Photo by Google doc

BAYANGAN KEMBAR KELABU
Oleh: Rabiatul Adawiyah


KESAMAAN YANG MENUSUK

“Kedua tangan itu menyatu, bersama dan tak terpisahkan.
Menggenggamnya dengan erat,  hingga waktu tak rela memisahkannya.
Mereka tidak akan melelepaskan genggaman itu
atau genggaman itu yang akan meninggalkan mereka
jauh dan membuat mereka  merasa sendiri menghadapi dunia
 dunia yang tak mudah dipahami.
Bahkan dapat menghancurkan hanya karena mereka ingin mencoba mengenalnya”.

Seorang gadis berdiri di dekat jendela kamarnya yang terbuka lebar. Menatap suasana pagi yang cerah. Suara burung-burung berkicau di luar sana, seolah bernyanyi untuk gadis itu. Matanya yang bulat menatap bunga-bunga mawar yang ada di taman rumahnya.
Sedangkan seseorang yang memiliki mata yang sama dengan gadis yang menatap ke luar jendela itu sedang menatap pantulan dirinya di cermin. Melihat seperti apa dirinya. Dia tersenyum pada pantulan dirinya, kemudian mengambil sebuah mawar yang ada di sampingnya. Sebuah bunga yang menjadi ikatan di antara dia dan gadis yang ada di dekat jendela itu.
Dia mengambil pensil dan sebuah kertas. Dia mulai menuangkan isi pikirannya dalam kertas yang putih itu.
Mawar merah adalah sebuah ikatan yang suci…
Yang menggambarkan keindahan di antara kita…
Tapi, seindah apapun mawar ini…
Dia akan tetap menusuk, membuat kita terluka suatu saat nanti…
Jika kau tertusuk, pegang tangan ini…
 Karena Kita satu ikatan
            Dalam simpul yang sama
            Genggam tangan ini,
            Dan, kita menyatu….

*****
Kedua gadis yang mengenakan tas punggung sama tapi berbeda warna  itu tersenyum bangga menatap sekolahnya. Bangunan berlantai tiga itu sudah penuh dengan manusia yang menggunakan seragam putih abu. Di depan gerbangnya terukir dengan besar namanya “SMA 48 SELONG, LOMBOK TIMUR”.
Sekolah ini yang mengajarkan mereka bagaimana cara menghargai sesama, menjadikan mereka manusia yang memiliki pendirian. Membentuk  kepribadian mereka. Tapi, tanpa mereka sadari di sekolah inilah awal semuanya terjadi, awal badai yang mencoba menghasut, sebelum badai yang lain datang.
Mereka berdua memasuki kelas, memandang setiap ujung ruangan. Semua teman-teman mereka sudah datang, ada yang tertawa. mengerjakan pr di sekolah, lebih tepatnya mencontek pr teman sebangku. Ada yang melamun menikmati kesendiriannya karena antisosial. Berbagai macam karakter manusia ada di kelas ini. Meskipun begitu mereka tetap menyatu menjadi sebuah keluarga kecil.
Hai  twin sister” sapa seorang gadis di belakang sambil melambaikan tangan ke arah mereka berdua, dan  mereka berdua tersenyum menatap gadis itu.
“Pagi anak-anak” sapa seorang guru setengah baya. Guru yang terkenal dengan kata-katanya yang menusuk hati membuatnya berbeda dari guru yang lain, dia salah satu guru yang mempunyai kata-kata yang jujur mengenai bagaimana kemampuan peserta didiknya, meskipun kata itu menyakitkan dia tidak pernah peduli. Membuat semua siswa enggan berhadapan dengannya, mereka lebih memilih sakit fisik daripada sakit hati. Tapi bagaimanapun juga, mereka tidak bisa menghindar dari guru yang berparas cantik ini. Karena pelajaran yang diajarkan memang sangat penting,  Kimia. Pelajaran yang membuat semua siswa berpikir “Lebih baik tidur daripada harus pusing“. Guru ini memang sangat kompeten dalam mengajar tapi karena sifatnya yang seperti itu membuat siswa selalu waspada, memperhatikan pelajaran dengan dibayangi sebuah kekhawatiran mendapat kata-kata itu.
Selain itu, guru yang biasanya dipanggil Ibu Mia ini mempunyai segudang peraturan saat di kelas, dia tidak ingin ada siswa yang mengganggu di saat dia sedang menjelaskan materi pelajaran. Semua siswa harus memperhatikan pelajaran, karena selalu ada kuis lima menit terakhir sebelum bel keluar main berbunyi.
“Fara Amaliya dan Fira Amaliya kerjakan soal nomor 1 dan 2” perintahnya. Dia memang menyukai si kembar karena salah satunya memang anak jenius dalam bidang eksak yang dilahirkan untuk menjadi generasi muda yang akan memajukan Indonesia.
Fara mendekatkan diri pada Fira membisikkan sesuatu di telinganya, “Masih ingat kan?” Tanyanya penuh perhatian pada saudara kembarnya ini.” Lumayan,” balas Fira sambil tersenyum padanya, tapi ada getar kekhawatiran dalam nada bicaranya. Kebiasaan Fira yang selalu berkeringat saat dia disuruh mengerjakan soal di depan.
Fara membalikkan tubuhnya. Berat hatinya meninggalkan sang adik sendiri. Fara memahami apa yang terjadi pada adiknya, tapi apa yang bisa dilakukannya untuk membantu. setiap gera-gerik yang dilakukan oleh Fara selalu ditatap tajam oleh Ibu Mia. Membuat Fara mendelik ketakutan.
“Fira, menyakitkan menjadi dirimu. Harus berbeda dengan saudaramu sendiri. Tidak bisakah kamu secepat Fara?” tanyanya. tanpa mempedulikan kata-kata yang dapat menyakitkan hati, salah satu sifat Ibu Mia yang paling dibenci Fara, mengatakan begitu saja perbedaan yang dimiliki keduanya dalam pelajaran. Fara yang jenius dan Fira yang menengah membuat Fara merasa bersalah pada adiknya. Kenapa dia tidak membagi kejeniusannya itu pada saat di dalam kandungan. Sehingga mereka bisa terlahir dengan tingkat kecerdasan yang sama. Mengapa hanya satu yang membedakan mereka. Kenapa  harus ini? membuat Fara selalu ingin menggantikan posisi Fira di saat yang seperti ini Sungguh Fara menyalahkan ketidakadilan yang menimpa. Meskipun begitu, Fira yang selalu berkata “Kakak bisa membaginya padaku, ajarkan padaku setiap saat. Sampai di akhir waktu aku akan mengalahkan kakak”. Kata itulah yang yang selalu membuat Fara merasa tenang, karena tidak ada perasaan seperti apa yang dirasakan oleh Fara dalam diri Fira.
 “Saya akan mengejarnya” jawab Fira dengan penuh kepercayaan diri sambil tersenyum pada Ibu Mia. Dia memberi tanda titik pada pekerjaannya pertanda dia telah selesai. Memang tidak secepat yang dilakukan Fara tapi yang terpenting baginya dia mampu mengerjakannya.
“Kamu jangan hanya berkata, buktikan dengan tindakan dan hasil” sindir Ibu Mia membuat kepercayaan diri Fira menguap ke udara.
Bener tuh. Sudah tau tidak mampu, kenapa tidak bertanya. Tahu diri dong,” kata Tia dengan suaranya yang melengking. Suasana kelas mulai gaduh, menyudutkan Fira dalam ketidakberdayaannya dalam bidang eksak.
Fara terkesiap mendengar ucapan Tia. Ditatapnya gadis itu dengan tatapan tajam. Dia tidak terima Fira dihina seperti itu. Kata-kata itu menggurat hatinya.
“Sudah. Hentikan!. Fira seharusnya kamu malu dengan dirimu sendiri, diasingkan dalam duniamu” kata Ibu Mia. Dia menatap jam tangannya, kemudian meninggalkan kelas.
 Suara bel berbunyi setelah kepergian Ibu Mia. Semua siswa berhamburan ke luar kelas, perut mereka yang sedang bergoyang meminta sesuatu untuk mengganjalnya. Menjadikan pemiliknya merasa kesal.
“Mulutnya Ibu Mia, mengapa selalu berkicau seperti itu. Menyebalkan! Gerutu Fira. Sedangkan Fara hanya tersenyum melihat tingkah adiknya
Mereka berdua ke luar kelas setelah semua teman-temannya pergi ke kantin. Tangan mereka tetap menyatu. Menggenggamnya dengan erat seperti yang biasa mereka lakukan. mereka berjalan. Melewati  semua siswa yang menatapnya dengan tatapan aneh ataupun iri, karena mereka tidak memiliki apa yang dimiliki kedua gadis itu. Sebuah cermin untuk melihat diri mereka.
 Langkah mereka terhenti, di persaimpangan antara kelas XI IPA dan XI IPS. Fara dan Fira  melepaskan genggaman itu, melangkahkan kaki mereka pada arah yang berlawanan. menentang hati mereka yang tidak ingin dipisahkan, meski hanya sebentar.
“Semangat,”kata Fira. Dia melambaikan tangannya pada Fara yang melangkah menuju ke perpustakaan. “Kamu juga,” balas fara sambil tersenyum.
Fara sudah ditunggu oleh semua guru untuk membicarakan tentang lomba Kimia tingkat nasional yang akan diadakan tiga bulan lagi. Inilah salah satu tanggung jawab yang harus dijalani Fara, kejeniusannya dituntut untuk membawa nama sekolahnya dikenal di semua kalangan bahkan Indonesia. Sebuah tanggung jawab yang harus diselesaikannya sendiri tanpa bantuan orang lain.

