berguna bagi Fara saat
itu, “aku masih ingat saat kamu hanya
menunjukku, “ batin Fara.
Fara kembali bergelut
dengan laptopnya, mengerjakan soal yang sudah dicari di internet. Mencoba
melupakan kata-kata Alan barusan, berani sekali dia mengatakan IQ Fara rendah
secara tidak langsung.
“Kasihan sekali, dunia
begitu luas seharusnyadia tidak menyia-nyiakan orang yang ada disekelilingnya.
Menjadikan mereka sebagai seorang teman bukan hanya sebuah patung. Bagaimana
mungkin, dia hidup tanpa teman…” gumam Fara sendiri.
Fara menunggu
kedatangan Ibu Mia yang sedang mencari soal-soal olimpiade tahun lalu di
ruangannya.
Fara melamun menjejaki pikirannya yang mulai
bosan. Otaknya kembli menuntunnya pada satu nama, Fira. Fira tidak pernah
berbicara satupun kata dengannya hari ini. Bayangan akan apa yang dilakukan
Fira kemarin selalu berputar diotak
Fara. Tidak pernah menyangka Fira merusak ikatan diantara mereka
"Memangnya sudah
tidak ada keindahan diantara kita?" tanya Fara pada dirinya. Rasa sakit
dihatinya terbangun mengingat itu. Bunga yang selalu menjadi symbol keberadaan
mereka dengan mudahnya dibuang begitu saja oleh Fira
"Apa aku sudah
tidak berarti bagimu?" katanya lagi. Pikirannya sampai pada suatu
pertanyaan besar dalam dirinya. "Bagaimana jika aku Fira. Mampukah aku
bertahan dengan semua perbedaan yang ada?" katanya. Matanya menerawang
pada layar laptop yang sudah terisi penuh dengan rumus-rumus kimia.
Fara menggeleng
membayangkannya. Sebuah tangan sudah menepuk bahunya, Fara terkejut. Dia
berdiri membuat tangan Ibu Mia terlempar begitu saja, bertabrakan dengan kursi.
Ibu Mia menatap kasihan
pada tangannya yang memar. "Kamu kenapa? ada masalah?" tanya Ibu Mia
"Maafkan saya Ibu.
Saya tidak sengaja," kata Fira dengan mimik wajah yang ketakutan.
"Tidak
apa-apa," kata Ibu Mia. Dia membuka soal-soal yang dibawanya.
Menjelaskannya pada Fara.
Fara melamun lagi,
tidak memperhatikan apa yang dijelaskan Ibu Mia, materi tentang hubungan molaritas dengan ksp. Materi itu
hanya keluar masuk dari telinga kiri menuju telinga kanan. Fara membayangkan
bagaimana jika Fira yang melakukan itu, apa dengan semudah itu Ibu Mia
memaafkannya.
*****
TOREHAN LUKA
MENJELANG PERTEMPURAN
Darah
sudah tertumpah di hati
Semakin
kau siram dengan air garam
Membuatnya
luka karena kata
Kau
torehkan luka diantara darah yang mengental
Membuatnya
cair tak ingin mengalir
Goresan
itu terlalu dalam
Tak
dapat dijangkau jemari tangan
Hembusan angin membuat
bulu kudu berdiri. Gelapnya malam menambah kesunyian diantara kedua gadis itu.
Ingin memulai mengusiknya tapi terjanggal karena hati yang sudah terluka.
Fira menatap lembaran
putih yang sudah tersiram tinta hitam itu dengan serius. Difokusknnya semua
pikirannya hanya untuk ini. Menelaah setiap kata yang sudah diukirnya. Besok
semuaya akan terjadi. Hal yang sudah lama ditunggunya sebgai jembatan untuk
mengubah segAlanya. Besok adalah hari penentuannya, hari yang akan menjadi
sejarah dalam hidupnya.
"Pena kecil dalam
kertas putih. Berharap kamu dapat dilirik orang lain, membuat mereka ingin tahu
tentangmu lebih banyak," kata Fira berbicara pada lembaran yang
dipegangnya.
"Fir…" gumam
Fara pelan. Dia mencoba mengusik kesunyian yang melanda di setiap ujung ruangan
ini.
Fira mengabaikan
panggilan Fara. Dia tetap menatap lembaran ditangannya. Sengaja tenggelam dalam
tinta hitamnya.
Fara bangkit dari kursi
belajarnya. Dia sudah tak tahan dengan sikap Fira yang seperti anak kecil.
Mengabaikannya tanpa alasan yang pasti.
"Kamu kenapa
Fir,?" tanyanya dengan bersahabat. Dia memegang pundak Fira yang dingin
karena angin malam.
"Diam," kata
Fira sambil berdiri dari kursinya. Kaki kursi itu menimbulkan bunyi berdecit
karena gesekan yang terjadi dengan lantai.
Fara terkesiap
mendengar apa yang dikatakan Fira. Hatinya sudah terluka. Kenapa ditambah lagi
dengan kata itu. "Diam,"ulang Fara lemah. Buliran bening itu sudah
menetes.
"Bagaimana aku
bisa diam. Apa kamu marah padaku?", Tanya Fara dengan nada tetap tenang,
tapi air matanya tetap mengalir. Tidak terbiasa dengan kata yang seperti itu,
kata yang seolah membentaknya.
"Aku yang salah
karena terlahir di dunia bersama orang yang cerdas," kata Fira semkakin
menjad-jadi. Semakin menusuk hati Fara.
Fara menahan isakannya
yang ingin pecah."Tidak ada yang salah. Kita hanya perlu menjaga hati.
Jangan biarkan dia tertoreh luka," kata Fara tetap bijaksana. Dia ingin
tetap tenang, tidak ingin mengikuti jalur emosi Fira.
"Hatiku sudah
tertoreh luka. Aku juga sudah menorehkan luka. Terlalu banyak luka membuatku
tak dapat bertahan. Symbol ikatan kita sudah termakan hujan. bukankah itu
menorehkan luka di hati kak Fara," kata Fira. Dia berbalik meninggal fara
yang mematung ditempatnya. Dia pergi menjauh meninggalkan dunia, menjelajah
setiap alam mimpinya.
Fara terdiam. Memang
dia sudah terluka karena itu, tapi coba ditahannya. Dia tidak ingin membuat segAlanya
menjadi rumit. Dia menyeret kakinya yang terasa berat. Ditatapnya kumpulan soal
kimia di meja belajarnya. Besok adalah hari pertempurannya, tapi semuanya teras
mati karena kejadian tadi.
Fara mengambil dua buah
mawar yang sama dengan mawar Fira yang sudah dilemparkannya di tengah guyuran
hujan. Menatapnya lemah. Setetes air matanya jatuh tepat di atas bunga itu.
Menjatuhkan luka yang dirasakannya. Duri yang ada di batang bunga ini seperti
menusuk pori-pori tangan Fira.
Dia mengerjakan
soal-soal yang tertumpuk di meja belajarnya. Apapun masalahnya dia tetap harus
focus pada olimpiade besok.
. “Ternyata sudah mulai, bagaimana aku mencegah agar hatimu tetap sama
Fira," batin Fara.
*****
PERPUTARAN RUMUS
DALAM KOTAK KACA
Pikiranku
terjepit dalam kotak kaca
Rumus-rumus
menjelajah mencari tempat bersinggah
Merangkak
dalam tinta
Terperangkap
di tempat yang pengap
Keindahan
dalam kebeningan tengah tergoyah
Tempelan
rumus mengejek
Menari-nari
dalam otak
Fara menatap gedung
yang ada di depannya saat ini. Salah satu gedung milik pemerintah. Dia tidak
pernah menyangka bisa menjejakkan kaki ditempat ini, dalam rangka membawa nama
sekolahnya.
Suara lembut yang
keluar dari speaker itu, memaksa
semua peserta untuk segera memasuki ruangan membuat Fara dengan cepat
melangkahkan kakinya. Dilihatnya semua nomor yang ada disetiap pintu ruangan,
dia berada diruangan 3B bersama dengan Alan.
Fara duduk dikursinya
yang berada di depan meja pengawas, Alan berada
tiga meja dbelakangnya. Fara mendengarkan degan seksama aturan dalam
permainan ini, setelah aturan permainan disampaikan kemudian pengawas
memerintahkan semua peserta untuk memulai mengerjakan soal.