*****
Fira memejamkan matanya. Memikirkan  lagi pilihannya, kegemarannya, bahkan yang akan menjadi bagian dari hidupnya. “Bukankah aku sama dengannya, hanya berbeda jalan untuk menempuhnya?” Tanya Fira pada dirinya sendiri dan tersenyum untuk meringankan beban yang mulai dirasakannya. Tapi dia akan bertahan, benteng dalam hatinya masih kuat. Ada Tuhan yang akan membantunya menghadapi semua itu. Semua perbedaan yang ada
Fira membuka matanya menatap ruangan yang ada di depannya, mading.  Fira membukanya pelan, hatinya sudah menetapkan pilihanya. “Kita sama, tapi berbeda”.
“Hai semua. Apa kalian sudah siap untuk pertempurannya?”, Tanya Fira ceria seperti biasanya. Dia langsung berbicara pada inti masalahnya. Tersenyum pada teman-temannya
“Tentu saja” jawab anggota mading dengan kompak, mereka tersenym. Rasa senang bergelut dalam diri mereka. Lomba yang sudah lama mereka nantikan akhirnya tiba.
“Karena temanya tentang menyelamatkan bumi dari tangan kerusakan. Apakah ada yang memilki ide?” Tanya Fira. Pandangannya menyapu semua anggota mading.
“Bagaimana tentang sebuah ilustrasi cerita yang menggabungkan gambar tentang manusia yang ingin menyakiti alamnya sendiri.” Kata seorang gadis dengan tubuhnya yang kecil. Dia bersemangat mengeluarkan ide yang brilian itu dari otaknya.
“Boleh juga idenya Gita” kata Fira. Gadis bernama Gita itu tersenyum bangga kerena Fira sang ketua menerima pemikirannya.
Mereka berdua menempuh jalan yang berbeda. Jalan yang sudah mereka pilih.  Menjalaninya karena itu adalah sebuah pilihan yang mereka sudah tentukan. Menerima semuanya, karena hidup setiap orang sudah memiliki skenario sendiri, meskipun mereka sama sekalipun. Tidak ada yang bisa menjamin apa yang akan terjadi dengan pilihan mereka.
Memang pada kenyataannya SMA 48 lebih membanggakan mereka siswa yang berprestasi dalam bidang akademik ketimbang mereka yang berprestasi dalam bidang nonakademik. Karena hal itu menjadikan mereka yang ada tenggelam dalam ribuan orang yang berprestasi dalam bidang akademik.
****

JURANG KEABADIAN DALAM GURATAN TAKDIR

Takdir memberikan semua orang sebuah kesempatan,
Kesempatan yang akan pudar
Jika tidak digunakan
Takdir yang akan menusuk, menerjang membawa mereka pada jurang kehidupan
Sebuah palung terdalam dalam hidup
Terus berputar mengelilingi setiap detik dari hidup
Membuat mereka terlupakan dalam penjara yang menakutkan
Mengguratkan sakit yang berlebihan

Fara dan Fira menatap miris pada orang yang ada di hadapannya. Tangannya yang menengadah membuat Fara merasa kasihan tapi tidak dengan Fira. Dia berpikir untuk apa meminta belas kasihan pada orang lain, selama dia masih bisa melakukannya. Bahkan  Allah sudah berkata demikian pada umatnya,” Jangan pernah kamu mengemis pada orang lain”.
Fara mengeluarkan uang dari sakunya memberikannya pada pengemis itu sedangkan Fira hanya menatapnya dengan tatapan heran.”Dia masih mampu, untuk apa meminta pada orang lain?” kata Fira tanpa mempedulikan pengemis itu.
“Karena dia membutuhkannya” jawab Fara tenang. Sambil terus berjalan menikmati setiap langkahnya, menjejaki jalan pulangnya.”Kita memang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya. Apakah dia memang tidak mampu lagi ataupun hanya berpura-pura tidak mampu, itu semua adalah urusannya dengan Tuhan. Kita sebagai manusia hanya bisa menolongnya. Bukankah itu tugas kita?, membantu orang yang membutuhkan” jelas Fara panjang lebar pada adiknya.
 Fira mengangguk, merenungkan semua yang diucapkan Fara barusan. Mencari sebuah kebenaran dari apa yang didengarnya, menjelajahi setiap lekukan kepalanya. Mungkin jawaban tentang itu sedang bersembunyi dibalik saraf-saraf yang menumpuk di otaknya.
*****
Fara menghempaskan tubuhnya di kasurnya yang didominasi dengan warna biru. Dia mencoba memejamkan matanya, ingin segera berlari ke dalam mimpinya. Menjadikan mimpi-mimpi itu nyata dalam dunianya. Sedangkan Fira, dia membuang begitu saja tas punggungnya lalu mengambil handuk yang tergantung bebas di dekat kamar mandi. Dia masuk membersihkan wajahnya. Mengambil air wudu dan menyelesaikan tugasnya pada Sang Ilahi.
“Salat dulu” kata Fira pada Fara yang mulai terbuai dengan kenyamanan kasurnya yang hangat. Fara menganggukan kepalanya, tapi matanya tetap terpejam. Pikirannya sedang melayang memikirkan betapa beruntungnya dia.”aku bersyukur terlahir bersama dia, saudara yang selalu mengingatkan aku saat mulai terbuai dengan dunia, saudara yang akan membawaku ke jalan yang benar, menjadikanku manusia yang pandai mensyukuri segalanya” batin Fara.  
Meskipun sikap Fira yang kadang tidak memikirkan sesuatu itu membuatnya terlihat seperti orang egois. Seperti yang dilakukannya tadi siang. Namun, dibalik sikapnya itu ada ketegasan dalam dirinya. Ada kepercayaan yang kuat membuatnya memiliki perbedaan yang mendasar antara dirinya dan Fara. Tapi dengan semua itu mereka saling melengkapi, saling mengingatkan di saat mereka mulai melupakannya.
“Terima kasih” ucap Fara seketika. Fira hanya mengerutkan kening mendengar kata-kata itu. Dia heran untuk apa mengucapkan terima kasih pada saudara sendiri karena memang itu peran yang harus dijalaninya saling melengkapi satu sama lain.
“Tentu”, jawab Fira sambil tersenyum. Dia melanjutkan kegiatannya. Membiarkan Fara menjalankan kewajibannya pada yang kuasa.
“Fara, Fira. Makan dulu” teriak seseorang dari lantai bawah. Suaranya terdengar berat.
“Ya, Ma,” jawab Fara. Dia melipat perlengkapan salatnya. Ditatapnya Fira yang tidak kunjung bangkit dari duduknya. “Cepetan,” kata Fara sambil menarik tangan Fira. Fira berdiri dengan malas. Langkahnya gontai, rasa malas sedang menghantui dirinya.
*****
Fira mengambil buku gambar  di atas meja belajarnya. Dia mulai mencoret-coretkan pensilnya pada kertas itu. Garis yang awalnya hanya sebuah titik dia kembangkan menjadi sebuah garis yang memiliki titik-titik keindahan. Menuangkan segala imajinasinya. Menjadikan kertas kosong itu dunia fantasinya. Memikirkan  ide-ide yang harus dituangkan dalam lembaran itu. Sebuah ide yang dapat menarik semua orang ingin tahu apa isinya. Sebuah ide yang dapat membantu kelompoknya menjadi pemenang tahun ini. Bagi Fira tidak sulit melakukannya karena dia memang menyukai apa yang dilakukannya.
“Soal tersulit lagi?” Tanya Fira pada Fara yang sedang fokus pada buku kumpulan olimpiade Kimia di meja belajarnya. “Tidak ada pilihan lain, selain menghadapinya” kata Fara sambil  tersenyum pada Fira.
“Ajari aku setelah ini, seperti kata Ibu Mia aku harus bertindak” kata Fira sambil tertawa. Dia merasa lucu dengan kata-kata itu. Lama-lama dia bosan mendengar kata-kata yang tidak memiliki variasi itu.
“Kamu memang sudah bertindak, hanya saja Ibu Mia yang tidak menyadarinya. Jangan dengarkan kata-kata itu. Lupakan saja” kata Fara menyalahkan Ibu Mia. Dia kembali memfokuskan dirinya pada bukunya.  Tenggelam dalam soal-soal rumus yang menumpuk.
Fira hanya tersenyum getir. Memikirkan perkataan Fara yang membela dirinya. memang sebuah keajaiban Fara bekata seperti itu. Kata yang sedikit kasar yang pernah diucapkannya pada guru kebanggaannya itu.
*****

PERMAINAN SANG WAKTU
DALAM DEKAPAN SANG ILAHI

Waktu membuat mereka berbeda dalam kesamaan yang palsu
Sebuah topeng untuk menutupi segalanya
Kamu dan dia..
Akan tenggelam dalam permainannya
Mencoba melawannya,
Membuatmu jatuh dalam limbungan darah
Membuatmu menyesal tersesat dalam tipu daya yang bersimbah
Waktu menjelajah dalam dekapan Sang Ilahi
Fara berjalan menuju perpustakaan. Langkahnya sekarang sendiri, tidak ada Fira yang akan mengajaknya mendentumkan nada di setiap langkahnya. Dia akan mempersiapkan lomba itu. Berkutat bersama buku-buku yang menumpuk. Buku yang mulai usang karena sang waktu. Bergelut bersama teman yang memiliki kosa kata yang sedikit, atau bahkan yang tidak memiliki kosa kata dalam bahasa Indonesia. Mereka hanya memiliki kosa kata sebuah rumus.
Tidak ada Fira yang cerewet dengan teori kebahasaannya, yang menjelaskan tentang ide-ide menarik untuk menghiasi mading, menampilkan acara musik yang membuat semua orang tertawa. Memang tidak ada rumus-rumus yang rumit keluar dari mulut Fira. Dan itu memuat Fara senang karena dia bisa membebaskan pikirannya dalam cengkeraman rumus.
Fara melihat sekelilingnya dia menatap seorang lelaki yang bernama Alan. Dia menggunakan kaca mata tebal, menunduk menatap dengan serius pada buku matematikanya. Suara angin yang berbisik tidak dapat memecahkan konsentrasinya.
Alan merupakan salah satu siswa yang memilki kosa kata paling sedikit. Sikapnya yang antisosial tapi memiki tingkat kecerdasan membuatnya disegani semua kalangan, terutama para gadis. Misterius dan cerdas, itulah yang semua orang pikirkan tentang dia.
”Bagaiaman caramu menikmatinya?” kata Fara bergurau pada dirinya sendiri lebih tepatnya ingin bertanya pada lelaki itu. Tapi dia takut mengganggunya
Fara menghembuskan napasnya yang berat, dia kembali menatap bukunya, menenggelamkan pikirannya pada soal yang ada, ingin menyelesaikan tugasnya.
Lelaki itu mengangkat kepalanya. Dia seperti mendengar suara orang yang mengatakan sesutau.”Hanya pikiranku saja” kata lelaki itu pada dirinya sendiri. Dia kembali melakukan aktivitasnya, sikapnya yang antisosial membuatnya terbiasa untuk tidak bertanya pada orang lain, dia terbiasa tidak membutuhkan orang lain. Terbiasa melakukan segalanya sendiri.
*****
“Untuk mendukung ide yang sudah disampaikan oleh Gita. Bagaimana kalau kita membuat sebuah miniatur bumi yang sebagian terbakar dan sebagian lagi tetap hijau. Hal itu menunjukkan sebagian kerusakan yang sudah terjadi karena ulah manusia yang lebih mementingkan diri sendiri. Manusia yang lebih mengutamakan kebutuhannya sehingga dia mengeksploitasi hutan secara besar-besaran, hingga akan menyebabkan kegundulan pada hutan. Menimbulkan berbagai macam bencana terutama tanah longsor karena tidak ada tumbuhan yang akan menahan tanah-tanah. Sedangkan untuk puisinya akan mengangkat tentang bagaimana kita menyelamatkan bumi itu melalui tangan-tangan generasi muda, dengan mengajarkannya sejak dini” jelas Fira menyalurkan ide yang ada dalam pikirannya, Saat menjelaskan ide tersebut Fira mondar-mandir kesana kemari, kedua tangannya menari untuk menjelaskan maksudnya.
Semua anggota mading yang lain menyetujui idenya, tapi akan ditambahkan berbagai macam artikel yang akan mendukung ide tersebut. Anggota mading yang lain memang bersyukur dengan adanya Fira di tengah-tengah mereka.
 “Ada yang ingin bertanya?” Tanya Fira pada anggota yang lain. Seorang gadis mengangkat tangannya.” Bagaimana kalau kita melatih kecepatan dalam mendekorasi mading, bukankah lombanya juga diukur dari segi berapa banyak waktu yang kita habiskan?” kata gadis itu
“Kamu benar, Ka. Aku hampir melupakan hal itu.” jawab Fira sambil tersenyum telunjuknya terangkat saat dia mengucapkan kalimat itu.Mereka pun berlatih mendekorasi mading dengan memanfaatkan waktu yang sesingkat mungkin.mengupayakan yang terbaik untuk mading tahun ini.
“Mulai dari sekarang” perintah Fira sambil melihat jam tangannya. Lomba mading kali ini merupakan lomba terbesar dalam sejarah. Lomba ini diikuti oleh semua sekolah yang ada di NTB karena itu mereka berusaha menampilkan sebaik mungkin yang mereka bisa. Mereka ingin dianggap keberadaannya. Mereka ingin mengubah pandangan semua orang terutama sekolah bahwa tidak hanya bidang akademik yang akan memajukan sekolah, tapi bidang non-akademik juga bisa melakukannya.
 Sebenarnya bagaimana sekolah itu maju bukan hanya diukur dari satu bidang saja tapi semua bidang yang ada di lingkungan sekolah tersebut. Mereka bertekad membuat yang berbeda itu menjadi satu dalam naungan yang seharusnya, dalam ikatan yang sama, dalam sandaran yang sama yaitu sekolah. Apapun itu sekolah inilah yang membuat mereka menjadi satu keluarga besar yang berkumpul dalam berbagi macam watak.
Fira berpamitan pada anggota yang lain “Aku duluan, ya,” Katanya. Kemudian pergi meninggalkan ruang mading. Dia ingin pulang bersama Fara.
 Fira melihat jam tangan yang dia kenakan, dia mengerutkan keningnya. Dia berlari dengan cepat menuju perpustakan tanpa meperhatikan setiap langkah kakinya, yang dia pikirkan hanya satu “Fara sudah pulang dan dia terlambat datang”. Karena itu Fira hampir saja menabrak seseorang yang baru saja keluar dari dalam perpustakaan
“Maaf.” ucap Fira merasa malu karena tidak berhati-hati. Sedangkan lelaki itu menatapnya heran, keningnya berkerut. Dia seperti melihat sesuatu yang aneh di hadapannya. Fira jadi merasa tidak nyaman keran tatapan lelaki itu. “Memang ada yang salah dari penampilan ku. “ batin Fira. Tangannya memegang ujung jilbabnya karena merasa tidak nyaman dengan tatapan itu. Dia berbalik berlari lagi meninggalkan lelaki itu dengan pikirannya “aneh.” batin lelaki itu.
****
Fira menatap jam dinding yang ada di ruang tamu. Setiap detik dia habiskan dengan rasa khawatir yang ada dalam dirinya. Dia merasa bersalah padanya karena meninggalkan Fira pulang terlebih dahulu. “Kamu ke mana Fir?” tanyanya pada ruangan yang sepi itu.
Fira mendorong pintu rumah yang tidak terkunci. Keringat mengalir di dahinya napasnya terengah-engah. Dia memang berlari sepanjang jalan, dia tidak ingin membuat Fara merasa cemas karena keterlambatannya.
”Assalamu’alaikum, aku pulang” kata Fira ceria. Dia menghampiri Fara yang sedang berada di ruang tamu, berdiri sambil memegang dahinya, rasa khawatir tergambar jelas dalam raut wajahnya.
”Aku baik-baik saja” kata Fira mengejutkan Fara. Kakaknya ini memang  memiliki tingkat kekhawatiran di atas rat-rata.
“Maaf tidak menunggumu” kata Fara. Fira hanya menganggukan kepalanya, rasa haru menyelimuti dirinya. Dia hanya tidak pulang bersama membuat Fara meminta maaf, cemas akan dirinya.
Betapa beruntung hidupnya, memilki saudara yang selalu peduli padanya. Saudara yang akan menjadi sandarannya, yang akan selalu menggenggam tangannya, dan dia tidak akan melepaskannya apapun yang terjadi , tangan mereka.”kuucapkan beribu syukur padamu Tuhan” batin Fira.
***
BULAN DAN BINTANG TERHIMPIT SINAR

Bulan dan bintang sang penghias malam…
Suatu pertanda kebesaran Tuhan…
Mereka memang ciptaan yang sempurna…
Bulan dengan sinarnya yang terang …
Dan bintang yang tetap mencoba bersinar…
Mengalahkan sang bulan dalam sinar nun jauh di angkasa…
Akan ada titik dimana dia akan mencoba menyingkirkan sinar bulan...
Meski itu adalah suatu kemustahilan…
Karena sinarnya terhimpit sinar bulan…

Beribu bintang di angkasa selalu menjadi saksi kebersamaan mereka saat malam, bahkan sudah menjadi sahabat setia mereka. Kedua pasang mata itu menengadah ke langit, menatap betapa indahnya alam semesta yang diciptakan Tuhan di malam hari, mereka membayangkan begitu sempurnanya tangan Tuhan yang mengolah dunia ini menjadi begitu indah.
Bintang itu berkelap-kelip seolah bintang itu juga merasakan keberadaan manusia. Memberikan manusia jawaban atas apa yang sering mereka katakan. Menjadi saksi buta bagi mereka yang sedang bahagia ataupun sedih. Bintang-bintang itu membuat berbagai macam pola dalam kejauhan yang terbentuk dalam satu lingkar yang tidak akan terpisah. Jika bintang itu dihubungkan akan membuat suatu pola sesuai dengan keinginan. Menggapai bintang berarti menggapai sebuah mimpi yang selalu diinginkan semua orang.
Begitu juga dengan Fara dan Fira, mereka memiliki mimipi yang berbeda. Mereka ingin menggenggam bintang mereka. Membuatnya bersinar dalam genggaman tangan mereka. Menjadikan bintang itu sebagi pegangan hidup mereka jika  saatnya  akan tiba.
Fara mengangkat tangannya, telunjuknya menghubungkan bintang-bintang membentuk suatu kalimat, teknik kimia. Dia tersenyum bangga dengan apa yang dia ingin gapai. Sebuah mimpi yang sudah diputuskannya, ditetapkannya. Fara menekuni bidang kimia karena dia ingin menggapai mimpinya. Sesaat dia menatap Fira yang ada di dekatnya. Terbaring di atas rumput, matanya tertutup tapi Fara yakin dia tidak tertidur, karena sebuah senyum mengembang di bibirnya. Entahlah apa yang sedang dia pikirkan.
Fara dan Fira memang sedang berada di taman belakang rumahnya, sebuah taman yang dirancanng  khusus untuk mereka, dari taman ini terlihat jelas pemandangan malam yang mengesankan, yang meremukkan hati ketika melihat taburan bintang di angkasa yang gelap. Tempat ini menjadi tempat rahasia bagi mereka berdua, karena tidak ada seorang pun yang pernah ke taman itu sekalipun kedua orang tua mereka.
“Jurnalis” kata Fira. tiba-tiba dia membuka matanya, telunjuknya mulai menghubungkan bintang-bintang membentuk sebuah ukiran dengan kata jurnalis, impiannya. Sebuah mimipi yang ingin digapainya, ingin digenggamnya sama seperti Fara.
“Kita harus menggapainya, bersama. Apapun rintangannya, selalu pegang tangan ini” kata Fara mengulurkan kedua tangannya pada Fira. Fira menggapainya dengan cepat, dia memang akan selalu membutuhkan tangan ini. sekarang mereka dalam posisi terlentang kedua tangan mereka bersatu dengan erat.
“Kak Fara bagaikan bulan, yang menunjukkan jalan untuk bintang,” kata Fira sambil menatap bulan yang sedang mengejek sinar bintang yang mulai meredup dimakan gelapnya malam.
“Jika aku bulan maka kamu juga bulan” kata Fara sambil tersenyum.
“Bulan hanya satu. Anggap saja aku bintang yang sedang mengemis cahaya pada bulan. Tapi, aku akan berusaha mengalahkan bulan agar aku tidak bergantung pada cahayanya. Bulan memiliki cahaya yang lebih terang dari bintang, meskipun bintang itu indah, tapi dia akan tersingkir karena cahaya bulan, mungkin bintang akan mengalah karena meskipun dia berusaha melawan, dia tahu dia tidak akan mampu” kata Fira, dia tetap memandang langit saat mengucapkan itu.
Fara diam, dia sudah tidak tahu kata apa yang akan dikatakannya. Dia mendadak kekurangan kosa kata, tidak tahu kosa kata yang mana yang tepat untuk menjawab perkataan Fira. Karena terpojok dalam pembicaraan yang membuat Fara merasa hatinya mengerti apa yang dimaksud Fira, dia yang dibanggakan dan Fira yang direndahkan.
“Sudahlah. Anggap saja aku bergurau,” kata Fira sambil tertawa, menertawakan dirinya yang mulai merasakan perbedaan yang ada.
“Begini, bukannya aku ingin menyembunyikan karakter dalam diriku, hanya saja aku berpikir tidak salah menjadikan seseorang itu sebagai sebuah motivasi, yang akan menjadikanku lebih baik dari sebelumnya, membuat sebuh getar semangat” kata Fira dengan bahasanya yang klise. Dia tersenyum mendengar kata-katanya sendiri.
Fara menatapnya dengan tatapan heran, sama sekali tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh saudara kembarnya ini. Baru saja Fara berpikir bahwa Fira mulai merasakan perbedaan antara dirinya. Tapi, sekarang Fira sudah kembali pada wataknya yang sesungguhnya, ceria.
Mengapa tiba-tiba Fira mengatakan sesuatu yang menyimpang dari pembicaraan yang bahkan tidak dimengerti oleh Fara. Fara lebih baik dihadapkan pada persolan perhitungan yang paling rumit sekalipun, ketimbang harus menerjemahkan kalimat yang memiliki berbagai macam makna, tergantung dari sudut pandang mana orang mengartikannya. Menurut Fara bahasa yang seperti itu tidak memiliki makna yang pasti, sangat berbeda dengan bidang kegemarannya. Saat menemukan jawaban A dalam sebuah soal maka jawabannya pasti A, asalkan tidak salah dalam perhitungan. Kimia itu ilmu pasti. Bukan hanya kimia tapi semua perhitungan lainnya.
“Jangan mulai menghadapkanku pada bahasamu yang sulit itu. Katakanlah!. Sepertinya ada yang tersimpan di hati” kata Fara sambil tersenyum jahil pada Fira, dan senyum itu mampu membuat Fira merasa kesal.
“Mengagumi seseorang, salah tidak?” Tanya Fira hati-hati dalam mengucapkannya, jika dia tidak menjaga nada bicaranya saat mengucapkan kalimat itu, senyum yang tidak diinginkan Fira akan terkembang begitu saja, mengejeknya.
Fara tertawa sejadi-jadinya, dia memegang kepalanya mengingat lagi apa yang baru saja dikatakan oleh adiknya. Apa pendengarannya masih berfungsi dengan baik, sepertinya ada sebuah petir yang menggelikan terdengar oleh telinganya.
“Tentu saja” kata Fara akhirnya. Dia menghentikan tawanya mencoba memahami situasinya. Mungkin Fira sedang tidak bercanda dan dia tidak sepatutnya tertawa karena itu memang bukan hal yang salah. Setiap orang pasti akan merasakan hal itu, dan itu tidak bisa dihentikan, hanya bisa dikontrol agar perasaan itu tidak membuncah. Hati boleh dimiliki orang lain tapi palung hati yang paling dalam, hanya boleh dipersembahkan untuk Sang Pencipta yang memberikan kehidupaan dan sebuah kesempatan untuk menjalaninya.
“Sebenarnya aku juga tidak terlalu memahami situasinya. Semuanya terjadi begitu saja. Bahkan aku tidak mengetahui namanya. Bertemu dengannya dalam keadaan yang menurutku lumayan genting. Dia juga menatapku dengan tatapan aneh, membuatku tidak nyaman. Tapi ada yang berbeda dalam tatapan itu, sebuah ketulusan” cerita Fira panjang lebar.
“Aku juga tidak mengerti tentang hal yang seperti itu, karena memang aku tidak pernah merasakannya. Kamu bisa menjadikan perasaan itu sebagai sebuah motivasi” jelas Fara dengan bijaksana. Dia ingin mencoba memahami apa yang sedang melanda adiknya. Sesuatu yang baik ataukah buruk yang dapat memerdaya adiknya. Tapi dia berharap adiknya bisa mengendalikan semuanya.
“Tenang kak, perasaanku tidak seperti apa yang ada dalam pikiran kakak. hanya sebatas kagum karena pancaran ketulusan itu sangat jelas di matanya”.
Fara tersenyum lega mendengar perkataan adiknya. Dia tidak ingin Fira mengalami sesuatu yang dapat menyakiti hatinya. Bahkan sesuatu yang sangat disukai bisa  menghancurka seseorang dalam hitungan detik, bagaikan musuh dalam selimut. Bersembunyi dalam diri dan akan meyerang saat dia mulai merasa tersakiti.
Taman itu selalu menjadi saksi apa yang tengah mereka ceritakan tentang masalah yang mereka hadapi, tentang sesuatu yang mencoba menghantui pikiran mereka. Saling membaginya untuk dirasakan bersama. Menjadikan masalah itu menjadi masalah bersama untuk diselesaikan bersama.
*****