Fara menarik napasnya
dalam-dalam. Ditatapnya kertas-kertas soal yang terdiri dai 3 lembar dengan
jumlh soal 50. Digosoknya kedua tangannya untuk mngeringkan keringat yang mulai
tampak ditangannya, kemudian dia mengambil pensil yang ada disampingnya. Dibacanya
soal-soal itu dengan teliti. Mengerjakannya dengan tenang, menjadikan soal-soal
itu sebagai seorang sahabat yang akan membantunya. Mendekatinya untuk menemukan
kebenaran dirinya dalam setumpuk kesalahan yang dimilkinya. Menuntunnya memilh yang
benar diantara yang salah. Menjadikan soal-soal itu tersenyum padanya ketika
tangannya memilih yang benar sebagai sebuah petunjuk untuk meyakinkan dirinya
dengan apa yang dipilihnya. Membuat soal-soal itu berpesan padanya untuk
menjaga ketelitian dalam mencari jawaban yang benar dalam dirinya. Membuat
soal-soal itu berkata terlalu banyak jurang yang sudah disipakan untuk menjebak
dirinya agar dia terjatuh dan tidak bisa melanjutkan petuAlangannya ke soal
yang lain. Mencari berbagai misteri dari semua soal yang disediakan dalam
permainan ini.
*****
Buliran bening itu
jatuh. Membuat semuanya merasa sangat lelah tapi, ini semua harus terselesaikan.
Tangan-tangan itu menari diatas karton putih itu. Kertas yang tadinya hanya
diahiasi dengan warnanya yang putih berubah menjadi kertas yang memiki berbagai
macam warna, yang dilengkapi dengan berbagai macam tulisan dan gambar.
Fira melihat semua
teman-temannya membeTiannya semangat. Sebenarnya Fira juga merasa tegang. Dia
selau menjaga pandangannya agar tidak melihat apa yang dimilki lawannya. Dia
semakin tegang karena banyaknya mata yang menatapnya. Semua pandangan
melihatnya membuat setiap gerak yang dilakukan Fira bagaikan diawasi dengan
ketatnya.
Tangan-tangan mereka
tidak boleh melakukan hal yang lain selain merangkai semua bahan-bahan yang
terlihat seperti sampah ini menjadi sampah yang terlihat begitu mengagumkan.
Membungkusnya dalam sebuah kaca yang berbentuk segi empat, membuatnya tampak
berkilau.
Fira melihat jam
tangannya, suda tiga puluh menit berlalu sejak pembawa acara menyuruhnya
memulai membuat mading seindah dan seunik mungkin. Mereka diberi waktu hanya
satu jam, dan itu adalah waktu tercepat dalam hidup Fira. Setiap menitnya
terasa bagaikan kilat yang hanya lewat didepan matanya.
“Sudah?” tanya Fira pada
Daril yang bertugas mewarnai. Tangan lelaki itu sudah berubah menjadi tumpukan
warna yang menghiasinya. Daril mengangguk dan tersenyum pada Fira.
Mereka memang memilki tugas masing-masing,
Fira bertugas untuk membuat puisi dan cerita. Gita bertugas untuk mengambar
berbagai macam anime atau ilustrasi gambar. Daril mewarnai mading secara
keseluruhan. Riska bertugas membuat berita dan artikel, sedangkan untuk
keperluan lainnya diurus oleh risma.
Mereka membagi tugas berdasarkan
kemampuan yang mereka miliki, karena segala sesuatu itu harus ditempatkan
ditempat yang seharusnya, agar semuanya berjAlan sesuai dengan yang diinginkan.
Mereka berkerja sama untuk
menyelesaikan permainan. Menjadikan tangan-tangan mereka menjadi satu dalam lingkaran
yang sama, tidak mementingkan keegoisan dari setiap tangan. Mengumpulkan
kekuatan yang dimilkinya, menjadi satu agar mereka lebih kuat. Mereka bersatu
untuk menghasilkan sebuah karya yang berkarakter dengan bumbu persahabatan yang
semakin membuatnya menjadi indah, seindah tangan-tangan yang membuatnya.
Fira dan anggota yang
lainnya menyelesaikan permainan itu dalam waktu 35 menit dari yang lain. Meskipun
begitu, mereka membeTian semangat bagi peserta yang lain. Karena, dalam
permaianan sportifitas merupakan
kunci untuk membuka pintu kemenangan. Menjadikan lawan sebagai seorang sahabat
yang akan merangkul mereka dalam kemenangan, Tersenyum pada saat mereka berada
dalam kekalahan, sebuah senyum semangat. Karena, masih banyak waktu dan
ksempatan untuk mengulang permainan. Tapi, pada saat itu mencobalah untuk berusaha lebih keras untuk memenangkan
permainan, agar tidak terjatuh dalam jurang yang sama untuk kedua kalinya.
*****
Jam, menit dan detik
semakin berjAlan memutar dalam lingkaran yang terbatas, menghabiskan setiap
waktu yang dimilki semua orang, memperpendeknya, membuat semua orang gelisah
karena perputarannya. Dia berjAlan sangat pelan, berbunyi setiap satu detik
berlalu, pelan tapi pasti langkahnya tidak dapat dihentikan.
Lingkaran kecil
tempatnya berporos hampis selesai dia kelilingi, setiap angka sudah dilewati
oleh jarum panjang itu, membuat jarum pendek selalu berhenti di satu angka sebelum
jarum panjang berada diangka dua belas. Penantian yang panjang bagi jarum
pendek, tapi sebaliknya perputaran yang terlalu cepat bagi mereka. Mereka yang
membutuhkan perputaran itu lebih lama lagi untuk meyelesaikan semuanya, tepat
pada waktu perputaran itu berhenti untuk sementara, berhenti hanya untuk
mengatakan semuanya sudah berakhir dan di kembali berputar. Mengejek bagi yang
belum menyelesaikan semuanya dan mengucapkan selamat bagi mereka yang sudah
melewatinya.
Fara menatap lembar
jawabannya dengan penuh keyakinan, semuanya sudah disinya dengan sebaik
mungkin. Dia berdiri mantap, memang bukan dirinya yang pertama menyelesaikan
soal itu, bisa dikatakan dia menyelesaikan soal itu tepat ketika waktu sudah
habis, lima jam. Sebenarnya dia ingin menyelesaikan soal ini lebih cepat tanpa
menghabiskan waktu lima jam yang membuat badannya merasa sakit semua Karena
terlalu lama duduk, tapi soal-soal ini menginginkan ketelitian bukan kecepatan.
Fara berkali-kali
memeriksa lembar jawabannya untuk memastikan dirinya tidak salah dalam
menghitung, tidak dia pedulikan waktu yang sudah mengejarnya. Dia akan
megumpulkan lembar jawabannya saat dia sudah benar-benar yakin, jadilah Fara
mengumpulkannya setelah waktu habis. Tidak seperti peserta yang lain
mengumpulkan ketika mereka sudah menyelesaikan semua soal, seperti Alan dia
adalah peserta yang mengumpulkan paling cepat, mungkin dia tidak ingin terlalu
lama ditempat yang membuatnya merasa
bosan, karena soal matimatikanya sudah habis dimakannya.
Dalam permainan ini
semua jenis bidang ditempatkan dalam satu tempat. Hal ini bertujuan untuk
menghindari adanya kerja sama diantara sesama teman yang memiliki rasa
solidaritas yang sangat tinggi, sehingga membuatnya saling mengisi satu sama
lain, agar pekerjaan mereka terasa mudah.
Fara duduk di sebuah
bangku panjang di depan ruangannya. Menghirup udara kebebasan dari soal-soal
yang membuatnya pusing. Dilihatnya bunga mawar yang tengah bergoyang di bawah
sinar matahari, mengingatkannya pada bunga yang menjadi ikatan mereka terbuang
begitu saja. Bunga itu mengukir kembali kejadian tadi malam. Ingatan tentang
kata-kata Fira terkuak dalam otaknya, tak mampu ditahan rumus kimia untuk tetap
bersembunyi di belakangnya.
Fara tersenyum pahit,
masih tidak menyangka Tuhan begitu cepat membalikkan hidupnya.
"Tuhan. Cobaan-Mu
membuatku sirna, lenyap dalam duniaku. Aku hamba-Mu yang berlumur dosa, terlalu
banyak yang telah Engkau beTian. Pantaskah hamba meminta lagi?. Kembalikan
gadis ceria yang menghiasi tiap detik hidup hamba, saudara yang Engkau beTian
pada hamba," doa Fara. Matanya tertutup, hatinya bergejolak, pikirannya
berputar dalam satu nama, Fira.
*****
KEMENANGAN DALAM
KEKOSONGAN
Apa
artinya sebuah kemenangan
terjatuh
dalam kekosongan
Membuat
suatu ikatan menjadi semu
Awal
dari sebuah permusuhan
Membuat
setan-setan menjelajah
Meraung
dalam pikiran
Membuat
buta akan kemenangan
Terjerumus
dalam dunia fana
Cepat
dan menusuk
Ikatan
diantara mereka…
Terporak-poranda
hanya karena sebuah 'kata kemenangan'
Hari senin selain
identik dengan hari upacara yang membuat semua orang malas untuk mengikutinya
juga dikenal sebagai hari dimana awal dari sebuah hari dimulai. Hari dimana
semua kejadian sekolah yang menyenangkan dimulai, hari dimana semua siswa
bertemu untuk saling mengenal dan sebagai hari dimana berbagai macam kejutan
akan tersedia. Kejutan yang mungkin menyenangkan dan juga mungkin menyedihkan
bagi setiap orang. Dua hal kemungkinan yang akan terjadi membuat semua siswa
SMA 48 menjadi gelisah, tidak sabar menunggu hal mana yang akan mereka
dengarkan.
Tidak ada suara yang
berkicau seperti burung, meskipun terik matahari sedang mengancam, tidak
seperti biasanya saat matahari baru saja meninggi semua siswa SMA 48 mngeluh
karena kefanasan, kini mereka semua diam menunggu sesuatu yang sangat mereka
inginkan. Menunggu akan seperti apa sekolah mereka yang digenggam oleh
orang-orang terpilih itu. Bahkan, mereka yang tidak terlibat juga ikut menunggu
dan merasa tegang,
Fira terdiam, matanya
yang bulat menatap anggota mading yang ada di dekatnya. Ketegangan menguasai
mereka. Keringat mereka berjatuhan di kening, mereka sudah menerima apapun
hasilnya, yang terpenting adalah mereka sudah berusaha semampu mereka. Setelah
melakukan apa yang terbaik yang bisa mereka lakukan, kini mereka hanya bisa
menyerahkan hasilnya pada yang kuasa, DIA-lah yang akan menentukan apakah usaha
mereka sudah sepantasnya dibeTian imbAlan yang seharusnya, atau malah
sebaliknya. DIA-lah juri yang sesungguhnya, juri yang paling adil dimuka bumi
ini. juri yang keputusannya memang yang terbaik untuk semua orang.
Fira dan Fara
tatap-menatap, tapi tidak ada yang bersuara. Mereka saling menguatkan dalam
hati, merasa gengsi unutuk membuka suara.
Fira mempertajam
tatapannya. Dia sudah tahu Fara pasti mendapatkannya, akan ada kejutan untuk
Fara dan aka ada kekecewaan untuk Fira. Dua hal yang selalu berlawanan dalam
hidup mereka
"Fara Amaliya
juara satu olimpiade kimia tingkat nasional dan Alan wijatma juara satu
olimpiade matimatika tingkat nasional" suara mc menggugah tatapan
Fara dan Fira.
Fara melangkahkan
kakinya menuju tengah lapangan. Menjadi
pusat perhatian semua orang. Membuat Fira tersenyum miris.
"Dan, juara 1
mading se-NTB,"kata mc itu lagi. Kata-kata itu membuat Fira bersorak,
bersama anggota mading yang lain. Mereka berpegangan tangan. Menyetarakan
langkah menuju tengah lapangan dengan kepercayaan diri yang tinggi.
"Terima
kasih Tuhan" batin Fira.
Fira menatap Fara yang
sedang dipasangkan mendali emas oleh kepala sekolah. Hatinya bergetar, ada rasa
bangga memiliki saudara seperti Fara tapi juga rasa rendah diri karena
ketidakmampuannya seperti dia.
Fira menatap sekelilingnya, mencari Alan di
tengah kerumunan pemenang. Tapi, tak dilihat sedikit pun sosok anti sosial itu.
. Kini giliran anggota
mading yang dibeTian piala oleh kepala sekolah, memang tidak sebanding dengan
apa yang didapatkan Fara, tapi bagi Fira dan anggota yang lain ini adalah hal
yang paling berharga untuk membuktikan mereka juga bisa melakukan yang terbaik
untuk sekolah ini. Bukan hanya mereka yang berprestasi dalam bidang akademik
saja yang bisa melakukannya.
Fira tersenyum miris
mendengar kasak-kusuk tentang dirinya. semuanya terdengar dengan jelas,
menggema dalam otaknya.
"Kasihan sekali,
lomba yang tak sebanding dengan kembarannya," kata-kata itu mengalir entah
dari mulut siapa. Membuat Fira tenggelam, hilang dalam kemenangan yang kosong,
tak berarti apa-apa bagi orang lain.
"Ini adalah cobaan
Allah," bisik Gita ditelinga Fira. Dia merangkul Fira, menenangkan
sahabatnya.
Fira menunduk, rasa
kecewa sudah merasuki dirinya. Kekecewaannya memuncak saat mc mendengar
kata-kata mc itu.
“Kepada Fara amaliya dipersilahkan untuk
mengucapkan beberapa ucapan terimakasih, berhubung Alan wijatma tidak masuk
sekolah. Maka, ucapan terimakasih hanya akan dilakukan oleh Fara amaliya”.
Kata-kata
itu bagaikan petir di siang hari bagi Fara. Kenapa hanya dirinya, bukan hanya
dia seorang pemenang. Dia menatap sekelilingnya, mencari sosok Fira namun dia
sudah pergi menjauh meninggalkan tempatnya.
Fira
tersadar bahwa kehadirannya seperti debu yang tidak berarti apa-apa. anya Dia
menatap langkah kakinya, masih tidak percaya dengan semua ini. kemenangan yang
tidak dianggap semua orang. Air matanya terjatuh di sepatunya, bayangan akan
perjuangannya bersama anggota mading dan bimbingan Pak Jihad berkelebat di kepAlanya.
"Maaf,
membuat bapak menerima semua hinaan itu lagi," kata Fira di balik
tangisnya. Kemenangnnya dia persembahkan untuk sekolah, untuk membuktikan
mereka mampu tapi semuanya seolah sirna dalam hitungan detik. Kerja keras
mereka tak dianggap sedikit pun.
*****
Hari ini merupakan hari
yang akan selalu dikenang oleh Fira, sampai kapanpun itu. Karena berawal dari
hari ini semuanya terjadi begitu saja, sangat cepat membuat Fira tidak bisa
memutar waktu untuk mengulang apa yang baru saja terjadi, ketika Fira baru saja
terluka semakin membuatnya terluka mendengar
perkataan semua orang. kata-kata yang membuatnya sangat direndahkan
“Jangan dengarkan mereka”kata gita yang duduk
disampingnya, gadis itu mencoba menghibur Fira, meski dia juga merasa sangat
kecewa karena usaha mereka dipandang rendah seperti itu. Tapi, dia tahu Firalah
yang paling sakit mendengar semua itu, karena dia dibandingkan dengan
kembarannya sendiri.
Fira mengangguk pada gita, mereka berdua
berdiri meninggalkan ruang mading karena bel sudah berbunyi. Melangka ke arah
yang berbeda, karena mereka memang tidak sekelas.
Fira menabrak seorang
gadis, yang sepertinya anak kelas XI itu. “si kembar yang memiliki perbedaan
yang sangat jauh, aku pernah berpikir betapa sulitnya membedakan kalian, tapi
mengetahui ketidakberdayaanmu dalam
perhitungan membuatku terkejut. Aku pikir otak kalian setara” kata gadis itu
sambil berlalu tanpa mempedulikan Fira sedikitpun,
Kata-kata itu langsung
menyirat hati Fira. Seorang adik kelas menghinanya tanpa menghormatinya sebagai
kakak kelasnya. Dimana lagi sopan santun yang harus dikembangkan dalam
pergaulan, seseorang seenaknya saja menghina orang lain tanpa memeperdulikan
betapa sakitnya perasaan orang yang dihina.