JURANG DI PENGHUJUNG WAKTU

Sesuatu yang membuat semua orang tenggelam…
Tenggelam dalam hitamnya kehidupan…
Menjelma menjadi sebuah jurang…
Waktu dengan kejam memberi dendam..
Menjerumuskan mereka…
Dalam titik kekosongan…
Cepat dan mencekam…
Membuatnya terjebak, menguncinya dalam lingkar syaitan…
Di penghujung waktu yang mulai terbiaskan…

Matahari sedang tertawa pada semua orang yang ada di bumi, menertawakan betapa kesalnya semua orang karena ulahnya. Dia menyinari bumi dengan penuh semangat, sehingga menimbulkan radiasi panas yang berlebihan. Membakar apa saja yang ada. Tapi apa pedulinya matahari tentang semua kekekesalan manusia di bumi. Dia hanya menjalankan tugas dan hanya akan berhenti ketika sahabatnya malam sudah datang. Apa yang dilakukan adalah sebuah kewajiban dari Sang Pencipta yang menciptakannya dengan begitu sempurna.
Semua siswa SMA 48 mengalihfungsikan buku mereka yang semula berfungsi untuk mencatat menjadi kipas angin. Panas itu membuat mereka tidak konsentrasi dalam menerima pelajaran. Apalagi jam pelajaran terakhir berhubungan dengan perhitungan yang membutuhkan konsentarsi tinggi untuk dapat memahami materinya yang rumit. Rumus-rumus itu seperti sebuah teka-teki yang mengelilingi otak mereka. Seperti sebuah permainan yang menantang sekaligus mengejek.
Fira menatap papan tulis dengan sorot mata yang tajam, dia berharap dengan memperhatikan guru yang sedang menjelaskan materi tentang  reaksi redoks dan elektrokimia itu dapat dipahaminya dengan mudah, tapi faktanya itu tidak semudah yang dia pikirkan, bukan hanya karena materinya yang menurut Fira sulit tapi juga karena suasana siang yang membuatnya ingin tertidur, ditambah lagi dengan suara Ibu Mia yang sangat kecil membuatnya ingin segera menuju alam mimpinya. Suara itu bagaikan sebuah aluanan musik, dan materi itu sebagai pelengkap cerita sebelum tidur.
Fira membuka matanya dengan kedua tangannya, memaksanya terus menatap papan yang tadinya putih bersih berubah menjadi hitam karena tumpukan reaksi kimia sudah terpajang di sana. Fira membaca beberapa contoh soal untuk disalin ke buku catatannya.
Setarakan reaksi berikut ini
NaCrO2 + Br2 + NaOH          Na2CrO + H2O
Fira menguap untuk kedua kalinya, matanya sudah merah, andai saja guru yang satu ini tidak memilki kebiasaan yang sangat dibenci Fira, bukan hanya Fira tapi hampir semua siswa di SMA 48, terkecuali saudara kembarnya Fara, bagi Fara pelajaran perhitungan adalah makanannya.
Fira menghela napasnya yang berat, ditatapnya jam tangan yang melingkar di tangannya, tinggal lima menit sebelum memasuki waktu kuis. Dia menoleh pada bangku di sebelahnya, menemukan Fara sedang mengerjakan kumpulan soal kimia.  Dia ingin menanyakan beberapa soal yang membuatnya ingin menangis tapi melihat Fara yang begitu serius mengerjakan soal membuat Fira tidak enak untunk mengganggunya.
Fira harus rela terjebak dalam lubang itu, dia sudah berusaha keras untuk menghindarinya tapi pada akhirnya dia akan terjatuh.
“Fira amaliya, kerjakan soal nomor satu” perintah Ibu Mia dengan lembut, tapi ada getar yang berbeda dalam kelembutan kalimatnya yang terbungkus dalam kengerian. Fira terdiam, penyakit tidak tenang dan rasa khawatirnya mulai merasuki dirinya.
 Fara mengangkat kepalanya dari bukunya saat nama Fira dipanggil. Dia tersenyum memberikan Fira semangat. Senyum itu memang memberikan sebuah ketenangan dalam diri Fira, tapi tetap saja dengan senyuman itu Fira tidak dapat menjamin dia mengerjakan soal itu dengan benar.
1.      Setarakan reaksi berikut ini dengan cara setengah reaksi dalam suasana asam, basa dan bilangan oksidasi
Cu + HNO3        Cu(NO3)2  + NO + H2O
Fira melangkahkan kakinya yang terasa sangat berat, dia tidak ingin meninggalkan tempat duduknya. Tangannya gemetaran saat memegang spidol, dia berpikir keras mencoba mengingat contoh-contoh soal yang diberikan tadi. Memang dia mengingatnya tapi Fira bingung harus menempatkannya di mana, rasa tidak percaya dirinya mulai kambuh.
Tidak ada satupun yang dia ingat tentang bagaimana cara menyelesaiakn soal ini. “bagaimana ini?” kata Fira pada dirinya sendiri. Keringatnya sudah bercucuran membasahi tubuhnya. Dia hanya megetuk-ngetukkan spidol yang dipegangnya. Papan putih itu sama sekali tak dapat dinodainya.
 “Bukankah kalian sama, ibu hampir tidak bisa membedakan kalian, karena memang kalian selalu bersama kapan pun itu. Tapi di saat ibu mengajar, perbedaan diantara kalian sangat signifikan. Seharusnya kamu tahu diri Fira, kalau tidak bisa kamu harus belajar. Ada Fara yang akan mengajarimu” suara lembut Ibu Mia sudah menjadi begitu  buas di telinga Fira. Fira sudah tidak bisa menahannya, tapi apa yang bisa dilakukannya, semua itu fakta yang tidak bisa lagi disangkal. “bertahanlah benteng pertahananku, meskipun kamu mulai terkikis, jangan sampai kamu membenci saudara kembarmu sendiri, sandaranmu” batin Fira Dia mencoba menguatkan hatinya yang sedikit demi sedikit mulai terkikis.
“Kemana otakmu ketika Ibu menjelaskan. Soal segampang itu tidak dapat kamu kerjakan. Ibu malu sebagai pembimbing kelasmu.” Kata Ibu Mia dengan nada menyakitkan, menekan setiap kalimatnya.
Dibangkunya, Fara mendadak menjadi sebuah patung, dia tidak pernah menyangka kata-kata itu sangat melukai dirinya, bagaimana dengan Fira. Kalau dia saja begitu terluka mendengarnya bagaimana dengan Fira?.  Fara ingin berteriak mengatakan tidak ada manusia yang sempurna, setiap manusia mempunya kekurangan dan kelebihan. Fara merasa tidak adil ditempat ini, mengapa semua orang hanya bisa melihat kekurangan Fira, bagaiman dengan kekurngannya sendiri, dia bahkan tidak mengerti kalimat Fira yang begitu sederhana. Kenapa tidak ada yang melihat kelebihan Fira dalam berbahasa, semua orang menutup fakta tentang hal itu.
”Fira, maaf membuatmu menjadi seperti ini harusnya aku yang ada di posisimu, begitu sobongnya diriku, hingga membuatmu  direndahkan” batin Fara
“Kamu pikir mading bisa membuatmu masuk universitas ternama, kamu jurusan ipa bukan bahasa. Dan ibu pembimbing kelas ini yang harus bertanggung jawab atas kalian semua” lanjut Ibu Mia, suaranya yang lembut itu benar-benar sudah berubah menjadi suara penyanyi rock yang sedang mengalunkan nada dengan keras ditelinga Fira
 Fira ingin berlari menjauhi semua orang, bersembunyi di dalam terowongan yang begitu gelap,sehingga tidak ada satupun orang yang dapat menemukannya.
 “Katakan sesuatu , aku membutuhkan tangan kakak untuk mearikku saat ini” batin Fira. Dia begitu berharap Fara dapat menolongnya, mengulurkan tangannya. Tapi apa yang diharapkan tidak terjadi dan itu membuat hati Fira semakin terkikis, tidak ada tangan yang selalu terulur saat Fira sedang sedih, tidak ada tangan yang selalu menggengam tangannya dengan erat, tidak ada kata-kata yang selalu menyejukkan hatinya, “kemana perginya semua itu”. Pikir Fira
*****

Fira menatap gambar-gambar, artikel, puisi dan cerpen yang sudah dibuatnya. Air matanya mulai jatuh membasahi pipinya dia sudah tidak kuat lagi tapi dia harus tetap menghadapinya karena semua ini adalah cobaan hidupnya.”Aku tetap bangga bisa membuat kalian semua” kata Fira seolah berbicara pada karya yang sudah dibuatnya.
Fira menerawang ke dalam pikirannya, dia ingin menghilangkan semua yang telah terjadi barusan, kata-kata yang menyakitkan dirinya, kata-kata yang membuatnya mulai lelah dengan semua perbedaan yang ada.
Fira menjelajah lebih jauh lagi membongkar isi pikirannya, dia ingin mencari kata yang sempat didengar dari Fara setelah kejadian itu “Aku ingin menggantikanmu, fir” , kata itu memang sangat singkat dan sederhana bagi orang lain tapi sangat luar biasa bagi Fira, kata itu seperti sebuah obat yang dapat menyembuhkan luka dengan cepat.
“Mungkin kata itu terlalu berat, sehingga aku tidak bisa membawanya sendiri, aku membutuhkan tangan lain untuk membantuku tapi tangan itu tidak kunjung datang” ucap Fira pada dirinya sendiri.
“Ada aku”kata seseorang yang tiba-tiba masuk ke dalam ruang mading. Gadis itu duduk di samping Fira, dia membelai pundak Fira untuk menenangkannya.
“Makasih, git” kata Fira pada gadis yang bernama  Gita itu. Fira memeluknya mencoba membagi apa yang dirasakannya.
“Bukan salah Fara, memang sudah takdir yang membuat semua ini terjadi”kata Gita bijaksana.
“Tentu, aku hanya butuh waktu untuk sendiri, aku merasa bersalah pada Fara karena membuatnya ikut merasakan sakit ini” kata Fira .
Fira tersenyum, ternyata masih ada tangan yang ingin menghapus kesedihannya, meskipun tangan itu tidak sebegitu hangat tangan Fara. Tapi, bagaimanapun juga, Fira bersyukur masih memiliki tangan ini, tangan sahabatnya gita.
*****
Fara membolak-balik buku kimianya, tidak ada satupun soal yang paling sulit yang mampu menghilangkan rasa cemasnya, kekhawatirannya, dan rasa sedihnya. Fira saudara kembarnya sendiri mulai menjauhinya bagaimana mungkin dia dapat bertahan lagi, siapa yang akan menjadi sandarannya, siapa yang akan membalas genggaman tangannya. Jika Fara disuruh memilih lebih baik dia menjadi orang yang tidak memiliki kemampuan apapun ketimbang harus kehilangan saudaranya sendiri.
Kenangan bersama Fira mulai berkelebat dalam benaknya, canda dan tawa, sedih dan senang telah mereka bagi satu sama lain, mengapa semuanya terasa begitu cepat berlalu. Baru tadi malam mereka membagi perasaan mereka, tapi karena waktu yang hanya beberapa jam memisahkan mereka yang sudah tujuh belas tahun bersama.
 Fara menggigit pensilnya, matanya mulai berkaca-kaca, rasa bersalah dalam dirinya telah memuncak keluar begitu saja. Dia ingin menyakiti dirinya, siapa yang peduli. Tidak akan ada yang mencegahnya di tempat ini, perpustakaan selalu sepi.
Fara menatap seorang laki-laki yang selalu duduk di pojok ruangan, berkutat dengan buku matimatikanya, Alan. Maunusia yang anti sosial itu bukan jenis orang yang peduli pada urusan orang lain.
Fara berteriak, air matanya  yang tertahan sejak tadi meluap begitu saja. Suara tangisnya pecah dalam ruangan yang penuh keheningan itu. “Terlalu sulit tanpamu”
Alan menghampiri guru piket itu. Dia mengguncang tubuhnya yang sedang tertidur dengan pulas, dia bahkan tidak mengucapkan apa-apa ketika guru piket itu bangun dan bertanya “Kenapa?” pada Alan. Lelaki itu hanya menunjuk Fara yang sedang menangis sambil memeluk lututnya, suara tangisnya yang keras sudah berubah menjadi isakan tertahan.
“Kamu kenapa?” Tanya guru piket itu khawatir pada Fara, dia membawa Fara ke uks untuk membeTiannya obat karena badan Fara sedikit demam. Fara menurut saja, karena dia memang sudah kehabisan tenaga dan nafsu untuk menolak. Semaunya seoalah-olah sudah mati dalam benak Fara.
“Tidak punya hati,” batin Fara. Dia benar-benar tidak habis pikir bagaimana Alan itu dibuat oleh Tuhan. Dan dia pikir, dia yang paling sempurna hanya karena terlahir dengan sifatnya yang tidak berperikemanusiaan itu, terlahir dengan otak yang cerdas.  Dia pikir karena semua itu orang akan menggaguminya, mengatakan “si cerdas yang misterius”, meneriakkan namanya. Bagaimana mungkin dia tidak berpikir kalau banyak sekali orang yang tersiksa, direndahkan dan diabaikan karena keberadaannya. Tidak inginkah manusia anti sosial itu keluar dari jurang kehidupan yang dirancangnya sendiri dalam skenarionya yang tidak memperdulikan orang lain.
“Sombong, tapi mungkin semuanya sudah terlanjur,dia  terlanjur jatuh dalam jurang itu. Hingga dia tidak tahu bagaimana cara keluar, dan itu membuat dia trebiasa, terbiasa dengan kesendiriannya, meskipun yang dirasakan hanya kesepian yang selalu menghantuinya” batin Fara. Dia menoleh pada Alan sebelum langkah kakinya hilang dibalik pintu perpustakaan mengingatkan Fara satu hal “Mungkin karena aku juga sudah terbiasa bersama Fira, membuat ku bisa merancang kata-kata indah itu” . Air mata Fara jatuh lagi mengingat semua tentang dia dan Fira.
*****
Fira membuka kamar tidurnya dengan pelan, dia tidak ingin kepulangannya diketahui oleh Fara. Memang perasaannya sudah membaik tapi sekarang rasa minder mulai menghantuinya. Fira merasa sangat rendah berada di samping Fara, dia tampak kecil dan tidak berarti.
Fara menatap jam yang ada di meja belajarnya, jam 14. 30. “Tumben tidur siang, biasanya dia selalu berkutat dengan buku using kesayanggannya” kata Fira sambil berjAlan mendekati Fara
 Dia terkejut dengan apa yang dilihatnya, wajah Fara sangat pucat, bibirnya yang merah berubah menjadi pucat pasi, tubuhnya berkeringat dan mengigau menyebut nama Fira.
Fira menaruh tangnnya di dahi Fara. Suhu tubuh Fara sangat tinggi, fanasnya menjalar memasuki diri Fira. Membuatnya semakin merasa bersalah “Maaf, pasti karena diriku” batin  Fira.
Dengan gerakan yang cepat, Fira berlari ke dapur untuk mengambil baskom, es batu dan handuk kecil. Dia ingin mengonpres Fara agar fanasnya turun. Dia tidak tahu obat jenis apa yang harus dibeTiannya pada Fara, karena itu Fira tidak ingin mengambil resiko yang akan berdampak fatal pada kesehatan Fara.
Fira menggengam tangn Fara sambil berbaring didekatnya. “Bukankah, tanganku ini adalah sandaran kakak, kenapa tidak mencarinya saat  kakak  butuh. Tangan ini dengan cepat akan menyambut tangan  kakak, menggenggamnya seperti yang selalu kita lakukan. Meski benteng pertahannan ku mulai terkikis, tapi aku akan berusaha untuk selalu mengingat satu hal bahwa kakak adalah cerminan diriku, disaat akau ingin tahu seperti apa wajahku, kakak selalu ada menjadi cerminku. Aku akan bertahan sampai aku sudah tidak mampu lagi menghadapinya, karena hatiku tidak selamanya akan seperti ini, waktu akan mengubahnya. Maaf, bila suatu hari hati kumulai kehilangan arah dan mulai melupakan siapa kakak, orang yang selalu menjadi naunganku. Pada saat itu tiba, aku ingin kakak selalu mengngiatkanku, membawaku kembali untuk menata semuanya, bahwa kita sama karena kita memang tidak berbeda. Ulurkanlah selalu tangan kakak, mesipun aku akan menolaknya, terus berusah dan jangan berhenti melakukannya, Ucap Fira pada Fara yang sedang tertidur. Air mata Fira jatuh lagi, membayangkan semuanya akan berubah seiring dengan berjalnnya waktu. Karena Fira tidak bisa menghentikan waktu yang selalu berputar, maka dia dan Fara harus siap menerima segala perubahan yang akan terjadi.
*****