Fira menahan air
matanya supaya tidak terjatuh, dia tidak ingin menangis karena orang seperti
mereka, “Air mataku tidak akan terjatuh hanya untuk orang rendahan seperti
mereka”kata Fira menguatkan dirinya.
*****
BINTANG
MENANTANG BULAN
Aku
sudah lelah mengemis dalam naungan sinarmu
Hanya
menjadi penghias latar hidupmu
Kau
dipuja semua umat Tuhan karena sinarmu yang gemerlap
Membuat
ku tenggelam dalam pandangan mata
Lucukah
bila aku mengatakan "aku menantangmu, bulan"
Aku
ingin mengalahkan sinarmu dalam peputaranku
Sinar
yang ku hasilkan sendiri hanyalah sinar kecil
Membutakanku
saat ku tatap langit yang gelap gulita dalam bentangan yang luas
Jam yang berbentuk micky mous yang ada diatas meja belajar
Fira sudah menunjukkan jam 13.00 tepat, pemiliknya masih berkutat dengan tiga
mata pelajaran yang membuatnya selalu mengantuk saat membacanya, matimatika,
fisika dan kimia. Sudah enam jam Fira mepelajarinya dan sudah enam jam pula dia
menahan rasa mengantuknya.
"Akan aku buktikan
aku bisa mengalahkannya.." gumam Fira
Dia mengerjakan soal-soal yang sudah dicarinya
di internet, kali ini dia mengerjakan kimia setelah dia selesai mengerjakan
fisika dan matimatika. Dibacanya soal itu dengan pelan, mencoba memahami apa
yang diinginkan, tapi sama seperti dua mata pelajaran sebelumnya. Dia tidak
dapat mengerjakan soalnya pada saat bacaan pertama, dia membutuhkan waktu
bermenit-menit untuk memahami soalnya saja, bagaiman dia akan mengerjakannya
saat dia tidak memahaminya.
Fira mendengus,
badannya sakit semua Karena terlalu lama duduk, dia menghitung jarinya,
sepertinya dia hanya dapat menjawab 15 soal fisika dan matimatika, hanya 30
soal dalam waktu lima jam dan soalnya memiliki tingkat kesulitan dalam katagori
sedang, tidak sebanding dengan Fara yang dapat mengerjakan beratus-ratus soal
dalam waktu 5 jam.
Sekarang, satupun soal
kimia belum dapat dia selesaikan, mengapa kima selalu terasa sulit baginya,
berhadpan dengan reaksi-reaksi kimia membuat Fira bosan, tapi dia harus tetap
focus untuk mengerjakan soal ini.
“Tidak tidur?”tanya
Fara sambil menggosok matanya. Fira terkejut melihat Fara sudah ada didekatnya,
bukankah Fara sudah tertidur.
Fira tidak mempedulikan
kedatangan Fara. Dia tetap menatap bukunya tanpa mengacuhkan pertanyaan Fara.
Dan, semuanya terasa
nyata dalam waktu yang sanagat singkat, Fira tidak menginginkan kata-kata itu,
tapi meluncur begitu saja. Bagaimana mungkin semua yang ada dalam dirinya sudah
tidak ingin dikontrol oleh pemilknya. “Mari kita bersaing, mengubah pandangan
semua orang” kata itu Fira ucapkan dengan nada yang sedikit marah dan
sinis membuat Fara kaget mendengranya.
“Kamu bercandakan?” tanya
Fara penuh harap, dia tidak ingin apa yang dipikirkannya juga mulai nyata.
“ Tidak, lihat” kata Fira sambil menunjuk
tumpukan soal dan materi-materi yang sudah dia coba pelajari. “Aku ingin
mengalahkan cahaya bulan, meskipun aku sadar bintang tidak akan pernah menang
melawannya, setidaknya bintang pernah mencobanya, daripada dia hanya terdiam
tanpa melakukan sesuatu” kata Fira lagi, lagi dan lagi, kata yang diucapkannya
sendiri saja membuat dadanya merasa sesak. Dia ingin mencegah semua kata itu
tapi sepertinya kata-kata itu sendiri yang ingin keluar, merusak dirinya dan
Fara.
“Aku bisa membantumu”
kata Fara mencoba tenang, dia tidak
ingin apa yang dipikirkannya benar-benar nyata, dia mencoba tersenyum,
menganggap kata Fira hanya sebuah kata yang tidak serius dan akan berakhir saat
mereka terbangun besok. Mengubah jAlan pikiran Fira tentang persaingan yang
dimaksud, hanyalah persaingan biasa.
“Kata-kata itu
merendahkan dan dimana-mana pesaing tidak pernah saling membantu” ucap Fira
semakin menjadi-jadi. Dia menatap mata Fara saat dia mengatakan itu
Serasa angin malam yang
dingin ini berlahan akan membunuh Fara, kata-kata itu membuatnya tidak mampu
lagi berpikir apa yang tengah dibicarakan Fira. Dia hanya diam, menerawang
dalam mata Fira yang menatapnya dengan tatapan yang tidak pernah dilihatnya,
tanpa dia sadari dia mengulang apa yang dikatakan Fira “pesaing” gumamnya tidak
percaya.
Fira beranjak dari
tempt duduknya, meninggalkan Fara yang masih tidak percaya pada kata-kata Fira,
rasanya begitu cepat waktu merasuki persaudaraan mereka, membuatnya hancur
seketika.
Berlahan tapi pasti air
mata Fara jatuh membasahi pipinya, dia terduduk, kakinya sudah tidak mampu lagi
menompang tubuhnya. Ditatapnya lantai itu mencoba mencari apa yang sebenarnya
terjadi antara dirinya dan Fira. Dia berharap Fira membalikkan tubuhnya,
melihat betapa buruknya akibat dari kata-katanya itu pada Fara, tapi Fira terus
melangkah menuju tempat tidurnya tanpa menoleh sedikitpun, membuat hati Fara
merasa sakit sekali.
“Semua
sudah terjadi, entah bagaimana penyelesaian dari semua ini. maaf, membuat hati kakak
sakit. Mungkin, memang begini jAlannya, jAlan yang sudah ditakdirkan sebagai
jembatan untuk kita menjadi lebih mengenal seperti apa kehidupan yang akan kita
jAlani nantinya” batin Fira sambil menahan
tangisnya, mencoba memejamkan matanya
dan berharap mimpi yang indah hinggap dalam tidurnya.
*****
Seperti bulan dan
bintang menghilang entah kemana, menjauh dari belahan bumi yang satu kebelahan
bumi yang lain ketika mendung datang mengusik kebersamaan mereka, sudah tidak
ada lagi bintang yang menghiasi bulan, dan bulan sebagai penerang bagi bintang.
Saat mendung datang kebersamaan yang melengkapi mereka menghilang dalam waktu
yang sangat cepat, secepat hembusan angin yang tidak terlihat tapi dapat
dirasakan keberadaannya.
Fara menatap setiap
langkah kaki Fira, ingin rasanya dia menyamaknnya dan berjAlan disampingnya,
membuat nada-nada yang indah dari setiap langkah mereka yang beriringan,
seperti yang selalu mereka lakukan. Tapi, ketika Fara ingin mengejar langkah
itu, langkah itu semakin cepat menjauh darinya meninggalkan Fara jauh
dibelakang.
"Kemenangan yang
memilukan," kata Tia menyambut kedatangan Fira. Dia berkacak pinggang,
menatap rendah pada Fira
"Lebih baik
memilukan daripada memalukan," balas Fira. Dia menatap Tia tajam,
mengacuhkannya.
Sedangkan siswa yang
lain tengah mengerumuni fara, membeTiannya selamat atas kemenangannya yang luar
biasa. Tak ada satupun yang melihat keberadaan Fira, membuat dia semakin ingin
mengalahkan Fara.
Suara sepatu buk mia
terdengar sangat tegas memabuat semua anak kelas XII.IPA3 kembali ke bangku
masing-masing, menunda berbagai pertanyaan yang akan dilemparkannya pada fara
tentang bagaimana perasaannya. Mereka memperhatikan Ibu Mia yang sudah menaruh
tasnya di meja guru, tangan kanannya mulai menari-nari di papan tulis menuliskan
materi hari ini, Polimer.
“Siapa yang bisa
menjelaskan, apa itu polimer” kata buk mia sambil menggoyang-goyangkan spidol
yang dipegangnya, matanya terfokus pada semua siswa yang ada di kelas. Fara
mengangkat tangannya dan Ibu Mia tersenyum melihatnya, ada rasa bangga pada
dirinya karena dugaannya selalu benar, selalu Fara siswa petama yang akan
menjawab pertanyaannya.
“Polimer berasal dari
bahasa yunani yaitu poly dan meros. Poly
yang berarti banyak dan meros berarti unit atau bagian. Jadi, polimer merupakan
senyawa yang besar, dan terbentuk dari hasil penggabungan sejumlah unit molekul
yang kecil, unit kecil itu disebut monomer” jawab Fara dengan sangat tenang dan
sempurna.
“Selalu sempurna,” kata
Ibu Mia sambil tersenyum.”ada yang tahu berapa jumlah molekul monomer?”
tanyanya lagi. Dia berjAlan kesamping Fira, menatapnya dengan tatapan mengejek.
Fira tidak menyukai tatapan itu sehingga dia mengangkat tangannya, membuat
semua orang kaget dengan sikapnya. Sejak kapan Fira yang anti dengan pelajaran
kimia tiba-tiba mengangkat tangannya, kelas yang tadinya sepi berubah menjadi
pasar hanya karena kelakuan kecil Fira. Fira semakin berani karena itu, dia
sungguh merasakan semua orang meremehkannya dalam pelajaran yang membutuhkan
kerja otak kanan.
Fira memang membacanya
tadi malam, bahkan pgambaran tentang materi itu masih buram dalam ingatannya,
tapi karena semua orang memperlakukannya seperti itu, pengetahuan tentang
materi itu menguat secara tiba-tiba dalam ingatannya, mungkin karena sugesti
yang ada dalam dirinya, “buktikan pada
mereka semua”.
“Jumlah molekul
monomer” kata Fira terbata-bata membuat semua tertawa melihatnya, bahkan Ibu
Mia menyuruhnya berhenti dan menyuruh Fara menjawabnya.
“Bantu dia, Fara” kata Ibu Mia. Fara melirik
Fira yang ada di dekatnya, keringatnya sudah bercucuran, kebiasaan Fira jika
dia merasa takut. Fara membuka mulutnya.. “Jumlah molekul mono…” kata-kata Fara
tercekat ditenggorokannya, dia melihat Fira yang ada disampingnya melanjutkan
kata-katanya dengan mantap.
“Jumlah molekul monomer
yang bergabung membentuk polimer dapat mencapai puluhan ribu, sedangkan massa
molekul relatifnya dapat mencapai ratusan ribu, bahkan jutaan”
“Karena itu, polimer
disebut juga dengan senyawa makromolekul, molekul raksasa dengan rantai yang
sangat panjang yang terbentuk dari molekul-molekul sederhana” kata Fara
melanjutkan penjelasan Fira.
Mereka saling menatap,
membaca pikiran satu sama lain. “Polimer banyak digunakan dalam kehiduan
sehari-hari, ada yang namanya aplikasi polimer cerdas. Polimer cerdas ini merupakan
polimer yang mampu beradaptasi terhadap perubahan kecil dari kondisi lingkungn”
kata Fara sambil terus menatap Fira,
tidak dia pedulikan tatapan marahnya.
“Polimer cerdas ini
dimanfaatkan pertama kali dalam pemuatan baju olahraga pada olimpiade Beijing
tahun 2008, polimer ini digunakan untuk mengatur suhu tubuh atlet” kata Fira
melanjutkan penjelasan Fara.
“Polimer juga
dimanfaatkan dalam bidang medis, terutama aplikasi drug delivery atau penyampai
obat, gen karier, sensor glukosa, tes diagnose, kontak lensa mata dan
lain-lain” balas Fara. Dia tidak ingin mengalah dalam bidangnya. "inikah persaingan kita?" tanya
Fara dalam hati
"Semua pemanfaatan
itu didasarkan pada sifat kepekaan dari polimer cerdas," sambung Fira
lagi. Tatapannya semakin menajam
"Polimer yang
mempunyai dua kepekaan sekaligus ini juga sangat potensial dikembangkan baik
sebagai drug deliverymaupun di bidang lain. Contoh, polimer cerdas dalam bentuk
selaput yang telah ditemukan oleh Andrea Puci dari Universitas Pisayang peka
tekanan sekaligus peka tempratur, " jelas Fara panjang lebar sambil terus
menatap Fira, bahkan mereka berdua tidak sadar mereka sudah terlibat dalam
debat yang membuat anak
Ipa3 terkejut, bukan
terkejut karena Fara pemenangnya, karena Fira sudah terdiam, tidak bisa melanjutkan
penjelasan dari Fara. Dan hal itu memang wajar, karena Fara memilki pengetahuan
tentang kimia sangat jauh ketimbang Fira.Tapi, yang membuat mereka semua
terkejut adalah Fira, mungkinkah bakat terpendam yang dimiliki Fira sudah mulai
bangun dalam dirinyadan.
“Cukup, Fara
pemenangnya. Kerjakan uji komptetensi 1, minggu depan Ibu periksa” kata Ibu Mia
mengalihkan pandangan semua orang padanya. Dia tersenyum, mengambil tasnya
kemudian keluar kelas, tapi sebelum menghilang dibalik pintu kelas ipa 3. Dia
mengucapkan kata itu, kata yang membuat Fira semakin sakit.”Terus berusaha, sepertinya
persaingan telah dimulai” katanya pada semua siswa yang ada dikelas, tapi
jelas-jelas tatapan matanya tertuju pada Fira.
Kepergian Ibu Mia,
merupakan awal dari keributan kelas dimulai, semua orang mengelilingi bangku
Fara dan Fira, berbagaimacam pertanyaan menghantam mereka, bagaikan seorang
artis yang sedang melakukan jumpa fans.
Fira menyeruak
kerumunan itu, meninggalkan Fara yang bingung menghadapi teman-temannya. Fira
berlari-lari kecil meninggalkan kelas, hanya satu tempat yang bisa dituju,
ruang mading. dia ingin melepaskan ketegangan yang ada dalam dirinya, mecari
udara kebebasan yang hanya dapat dia temukan diruangan ini.
“Hebat”kata gita
menyambut kedatangan Fira, dia berdiri dari tempat duduknya mengehentikan
pekerjaan membereskan semua kertas-kertas yang berserakan. “Cuma kebetulan dan
keberuntungan” jawab Fira dengan ekspresinya yang murung, sama sekali tidak
bersemangat. “Bukankah kebetulan dan keberuntungan itu memiliki perbedaan yang
tipis” lanjutnya lagi. Gita menganggukan kepAlanya, pertanda dia mengerti.
“Aku membaca pengertiannya sebentar tadi
malam, sisanya ku temukan dalam sebuah majalah sebagi refrensi untuk artikel
mading,” kata Fira sambil melihat artikel-artikel mading yang akan dipajang
minggu ini.
“Ada masalah?” kata
gita hati-hati, dia tidak ingin Fira menganggapnya orang yang ingin tahu
kepentingan orang lain, karena gita hanya bermaksud dia bisa membantu apa yang
sedang menimpa Fira.
Fira menggeleng sambil
tersenyum. Masalah ini adalah masalah antara dia dan Fara, bahkan dia tidak
ngin orang tuanya mengetahui anak-anaknya sedang dalam masalah.
Gita juga ikut
tersenyum, dia tahu Fira mempunyai masalah, tapi sepertinya dia tidak ingin
orang lain tahu. “lakukan apa yang menurut hati dan pikiran kamu benar fir,”
kata gita sambil memegang bahu Fira, dia memang tidak tahu apa masalah Fira,
tapi gita berharap dengan kata-katanya itu bisa lebih memotivasi Fira dan apa
yang sedang menimpanya akan segera terselesaikan.