MAWAR MERAH DARAH
KEINDAHAN YANG MENUSUK

Biarkan sinar merah ini mengeringkan kesedihanku…
Biarkan semua anganku terbang menembus waktu…
Dan, biarkan kesenyapan menghapusku dari duniamu…
Menjadikanku lenyap  dalam debu…
Sinar kita sudah menyatu, saling melawan
Mencari kemenangan dalam kekosongan…
Membuatku memulainya untuk menyerang…
Saling menyakiti dalam kegelapan …

Matahari terbit dari timur dengan malu-malu menampakkan sinarnya, karena dua orang gadis sedang menunggu kedatanngannya. Ingin menyambutnya dengan senyum yang selalu mengembang dikedua bibir gadis itu.
Bunga-bunga yang ada di taman itu membiaskan dirinya pada sang matahari, membuatnya tampak indah dari biasanya, taman yang didominasi dengan bunga mawar itu, tampak begitu elegan dengan warana hijau menyatu dengan alam. Taman ini memang tempat persinggahan ke dua gadis itu, selain rumah yang menjadi naungan mereka.
Fira menatap Fara yang sedang duduk disampingnya, mata saudara kembarnya itu terpejam menikmati udara pagi yang masih segar, membuang segala beban yang dirasakannya. Menyambut hari baru dengan kebersamaan mereka.
“Seharusnya  kakak masih tertidur di kamar” ucap Fira pada Fara. Mata Fira lurus kedepan menatap rerimbunan bunga mawar.
“Tertidur sepanjang  hari membuatku lebih sakit” jawab Fara sambil membuka kedua matanya dan menatap lekat-lekat wajah Fira. “Aku berharap disetiap aku membuka mataku,  selalu ada kamu didepanku, sedang tersenyum” lajut Fara
Mereka berdua terdiam, mencoba mengolah dan menata pikiran masing-masing. Membayangkan segala yang telah terjadi kemarin. Mencoba mengeluarkan apa yang harus diketahui diantara mereka berdua, rahasia, perasaan dan rasa sakit.
Matahari yang sudah tidak malu-malu lagi menampakkan sinarnya menyesapi kesunyian ditaman itu, menggugah mereka untuk memulai segAlanya.
“Aku egois, maaf” ucap Fira membuka pembicaraan setelah beberapa menit terdiam. Sibuk dengan pikirannya yang berkecambuk, rasa sakit dan sayang itu saling tarik menarik bagaikan sebuah magnet, saling berlawanan arah membuat salah satunya harus mengalah.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, inilah hidup kita” ucap Fara. Dia menarik nafasnya kemudian meghembuskannya lagi. Fara ingin semuanya kembali pada rotasinya, berputar pada tempatnya.
“Sarapan dulu” teriak seseorang. Dia bersandar pada pintu masuk rumah, dia melambaikan tangannya pada Fara dan Fira. Matanya yang tajam, memilki pancaran yang indah, sehingga dengan jelas terlihat kebahagiaan selalu ada di dalamnya.
Suara perempuan itu mengagetkan Fara dan Fira, menyadari siapa orang itu membuat mereka tersenyum bahagia.
“Mama” seru Fara dan Fira serempak, mereka saling lihat kemudian tertawa, menyadari kebiasaan mereka yang satu ini tidak berubah, selau kompak ketika memanggil mamanya. Mereka masuk ke dalam rumah, menyusul langkah mamanya.
 “Bagaiman persiapan lomba yang akan kalian lakukan itu?” Tanya papa sambil memasukkan nasi goreng kedalam mulutnya. Mama berhenti mengunyah, dia seperti memikirkan sesuatu dalam benaknya, “Satu bulan lagi, ya?” kata mama akhiranya.
Fara dan Fira mengangguk mengiyakan. Fara meminum airnya untuk mendorong makanan masuk kedalam tenggorokkannya.”Perbanyak latihan soal saja, pa” jawabnya sambil tersenyum.
“Bagaimana denganmu Fira?” Tanya papa tegas
“Tidak perlu belajar. Fira tidak akan berhadapan pada soal yang rumit seperti Fara. Dia hanya perlu mengarang tidak jelas dalam kertas putihnya,” kata mama menjawab pertanyaan papa.
“yah, mungkin saja,” jawab Fira. Dia mulai tersudut dalam lingkaran keluarga kecilnya, tapi dia tetap tersenyum. Menampakkan Fira yang selalu ceria
“Bagaimana bisa kamu melakukan itu. Segala sesuatu itu butuh persiapan. Kapan kamu akan menyadari betapa pentingnya sebuah persiapan. Memang, bidangmu tidak sehebat bahkan tidak dapat menandingi bidangnya Fara,” kata papa. Dia mengambil korannya yang ada diruang tamu.
“Kamu lihat Fara. Tidak bisakah kamu menekuni bidang seperti Fara. Pasti mama akan sangat bangga memiliki dua orang putri yang memiliki kecerdasan yang luar biasa,” sahut mama.
“Aku bisa mengajarkannya, ma” kata Fara mencoba menghentikan kata-kata mama dan papanya.
“Dia tidak akan pernah bisa, jika dia tidak ingin melakukannya sendiri. Fira bakAlan mengganggu waktu belajrmu, Fara” kata mama dengan nadanya yang membuat Fira tersindir.
Fira tersenyum getir mendengar kedua orang tuanya beradu argument tentang kelemahan dirinya. waktu memang semakin kejam, membuat dia terlupakan dan tak dianggap ditengah-tengah keluarga kecilnya. Bahkan dia di anggap sebagai pengganggu. Fira beranjak dari tempat duduknya. Meninggalkan semua orang, karena dia mulai merasa sakit mendengar semua itu. Bagaimana tidak, keluarga yang seharusnya mendukungnya malah menjatuhkannya.
*****

PENJILAT BERBALUT KECERDASAN

Mencoba melawannya, membuatku terjatuh…
Langkah kakiku kehilangan arah…
Berputar dalam lingkar yang sama…
Membuat setiap detik nadiku terasa berhenti…
Dia.. dia yang setinggi tumpukan es bersalju…
Kutemukan terpuruk dalam kesepian…
Menggigil dalam gersangnya padang pasir…
Berbulir bersama hembusan angin…