*****
Fira menghitung setiap
langkahnya, merenungkan kejadian hari ini. kejadian yang pertama kalinya antara
dia dan Fara.
Braakkk..
Fira memegang
pundaknya, dia merasakan ada sesuatu yang mengenainya atau tepatnya
ditabraknya, "mungkin hanya sebuah ranting pohon" pikir Fira.
Sehingga, dia tetap berjalan tanpa melihat ke belakang, tanpa mempedulikan apa yang ditabraknya.
“Hey” kata seseorang
membuat Fira membalikkan badanya, meskipun dia tidak yakin panggilan itu
ditunjukkan untuknya. Fira mengerutkan kening saat melihat siapa orang itu, si
kekurangan kosa kata. “apa?”Tanya Fira dengan kedua tangannya diletakkan di
dada.
“Minta maaf”
perintahnya, sambil menatap Fira, dengan tatapan aneh itu lagi. Fira tersenyum
sinis mendengar kata-kata lelaki itu, lelaki yang menabraknya, lelaki yang
ditolongnya dan tidak mengucapkan maaf ataupun terima akasih, malah memberi
tahu namanya, Alan.
“Kamu saja tidak minta
maaf dan tidak mengucapkan terimakasih” balas Fira. Alan mengerutkan keningnya,
dia merasa sudah mengatakannya pada gadis yang ada di depannya ini. Alan
memutar bola matanya, berpikir keras tentang satu hal, dia berbeda. “aku merasa dia bukan seperti Fara yang
cerdas, gadis yang selalu bergelut dengan buku kimianya” kata Alan dalam
hatinya.
Melihat tingkah Alan
yang seperti itu, membuat Fira mengerti lelaki ini tidak tahu tentang dia dan
Fara. Hal itu mungkin saja, mengingat Alan tidak peduli dengan sekelilingnya.”Aku bukan Fara, aku
Fira” kata Fira penuh penekanan dalam kata bukan.
Bukannya bertanya tapi
mengerutkan kening lagi, membuat firaa merasa jengkel harus berhadapan dengan
orang yang punya mulut tapi tidak memiliki kosa kata seperti ini.”kami kembar,
sebaiknya jika kamu tidak tahu bertanya saja, dari pada kamu tersesat di jalan”
kata Fira penuh sindiran.
“Maaf” kata Alan sambil
menggaruk kepalanya yang tidak gatal, merasa malu dengan apa yang dikatakan
Fira.
“Sebagai permintaan
maaf dan terimakasih, kamu ajarin aku matimatika. Bukankah itu bidangmu,” kata
Fira, meminta Alan tanpa sedikitpun keraguan. Alan mengerutkan keningnya lagi
sambil melongos mendengar ucaan Fira, sangat berbeda dari Fara yang ditahunya.
“Bicara jangan hanya
mengerutkan kening, bukankah aku sudah mengatakannya,” kata Fira menahan emosi
dalam dirinya.
“Tidak” kata Alan,
singkat, padat dan jelas. Membuat Fira melongos, hanya kata ‘Tidak’ yang keluar
dari mulutnya.
”Sekarang,” perintah
Fira sambil memperlihatkan buku matimatikanya..
*****
Sudah tiga jam mereka
berkutat dengan buku matimatika, membuat mereka lupa pada waktu, tenggelam
dalam kesenangan bermain dengan soal-soal yang tadinya tidak menarik bagi Fira
menjadi permainan paling menarik setelah Alan mengajarinya bagaimana cara
menaklukkan soal-soal itu.
”Terima kasih” kata
Fira sambil membereskan bukunya. Fira mengingat lagi bagaimana semua ini bisa
terjadi, dia harus mengorbankan rasa malunya, entahlah apa yang sedang
dipikirkannya saat itu, mungkin dia sudah frustasi dengan kemampuannya sendiri
sehigga dia membutuhkan orang lain untuk membantunya. Dan, kenapa Alan? Fira
bahkan tidak tahu mengapa harus Alan, mungkin karena diakebetulan ada di saat Fira sudah mulai mengalah dengan
apa yang sudah diputuskannya.
“Iya” kata Alan singkat
membuyarkan lamunan Fira. Fira terkikik mendengarnya, dia mengajungkan kedua
jempolnya untuk Alan,”Hebat” kata Fira sambil menutup pintu ruang mading.
“Tidak sehebat Fara”
kata Alan santai, dan kata itu membuat keceriaan Fira menguap ke angkasa,
bahkan meskipun Alan tidak tahu mereka kembar, hanya nama Fara yang ditahunya.
Mereka sampai digerbang
depan, tidak ada yang berbicara karena Fira memang sudah kehilangan minat unuk
berbicara, sedangkan Alan sudah terbiasa merasakan kesunyian disetiap
langkahnya, tanpa ditemani seorang teman. Mereka berpisah, dalam langkah yang
berlawanan, Alan memang tidak membawa motor semenjak kejadian itu.
“Firaaa” panggil Alan
tiba-tiba membuat Fira kaget
.”Ya?” kata Fira
berbalik sambil tersenyum. Alan berlari ke arah Fira membeTiannya buku kimia
dan matimatika, buku yang terlihat mulai usang. “Mungkin bisa membantumu”
katanya sambil tersenyum, tersenyum untuk pertama kalinya dihadapan orang lain,
senyum yang kecil tergores dalam lingkaran bibirnya.
”Pertama kalinya?”Tanya
Fira sambil menunjuk bibir Alan. Mengerti dengan maksud Fira membuat Alan
cepat-cepat melenyapkan senyum yang tidak disadarinya itu.
“Bisa sampaikan pesanku
pada Fara” kata Alan sambil menatap Fira dengan penuh harap. “Fara lagi” batin Fira. “Apa?” kata Fira
dengan suara dipaksakan untuk berbicara.”Selamat untuk kemenangannya” kata Alan
Kini dia sudah memilki kosa kata yang banyak,
namun kosa kata itu membuat Fira menjadi semakin terasing, mengapa hanya Fara
yang berhak mendapatkan ucapan selamat, kenapa tidak dengan dirinya. Mmengingat
itu, membuat Fira ingin menangis, tapi coba ditahannya. “Tentu” kata Fira
akhirna
“Kamu sudah mempunyai kosa kata yang banyak”
kata Fira mengalihkan topic pembicaraan, mencoba mengeluarkan sebuah candaan
untuk menghibur dirinya. Alan menggaruk kepalanya, merasa malu dengan kata-kata
Fira. “Dekatkan diri pada yang lain, selama waktu masih memberi kesempatan”
nasihat Fira. Alan mengangguk mendengarnya, dalam hatinya dia mengagumi gadis
ini dengan kata-katanya yang bijaksana.
“Apa aku bisa
memulainya dengan kalian?” tanya Alan dengan hati-hati. “Tentu saja” jawab
Fira, dia mengerti dengan kata kalian, dia dan Fara. “kenapa
tidak, Alan bia berteman dengan siapapun, tapi jika dia ingin memulainya dari
kami, aku akan membanatunya, karena persahabatan bukan dijalani bersama orang
tertentu saja, tapi sahabat adalah mereka yang menginginkan kita, ada satu sama
lain di saat semua orang tidak ada, mengerti bagaimana diri kita.” Batin
Fira. Mereka berdua tersenyum, senyum tanda
persahabatan dimulai, senyum sebagai lambng ikatan diantara mereka.
*****
Fara membolak-balik
buku kimianya, mencari soal-soal tersulit yang ada, tapi soal tersulit kimiapun
tidak mampu mengalihkan pikirannya dari masalah yang sedang berkecambuk dalam
otaknya. Fara menutup buku itu lagi, kemudian mengambil buku fisikanya, mencoba
mengerjakan prnya, tapi tetap saja masalah itu mengganggu pikirannya. Dia
membanting pensilnya kelantai hingga patah, bahkan kemarahan seperti ini tak
mengurangi sedikitpun beban dirinya. Dia menelungkupkan wajahnya, menangis
sejadi-jadinya, menyalahkan takdir tentang dirinya, bagaimana bisa hidupnya
hancur karena masalh ini. Bagaimana dia bisa tersenyum lagi menghadapi dunia,
bahkan apapun yang dilakukannya selalu dibayangi oleh kata-kata itu.
Fara berdiri dari kursi
belajarnya, berteriak sejadi-jadinya, mengeluarkan sesak di dadanya. Dia
menghempaskan tubuhnya dikasurnya yang berwarna biru itu, menatap tempat tidur
di samping tempat tidurnya membuat air mata Fara semakn deras, pemiliknya belum
pulang.
Suasana rumah yang sepi
membuat Fara bebas menuangkan masalah itu dalam bentuk apapun, tapi yang bisa dilakukannya hanyalah menangis, dia
tidak bisa menjadi Fara yang tabah menghadapinya. “Fir, bukaknkah kamu adalah
sandaranku, bukankah kamu selalu ada disaat aku tersakiti, tapi sekarang
kamulah orang yang menyakitiku, kemana aku harus berlari untuk membagi beban
ini. Bukankah hanya tanganmu yang mampu menghapus air mataku, tapi sekarang
tangnmu bahkan tidak dapat menjangkau ku. Aku memang pernah memikirkan semua
ini terjadi, tapi aku tidak pernah tahu rasa sakitnya ini, saudara sendiri
membencimu adalah hal yang paling menyakitkan ynag pernah kurasakan.” Kata Fira
sambil menatap foto Fira dan dirinya yang sedang tersenyum, air matanya terus
mengalir, hanya itu yang dapat dilakukannya saat ini, menagis dalam
kesediriannya, tanpa ada uluran tangan seperti yang diharapkannya.
Fara menatap
langt-langit kamarnya, langit-langit kamar itu seperti sebuah bioskop yang
menayangkan dirinya dan Fara tentang kejadian tadi siang, seolah kata itu
menggema lagi dalam teinganya, terbaca dengan jelas dalam langit kamarnya. “Dimana-mana musuh itu tidak pernah bersama,
jika mereka bersama salah satu dari mereka akan dirugikan, karena musuh yang
jeli akan dengan mudah menebak taktik serangan musuh dan tidak ada musuh yang
saling membantu dalam hal apapun itu”.
“Musuh” gumam Fara
pelan. Kata itu terasa pahit ditenggorokannya, dari mana Fira mendapatkan kata
yang kejam itu untuk menyebut dirinya, saudara kembarnya.
Fara mendengar gangang
pintu terbuka, dia menghusap air matanya dengan cepat, tidak ingin Fira atau
siapapun itu melihatnya dalam keadaan seperti ini.
“Selamat untuk
kemenanganmu, pesan dari Alan dan juga dia ingin berteman denganmu” kata Fira langsung pada inti pembicaraan
tanpa membukanya dengan kata pengantar. Dia duduk dimeja belajarnya, membuka
buku fisika, tenggelam di dalamnya, bersama pikirannya.
Fara terkejut mendengar
perkataan Fira, matanya yang bengkak ditutupnya dengan tangan. Dia terkejut
bukan karena pesan dari Alan, tapi dia terkejut karena nada bicara Fira yang
terdengar marah. Fara tahu apa yang dipikirkan Fira, tapi apa yang dipikrkan
Fira itu tidak benar, Fara ingat tentang semuanya, semua yang diceritakan Fira,
dan dia tidak mungkin melakukan hal bodoh seperti yang dipkirkan Fira.
“Fir, ini tidak seperti
yang kamu bayangin. Aku dan Alan bahkan tidak pernah berbicara. Kata Fara
bangkit dari tempat tidurnya, dia mencoba menjelaskannya dengan hati-hati.
“Memangnya apa peduliku
tentang kalian, hanya saja aku kecewa dengan kakak. Orang yang paling aku
percaya menyembunyikan semuanya dariku” balas Fira dengan nada yang sinis, dia
tetap menatap buku fisikanya.
“Waktu itu, aku ingin
memberi tahumu namanya. Tapi, setelah aku pikir kamu bisa mencarinya sendiri”
jelas Fara dan dia mulai terpanjing emosinya, karena Fira tidak pernah beerbicara
tanpa memandang diirinya. Tapi, apa yang dilakukannya saat ini benar-benar
menyakiti hati Fara. Dia menganggap Fara seperti orang yang tidak ada,
berbicara tanpa menatap dirinya adalah hal yang paling tidak disukainya dan
Fira tahu tentang itu.
“Aku memang tidak
membutuhkan kakak untuk mebimbingku dalam segala hal, karena meskipun aku
melakukan sesuatu itu tidak pernah dihargai oleh orang lain. Aku sdah tenggelam
dalam sinar terang seorang gadis bernama Fara. Membuatku tidak ingin
melanjutkan pilihanku, membuatku merasa terasingkan hanya karena apa yang aku
sukai tidak dianggap. Itu adalah hal yang paling menyakitkanku.” Kata Fira,
kini air mata yang ditahannya sejak tadi mengalir dengan derasnya.
Fara terdiam, mulutnya
tidak dapat mengatakan satu katapun, Fara menangis lagi mendengar kata itu,
bahkan kata itu manyakiti hatinya. Dia tidak ingin menjadi seperti ini, dia
ingin terlahir dengan Fira dalam tingkat kedcerdasan yang seimbang. Jika memang
seperti ini, lebih baik dia tidak dilahirkan dalam waktu yang sama. Dia tidak
ingin membuat Fira merasakan semua ini. Tapi saat ini mereka saling menyakiti satu sma
lain.
"Dalam keluarga
saja aku terasingkan. kemana aku pergi?, saat keluarga kecilku mulai
menyakitiku," emosi Fira meluap. Ditatapnya Fara yang mematung
ditempatnya.
"Kakak merasa
sakit?, aku bahkan jauh lebih sakit. Kakak menderita?, aku bahkan jauh lebih
menderita. Kakak dipuja semua orang, aku bahkan dihina semua orang. Kita tidak
pernah satu jalan, selalu berbanding
terbalik dalam wajah yang sama," kata Fira mengingat kembali hinaan yang
selalu diterimanya.
*****
BAYANGAN YANG
TERKELUPAS
Aku
bukan lagi seonggok bayangan tak berarti
Sudah
ku bentangkan sayap di angkasa sana
Bersinar
bersama sinar Kebesaran Sang Ilahi
Dia
menuntun jalanku
MembeTianku
sebuah kesempatan, sebuah penyelesaian
Dia
mendekapku dalam bimbingan-Nya
Dalam
jalan yang sudah ditakdirkannya
Sudah dua minggu
semenjak semuanya terjadi, terasa cepat dalam ingatan mereka. Fira yang
terfokus pada tujuannya untuk mengalahkan sinar Fara. Sedangkan, Fara yang juga terpancing egonya, mengikuti
alur permainan Fira. Saat Fira menyerang dia ikut menyerang.
Fira menatap tajam pada
soal kimia yang mengejeknya, dia merasa sudah mengerti dengan materi ini, tapi
mengapa ketika dia mengerjakan soal latihan, dia selalu menemukan jalan buntu.
Fira megalihkan pandangannya dari soal pada seorang anak laki-laki yang sedang
bergelut dengan buku matimatikanya, begitu focus sampai Fira tidak tega untuk
mengganggunya, tapi dia butuh bantuan.
“Lan” panggil Fira
sambil memperlihatkan bukunya dengan tampang memelas. Alan menatapnya dengan
tatapannya yang datar, meskipun mereka sudah berteman, sikap Alan tetap seperti
itu, Alan yang diam ketika tidak diajak berbicara.
“Hem” jawab Alan,
sambil mengambil buku Fira dan menjelaskannya dengan rinci membuat Fira manggut
manggut.
Mereka bertiga memang
sudah berteman, sejak Alan meminta berteman waktu itu, tapi meskipun begitu
mereka tidak pernahbersama, Alan dan Fara, Alan dan Fira. Mereka seperti sebuah
segitiga yang memiliki satu tiang untuk dua orang, tapi Alan tidak pernah
mengusik mengapa Fara dan Fira tidak bersama, dia hanya ingin memberi mereka
kesempatan untuk menyelesaikan maslah mereka berdua.
"Mengapa kamu ketakutan waktu itu?"
Tanya Fira tiba-tiba membuat alan mengangkat kepalanya, menghentikan
aktivitasnya. Dia menatap Fira, menyelidikinya apa gadis ini mampu menyimpan
rahasianya.