Fira berjAlan membawa langkah kakinya menuju sekolah. Menkmati rasanya sendiri menelusurui jAlan tanpa ada yang menemani langkahnya. Matanya menatap jAlan raya memperhatikan kendaraan yang berlalu lAlang, seperti sebuah hiasan yang indah. Fira sesekali tersenyum pada dirinya sendiri, memang berjAlan merupakan budaya yang sudah lama hilang dalam diri masyrakat, apalagi masyrakat kota. Perkembangan zaman dan teknologi telah mengubah budaya yang dulunya sangat kental sekarang menjadi bahan tertawaan bahkan dianggap kampungan, dengan berbagai macam  kendaraan yang sudah tercipta dari otak jenius manusia.
Beberapa sorot mata memandang rendah pada Fira. Mereka yang menggunakan mobil bahkan menatap Fira dengan tatapan yang sangat merendahkan
Fira mengalihkan padangannya dari jAlan raya pada jam tangan yang dia kenakan. Jam yang berwarna putih itu sontak membuat Fira teringat akan satu hal, hari senini. Jujur hari senin adalah hari yang paling dibenci Fira. Siapa yang ingin menghabiskan waktunya dengan berdiri selama dua jam dibawah terik matahari.
Fira selalu berpikir tentang satu hal, bukankah upacara bendera dilaksanakan untuk menghormati jasa para pahlawan yang sudah berjuang melawan penjajah. Tapi tidak adakah cara yang lebih bermanfaat dari itu, bukannya menghabiskan waktu dengan hanya berdiri dilapangan merupakan salah satu kegiatan yang menyia-nyiakan kemerdekaan. Kalau hanya berdiri dan mendengarkan isi pidato yang disampaikan oleh kepala sekolah mungkin berguna, tapi bagaimana kalok faktanya semua siswa sibuk dengan iaz  pembicaraan mereka masing-masing.
Bukan hanya siswa yang membenci hari senin tapi dari kAlangan guru banyak yang membencinya. Buktinya pada saat upacara banyak guru-guru yang tidak hadir. Pertanda mereka membenci hari senin, dan pura-pura terlambat untuk menghindarinya.
Fira berlari, gerbang sekolah sudah ada di depan matanya. Tapi semua tidak semudah yang dia bayangkan, tidak sekompleks yang dipikirkan. Sebuah motor yang mencolok dengan warna merahnya datang berlawanan dari arah Fira, terlihat jelas keaadaan pemiliknya sedang gugup karena takut terlambat.
Fira mencoba menghindari motor itu tapi seperti seorang hantu dia mengikuti langkah Fira, perasaan takut membayanginya. Fira menutup matanya, sudah pasrah dengan semuanya. Dia tidak ingin melihat proses yang mengeTian itu dalam hidupnya. Kejadian yang pertama terjadi dalam hidupnya yang bahkan menjadi terakhir, karena dia tidak tahu apa Tuhan akan menyelamatkan hidunpnya atau sebaliknya.
“Braaaaakkkkkkk….”
Darah segar itu keluar dari lutut Fira. Memnag bukan kecelakaan yang  serius tapi rasa sakit itu tetaplah rasa sakit. Fira menangis, sebenarnya dia tidak ingin menagis tapi air mata itu keluar begitu saja. Mungkin air mata itu bukan hanya karena rasa sakit tapi karena kesiAlan yang menimpanya hari ini.
Fira memeluk lututnya sambil menahan isakan tangisnya. Pikirannya berkecambuk dengan berbagi hal yang terjadi hari ini. Fira ingin marah pada orang yang melakukan ini, Fira menghapus air matanya, dia ingin berdiri saat dilihatnya sebuah tangan terulur padanya “Fara? Mungkinkah?” batin Fira. Tanpa melihat siapa pemilik dari tangan itu, karena dia sudah terlanjur berpikir pemilik tangan itu adalah Fara.
Fira mendongak, menatap pemilk tangan ini. Memastikan apakah itu Fara atau orang lain. Jantung Fira terasa berhenti, dia memaki dirinya sendiri yang ceroboh. Meraih uluran tangan orang tanpa berpikir  logis. Reflex Fira menarik tangannya dari tangan yang menggenggamnya. Dia menatap siapa yang ada di depannya ini, pemilik motor yang telah menabraknya. Seharusnya Fira marah mengeluarkan rasa kesalnya tapi melihat orang ini membuatnya tidak bisa berkata apapun, “dia?” batin Fira
Tatapan lelaki itu penuh ketakutan, sepertinya dia juga tidak menyangka dia melakukan perbuatan yang seperti ini. Tapi bukannya dia minta maaf, dia hanya diam dengan tatapan bersalah pada Fira.
 Fira diam menunggu apa yang akan dilakukan lelaki itu selanjutnya, tapi lelaki itu tetap diam bahkan semakin lama tubuhnya semakin berguncang, rasa takutnya memuncak, keringat keluar dari tubuhnya, matanya terbelalak seperti orang yang dikejar  hantu, dia mengeluarkan kata-kata yang tidak dimengerti Fira “bukan salahku, bukan.., bukaaaannn” teriak lelaki itu. Fira melihat tingkah lelaki itu. Dia ingin memanggil satpam sekolah, tapi lelaki itu berlari meninggalkannya lebih dulu. Fira mengejarnya menuju gudang belakang sekolah, entahlah apa yang terjadi pada lelaki itu.
Fira menarik tangn lelaki itu, dia bersembunyi di bawah meja dalam gudang, seketika lelaki itu menhentakkan tangannya membuat Fira jatuh tersungkur. Fira meringis kesakitan, menahan rasa nyeri pada lututnya. Fira semakin kaget melihat tingkah lelaki itu, dia memukul dirinya sendiri, berteriak, meneriakkan kata “aku tidak bersalah”, membuat Fira semakin bingung.
 “Mati saja, jika itu yang kamu inginkan, sakiti saja dirimu jika itu yang terbaik. Tapi tidakkah kamu berpikir siapa yang akan menanggung semua itu, bukan hanya kamu tapi mereka, yang sudah mengurusmu. Tidakkah kamu berpikr seperti apa hati mereka melihatmu seperti ini, seperti orang bodoh yang tidak menggunakan otaknya, idiot. Mereka, masih membutuhkanmu, mereka adalah tuamu” kata Fira dengan suaranya yang begitu keras sehingga menggema diseluruh sudut ruangan yang berdebu itu. Lelaki itu terdiam, dia menunduk, menghentikan  aksi gilanya itu. Merenungkan kembali apa yang dikatakan gadis yang sudah ditabraknya itu.
Sudah lima menit mereka terdiam, Fira sengaja tidak mengatakan apapun. Dia ingin memebeTian waktu untuk lelaki itu menenagkan dirinya, menata persaannya kembali. Setahu Fira lelaki itu merupakan salah satu kebanggaan sekolahnya, salah satu siswa yang berprestasi tapi apa ynag membuat otak cerdanya kehilangan kendali seperti itu, “atau dia gila karena terlalu cerdas” batin Fira.
Tiba-tiba lelaki itu bangkit dari tempat dudunya, mantap Fira lagi-lagi dengan tatapan anehnya waktu itu “cepet sekali normalnya”pikir Fira. Mimik wajahnya sudah kembali seperti semula. Tenang, seperti tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Dia  berbalik menuju pintu gudang. Dia bahkan tidak memperdulikan keberadaan Fira, apalagi mengucapkan terimakasih ataupun kata maaf. Fira tresenyum tidak percaya, memangnya dia dianggap apa?, patung? Yang hanya bisa melihat suatu adegan, “aku manusia bukan patung” gumam Fira pada dirinya sendiri. Masih tidak percaya. Mendengar apa yang diucapkan Fira membuat lelaki itu berhenti di pintu, dia berbalik dan mnyebutkan namya, hanya nama.”Alan” ucapnya sambil berlalu begitu saja meninggalkan Fira dengan mulut menganga, ini manusia langka yang pertama ditemukannya. Fira merasa seperti penemu yang menemukan manusia yang paling langka di dunia. “Aku tidak butuh nama tapi aku butuh ucapan terima kasih dan kata maaf” teriak Fira.
Fira bangkit dari duduknya, meninggalkan gudang, membanting pintunya bahkan Fira ingin melenyapkan gudang ini. Ingin melupaka bahwa dia pernah terjebak dalam gudang ini bersama manusia langka temuannya.
Fira berjAlan menuju kelasnya dengan langkah gontai. Dia ingin menyegarkan pikirannya dengan pelajaran pertama kesukaannya, bahasa Indonesia. Tapi, masalahnya ternyata tidak berhenti digudang, masalah itu masih mengikuti jejaknya, yang coba meninggalkan masalah itu. Dia dipanggil wali kelasnya, karena tidak mengikuti upacara dan pembinaan wali kelas, mengingat wali kelas membuat pikiran Fira semakin kacau, kejadian-kejadian yang pernah terjadi karena kata-kata guru itu berkelebat dalam benkanya, kata-kata itu menggema, saling bertautan dalam otaknya, membuat Fira semkin terdampar di pulau tak berpenghuni.
Fira mengetuk ruangan Ibu Mia dengan pelan, berat rasanya menemui guru ini, tapi apa yang bisa dia lakuan, dia sudah melanggar peraturan maka dia harus menerima hukamannya
 Ibu Mia sedang duduk dimejanya, memerisa hasil ulangan, dahinya berkerut, bibirnya maju kedepan, kekecewaan tergambar jelas diwajahnya, mersa tidak puas dengan hasil ulangan anak didiknya, dia merasa gagal dalam menyampaikan materi. Padhal dia begitu yakin dengan caranya menjelaskan, tapi hasil ulangan ini seolah berkata “Ibu, tidak bisa menjelaskan dengan baik, makanya nilai ulangan saya jelek”.
Melihat ekspresi Ibu Mia yang seperti itu membuat Fira merasa semakin tidak yakin untuk memuinya, bagimana kalok kekesAlannya dilampiaskan pada Fira, membayngkannya saja membat Fira takut. Fira ingin membalikkan badannya, bermaksud tidak menemui guru itu, tapi Ibu Mia mendongakkan kepAlanya karena mendengar suara kakii mengganggu konsentrasinya, dahi Ibu Mia berkert tergurag rasa tidak suka akan kedatangna Fira yang mengganggu itu.
“Duduk” perintahnya. Ada getar kesinisan dalam bicaranya, membuat Fira semakin yakin, kesiAlannya akan sangat lengkap karena guru ini. hari ini akan diingat Fira sebgai hari senin yang paling bersejarah dalam hidupnyaFira menari nafasnya, mencoba berfikir positif sebelum dia duduk dikusi, jika guru ini menghinanya lagi akan dia jadikan hinaan itu sebagai motivasi terbesar dalam hidupnya, jika guru ini memanadang rendah dirinya, akan dijadikan pandangan itu sebagai penuntun yang akan menemani langkahnya menggapai mimpinya, menjadikan guru ini sebagi pembelajaran yang paling indah.
“Hanya orang cerdas yang bisa melakukan itu?” kata pertama yang langsung menyerang Fira, tanpa ada pembukaan apapun, sontak Fira kaget mendengarnya, tidak percaya guru seperti apa ini, mana kelembutan dibalik suaranya.
“Ini” Ibu Mia menyodorkan dua buah kertas  padanya, Fira sempat heran dengan apa yang dilakukan itu, tapi seketika Fira juga menyadrainya itu adalah kertas ulangan Fira yang memiliki perbandingan yang sangat jauh dengan Fara.
“Bagaiman mungkin kamu membolos dan mendapatkan nilai seperti ini?, ibu tidak mengerti apa yang kamu pikirkan, kamu mau berlaga seperti orang hebat” lanjut Ibu Mia.
“Saya bisa jelaskan, mengapa saya tidak mengikuti upacara” protes Fira mencoba membeTian alasaan, seharusnya sebagai guru, dia akan menayakan mengapa siswanya tidak membolos, bukan semakin merendahkannya seperti ini, siswa mana yang akan mendengarkan guru, jika mereka mersa tidak dihargai.
“Saya tidak butuh penjelasanmu, sebaiknya kamu segera masuk kelas karena pelajaran pertama adalah pelajaran kesukaanmu” sindir buk mia. Kata-kata itu menyirat hati Fira, membuat amarahnya berada diujung kepala.
 “Saya masih heran kenapa begitu banyak guru yang tidak bisa menjadi guru yang sebenarnya” kata Fira dengan suara yang meninggi, dia meninggalkan ruangan Ibu Mia . Dia sudah tidak memperdulikan sopan santun pada seorang guru, jika dia tidak dihargai, bagaimana dia bisa menghargai orang lain, itulah prinsip Fira pada siapaun itu, termasuk guru.