"Aku pernah
mengalami kecelakaan bersama sahabatku, Dika. Dia.. kata alan menggantung
kata-katanya, setetes air matanya jatuh, pikirannya menerawang mengingat masa
lalu yang kelam.
"Dia ke tempat
Allah begitu cepat. Saat itu, aku mebutuhkan keluargaku untuk menyemangatiku,
tapi mereka menperlakukanku sebagai seorang pembunuh. Kemana aku pergi, ketika
keluargaku menganggapku seperti itu. Bahkan, aku tidak ingin semua itu
terjadi," kata alan, matanya memandang kosong pada buku yang tertumpuk di
rak.
Air mata Fira menetes,
cerita hidup alan tidak berbeda jauh dengan cerita hidupnya.
"Maaf, tidak
seharusnya aku bertanya," kata Fira.
"Tidak apa-apa.
aku juga membutuhkan orang lain untuk membaginya, bukan bersama tumpukan buku yang
membuatku menjauhi semua orang," kata Alan.
*****
Hari pertama hari yang menegangkan untuk
memulai ulangan semester, ketegangan itu dibumbui dengan pelajarannya yang
membuat semua siswa 75 yogyakarta merasa tertekan, fisika dan matimatika. Semua
siswa menggerutu tentang jadwal ini, mengapa mata pelajaran perhitungan
disatukan, rumus-rumus yang mereka sudah hapalkan tadi malam bercampur menjadi
satu. Jam pertama fisika, tapi mengapa ada rumus matimatika yang terselip dalam
rumus fisika yang mereka tulis.
Fara menatap semua
teman-teman kelasnya, tidak ada muka ceria satupun yang dia temukan, sudah satu
jam mereka semua bergelut dengan soal fisika yang sulitnya seperti oloimpiade.
Sekali lagi Fara mentap lembar jawabannya, merasa yakin dia melangkahkan kakinya
kedepan, dia merasa kefanasan didalam kelas, dia berhenti disamping Fira,
menatap saudara kembarnya yang sudah dua minggu tidak berbicara dengannya.
Akhirnya Fara berjalan, tapi saat kakinya melangkah dia mendengar suara Fira “Aku
tidak butuh, karena aku juga bisa,” kata itu membuat Fara tersenyum sinis."Tidak
sebaik yang aku lakukan," balasnya.
“Selalu yang pertama”
kata Ibu Mia yang mengawasi anak keas XII.IPA3, ketika Fara mengmpulkan. Fira
tersenyum sinis mendengarnya.
*****
Pelajaran terakhir
seharusnya menjadi pelajaran pentup yang menyenangkan tapi tidak dengan semua
siswa sma 48, mereka semua menggerutu pada makanan penutup yang membuat mereka
kenyang hanya dengan melihatnya, kimia dan biologi.
Bagaimana mungkin guru yang membuat jadwal
begitu sadis terhadap anak siswanya, menyiksa mereka secara berlahan
menggunakan dua pelajaran yang memiliki segudang materi itu.
Anak XII. IPA3
tersenyum pada Fara sebelum bel masuk berbunyi, mereka berharap senyum memelas
mereka meluluhkan hati Fara untuk berbagi dengan mereka, Fara hanya tertawa melihat
tingkah teman-temannya. Fara beranggapan bahwa ini semua untuk masa depan
mereka, jadi mereka sendiri yang harus menyelesaikannya. Tidak ada yang dapat
saling membantu, kecuali diri sendiri.
Fira menatap Fara yang
sedang tertawa bersama anak-anak yang lain diluar, sepertinya dia sudah
menemukan banyak orang untuk menggantikannya dan lagi-lagi Fira merasa keberdaannya tidak
dianggap bahkan oleh teman sekelasnya sendiri, diacuhkan membuat Fira semakin
merasa terasing, “apa semua manusia
seperti itu, melihat orang lain saat membutuhkan atau memang aku tidak pernah
terlihat oleh sinarnya, aku juga bisa,”batin Fira.
*****
Hari
senin selalu menjadi hari yang ibenci Fira, karena dia tahu selalu ada kejutan
buruk pada hari senin. Dia masih trauma dengan kejutan waktu itu, kejutan yang
membuatnya tersakiti. Bahkan, kejutan hari ini sudah diketahui oleh semua
orang, pengumuman hasil semester minggu kemarin akan dibacakan, sebuah tradisi
yang sudah berkembang di sekolah mereka, saat yang berharga untuk mereka yang
jenius dan saat terburuk bagi mereka yang kurang, adalah perbedaan yang paling
dibenci Fira.
Suara
mc itu membuat semua orang tegang, tapi tidak dengan Fira, semua sudah jelas
dalam mekanisme kerja otaknya, Faralah yang akan selalu didepan setiap hari
seninnya, karena itu Fira mengcuhkan apa yang akan dikatakan mc itu.
“Juara satu nasional lomba Menulis Karya Ilmiah
atas nama Fira amaliya”. Semuanya berteriak, tapi tidak dengan Fira.
“Kenapa
harus berteriak, bukankah selalu Fara” katanya pada teman sekelasnya. Tapi, tindakan
yang tidak pernah disangka terjadi, semua teman-temannya mendorongnya kedepan,
membuat Fira merasa malu.
“Sekali
lagi, kepada Fira amaliya harap maju kedepan “kata mc itu lagi. Fira heran,
memangnya kapan dia mengikuti sebuah lomba karya ilmiah, Fira mencari seseorang
dibarisan para guru, dilihatnya Pak Jihad sedang tersenyum padanya. Hanya
dengan senyuman itu Fira tahu ini semua ulah Pak Jihad.
Fira
mengenakan mendali emas yang didapatkannya, mungkin ini kesempatan yang dibeTian
Tuhan untuk menyampaikan semunya.
“Terima kasih kepada Pak Jihad yang telah
mnegirim laporan penelitian saya. Disini saya perwakilan dari mereka yang tidak
dianggap penting di sekolah ini, dalam pikiran saya ada dua hal yang memang
harus ada di sekolah itu akademik dan non akademk, keduanya haruslah seimbang.
Bukan hanya akademik yang bisa memajukan nama sekolah, tapi kami juga yang
bergelut di non-akademik mampu melakukannya. Jadi, saya berharap sekolah
ataupun orang-orang yang ada di dalamnya mengubah tentang itu, karena kami juga
ingin dianggap, dihargai, seperti mereka yang jenius. Di mata Allah saja semua
mahkluk yang ada di dunia ini sama, tidak peduli dia sepintar apapun, yang
membedakan umat-umatnya hanyalah keimanan. Tapi, bagaimana bisa kita yang hanya
seorang manusia biasa melakukan hal seperti itu. Bukankah kita diciptakan
berbeda-beda oleh-Nya , memiliki kekurangan masing-masing. Tidak ada manusia
yang sempurna. Karena itu saya mohon untuk menjadikan kami setara, mendapat
perlakuan yang sama, membimbing kami dengan bijaksana, menjadi guru yang
sesungguhnya. Teri makasih, " kata Fira mengakhiri pidatonya.
Tempuk
tangan yang meriah mengiringi berakhirnya kata sambutan terima kasih dari Fira,
semua guru menyalaminya, bangga padanya karena berani mengungkapkan sesuatu
yang memang menjadi masalah tanda Tanya di sekolah mereka.
Pak
jihad menitikkan air matanya, terharu dengan kata-kata yang disampaikan Fira.
bangga melihat keberaniannya. Sinar kecilnya sudah membesar, menerangi
kekelaman yang ada.
Fara
menatap Fira yang ada di tengah lapangan. Dia tersenyum, buliran bening itu
membasahi pipinya. Dia merasa malu selama ini sudah membanggakan dirinya,
tenggelam dalam kepuasannya yang sementara.
*****
Semuanya
kembali dalam perputaran yang seharusnya, menapaki jalan yang seharusnya.
Menjadikan semua perbedaan yang ada menjadi suatu motivasi, suatu rahmat dari
Tuhan untuk menyatukan yang berbeda menjadi satu dalam ikatan sang Ilahi.
Menjadikan perbedaan itu sebagi jembatan kecil yang akan menghubungkan mereka
untuk sampai pada satu tujuan.
THE
END
0 Komentar