Sepertinya semua yang dilakukan Fira tidak ada yang benar di semua guru yang memuja saudara kembarnya itu, tapi haruskah begini caranya dengan cara merendahkan dan membedakan dia dan Fara, tidak pernahkah mereka berpikir kata-kata yang mereka keluarkan bagaikan racun yang membunuh tali persaudaraaan mereka secara berlahan.
“Aku semakin termotivasi untuk melakukan tugasku, mengubah cara pandang semua orang yang tidak menganggap kami ada, dalam naungan nonakademik” kata Fira, dia ucapkan kata-kata itu dengan semangat. Mengalirkan iaz a-energi posoitif dalam dirinya membuat ion-ion yang melemah menjadi begitu berminat untuk terbangun, terbangun dari tidur panjangnya karena sudah lama terpuruk di dalamnya.
Fira memasui kelas dengan gontai, jam pelajaran sudah dimulai sekirar dua menit yang lalu, Pak Jihad yang sedang menjelaskan materi tentang karya ilmiah itu berhenti menjelaskan karena kedatangan Fira.
Semua mata menatap Fira dengan berbagai macam tatapan. Tia, gadis itu menatapnya dengan tatapan sinis.
“Anak kesayangan datang terlambat. mau cari muka? Unjuk kemampuan?” katanya pada Fira.
Fira hanya diam, dia sudah tidak memiliki tenaga untuk meladeni orang seperti Tia. Teman sekelasnya sendiri menghinanya.  Sepertinya dunia sudah tidak berpihak padanya.
“Apa yang kamu katakana Tia?, jaga bicaramu” kata Pak Jihad membuat Tia terdiam.
“Kenapa kamu datang terlambat, Fira? Tanya Pak Jihad sambil mendekatiya.
“Tertabrak motor” jawab Fira sambil menunjuk bekas darah yang sudah iaz at dilututnya, roknya iaz sobek memperlihatkan guratan luka itu “tapi hati ini jauh lebih sakit ketimabng luka ini” tambah Fira dalam hatinya.
Fira menjelaskannya semuanya dia tidak ingin mendengar berbagai macam komentar, biarkan dia melakukan apa yang ingin dikatakan bibirnya, meskipun hatinya menyuruhnya matia-matian untuk tetep diam, dia butuh ketenangan untuk menata isi hatinya, agar tidak berserakan.
Pak Jihad meminta aura ke uks, tapi Fira menolakknya, karena Fira ingin menenangkan hatinya. Mungkin dengan mendengar pelajaran ini,, yang merupakan bagian dari kesukaannya dapat menenangkan hatinya, menenangkan pikirannya yang sedang kalut.
Semuanya bergumam “kasian” padanya saat mendengar apa yang dikatakan Fira, tapi tidak dengan Tia. sepertinya dia benar-benar anti pada Fira.
Fira memperhatikan Pak Jihad yang sedang menjelaskan materi mengenai karya ilmiah. Dia  memfokuskan pikirannya. Mendengar dengan seksama apa yang dijelaskan dan meyalinnya dalam buku, karena otak bukan tempat penyimfanan permanen, otak hanyalah tempat penyimfanan sementara
“Siapa yang bisa menjelaskan apa itu karya ilmiah?” tanyanya, matanya mengekor seluruh ruangan. menyapunya dengan tatapan ketegasan  dalam pandangannya.
Fira mengangkat tangannya, saat dia melakukannya tatapan-tatapan sinis itu mulai menghantamnya. Fia semakin merasa sakit, mengapa teman sekelasnya sendiri membencinya. Dunia sudah berubah menjadi dunia Fara yang selalu benar dalam melakukan segala hal.
“Karya ilmia merupakan karangan yang bersifat ilmiah yang membahas suatu masalah” jawab Fira iaz a. Kesibukan ini membuat hatinya sedikit lebih baik. Kalau memang perlu dia ingin membuat semua orang menatapnya iri lagi dalam pelajaran ini. dia sudah bosan bersembunyi dibalik topengnya.
Pak Jihad tersenyum melihatnya. Dia tahu apa yang sedang menimpa Fira. Gadis kecil itu pasti lelah menjAlani hari-harinya.
 “Seperti yang dikatakan Fira, karya ilmia itu membhas suatu masalah tertentu yang harus kalian selesaikan” jelas Pak Jihad. Semua yang ada dikelas itu tertawa, kata-kata itu sepertinya sangat lucu ditelinga mereka, membuat mereka tidak bisa berhenti tertawa,  sedangkan Fira hanya terenyum getir melihat tingkah teman-temannya.
Sekarang kelas itu sudah dipenuhi dengan tawa yang meledak, suara Pak Jihad yang terkenal dengan ketegasaanya dalam berbicara tenggelam dalam gelak tawa. Ajis seorang anak laki-laki yang kurus, duduk dipojok bangku paling belakang mengangkat tangannya, dia ingin menanyakan sesuatu.
 “Membuka buku saat ulangan masalah pak, berarti kami harus melakukannya untuk membuat masalah,” tanyanya dengan muka polos. Semua langsung tertawa lagi mendengar pertanyaan bodoh ajis itu, tapi mereka semua berteriak menyetujuinya, membuat Pak Jihad geram melihatnya.
Pak Jihad memukul meja dengan keras, mereka sudah keterlaluan menjadikan pelajaran sebagai bahan tertawaan, dia merasa tidak dihargai.
“Diam. Bagaimana kalian akan mengerti jika hanya tertawa saja.” Kata Pak Jihad dengan suaranya yang keras.
“Bukankah itu terlelu berat, apalagi kami sudah kelas XII?” tamya Tini, gadis tercantik dikelas ini.
“Penelitian ini sebagai tugas akhir kalian, tidak ada semester. Jadi, kerjakan dengan benar. Satu lagi, kalian dilarang mengopy dari internet atau penelitian milik orang lain, mengopy merupakan salah satu tindakan yang merusak moral generasi bangsa. Mendidik kalian seperti orang yang tidak menghargai karya orang lain dan tidak bertanggng jawab” jelas Pak Jihad lagi.
Semua siswa menghela  napsa berat, sepertinya tugas-tugas ini membunuh pikiran mereka secara berlahan-lahan. Membuat mereka berpikir untuk melaTian diiri, ketimabng menghadapi semua itu.
“dalam karya ilmiah atau penelitian terdiri dari tiga bagian yaitu, bagian awal, bagian akhir dan bagian isi. Jelas Pak Jihad sambil menulis di papan. Pak Jihad terus menjelaskan materi tentang karya ilmiah, Fira mencoba menikmatinya seperti biasa, tapi mungkin keadaannya yang sedang tidak baik membuatnya hanya ingin pulang dan tidur.
Fira melihat keadaan kelasnya. Sepertinya mereka sudah memahami betapa beratnya tugas in, sehingga mereka menyimpan suara mereka. Semua mata menatap papan tulis dengan fokusnya, telinga-telinga sedang mendengarkan dengan seksama penjelasn Pak Jihad. “jadi, hanya aku seorang yang tidak focus, bukankah ini adalah pelajaran kesukaanku, ada apa dengan ku?” batin Fira.
Satu jam sudah berlalu, jam pelajaran Pak Jihad sudah usai. Sebanyak itulah Fira menghabiskan waktunya dengan melamun. Raganya menetap dalam kelas ini tapi jiwanya melayang entah kemana. Dia ingin pulang, meninggalkan suasa sekolah hari ini
“Kamu hanya menang di bidang yang tidak penting” kata Tia tiba-tiba. Gadis itu sudah ada di depan Fira, kedua tangannya diletakkan dipinggang menambah keangkuhannya. Dua dayang-dayangnya yang selalu mengikutinya juga memandang Fira dengan tatapan merendahkan.
“Dari pada kalian. Bodoh dalam semua hal” tembak Fira langsung, dia pergi meninggalkan ketiga gadis itu. Mematung ditempatnya mendengar kata-kata bodoh itu meluncur dengan cepat.
Ruang guru sedang ramainya, semua guru sudah kembali dari tugas mengajar di kelas. Mereka juga butuh istirahat, menenangkan pikiran mereka yang berkecambuk karena ulah semua siswa.
Pak Jihad merapikan mejanya. Sebelum dia pergi ke kantin guru. Tiba-tiba Ibu Mia menghampirinya dengan tatapan merendahkan
“Bapak, tidak mengajarkan anak didik bapak yang pintar berbahasa itu. Saya malu melihat nilainya dalam bidang eksak, dia jurusan ipa bukan bahasa. Bila perlu bapak juga harus belajar eksak agar bisa membantunya. Jangan hanya menjejali otaknya dengan puisi” katanya dengan penuh kesinisan dalam mengucapkan kata-kata itu.
Pak Jihad hanya diam, dia tidak ingin mengotori mulutnya dengan membalas kata-kata itu. Menjadi guru yang sesungguhnya adalah hal yang paling dia impikan. Bukan hanya sekedar menjadi guru yang bisa mengajar, tapi juga harus menjadi guru yang bermoral.
“Oh si Fira.. gdis kembar berbanding terbalik dengan kembarannya itu” kata Ibu Tirta guru Biologi yang tiba-tiba ikut nimbrung dalam pembicaraan yang menyudutkan Pak Jihad.
“Dia hanya dapat menghias madingnya setiap minggu. Tanpa melakukan apapun pada nilainya yang berantakan” kata Ibu Mia lagi. Dia tersenyum menyindir. Merasa puas atas kemenangannya.
“Bagaimana mungkin kembarannya memiliki kecerdasan yang tinggi. Sedangkan dia, berdendang tersenyum bangga pada kemampuannya yang rendah itu” kata Ibu Tirta.
“Fira itu bagaikan langit dan bumi. Bumi yang selalu bermimpi menggantikan langit suatu saat nanti” kata Ibu Mia semakin menjadi-jadi.
Pak Jihad tersenyum pada kedua guru itu. Senyum itu adalah sebuah senyum yang mengejek. Dia merasa malu memiliki rekan kerja yang tidak bermoral dlam berbicara.
“Setiap manusia memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Tidak ada yang sempurna di dunia ini, hanya  Yang Maha Sempurna, yang menciptakan alam semesta. Kita sebagai guru hanya bertugas mendidik bukan menjatuhkan,”kata Pak Jihad. Dia tersenyum kemudian pergi meninggalkan ke dua guru itu.
Langkah Pak Jihad terhenti di depan ruang guru. Dilihatnya seseorang tengah menunduk menangis tersedu-sedu. Melihat gadis itu membuatnya merasa bersalah, karena dia tidak dapat menolngnya.
“Fira..”Gumam Pak Jihad pelan. Dia memegang kepala fira bersahabat. Ikut merasakan apa yang sedang dirasakan anak didiknya ini.
“Maafkan saya, Pak. Andai saja saya bisa seperti Fara. Bapak tidak akan dihina seperti itu,”kata Fira dibalik tangisnya. Dia merasa sangat sakit mendengar Pak Jihad mendapatkan kata-kata tidak berperikemanusiaan itu.
Pak Jihad menatap Fira bangga. Dia membawa Fira menjauh dari tempat itu, dia tidak ingin seseorang melihat keadaan anak didiknya ini. Diasingkan oleh lingkungan yang seharusnya mengajarkan dia berbagai hal. Tidak diterima di lingkungan yang dia banggakan.
Mereka berdua sampai di depan ruang mading. Keadaan Fira benar-benar buruk. Sinar hatinya sudah padam dimakan waktu. Digerogoti dengan kasarnya.
“Duduk, renungkan semuanya. Yakin bahwa ada maksud Allah dibalik semua ini. kuatkan hatimu. Bentangkan lagi sinarmu, jangan biarkan dia padam,” kata Pak Jihad. Dia membeTian Fira minum, agar dia merasa tenang.
Fira bukannya berhenti menangis tapi semakin menjadi-jadi. Sesak di dadanya bertambah, beban yang dipikulnya semakin terasa berat. Mengapa hanya karena dirinya, semua orang mendapat masalah.
“Apa saya salah terlahir di dunia ini dalam keadaan seperti ini. bahkan saya tidak menginginkannya,” kata Fira. Kini dia menerawang di sudut pikirannya. Tak dianggap adalah hal yang paling menyakitkan dalam hidupnya.
"Semua manusia terlahir dengan berbagai macam kelebihan dan kekurangan. Ini adalah cobaan dari Allah, karena dia menyayangimu. Lewati semua cobaan ini, maka Allah akan meninggikan derajatmu. Tidak ada manusia yang terlahir sempurna di dunia

*****

Fira berjAlan, memandang setiap langkah kaikinya. Ingin melupakan setiap detik apa yang terjadi hari ini.
 Fira menuju ruang bk untuk meminta surat izin meninggalkan sekolah. Dia ingin pulang menenangkan pikirannya, tertidur pulas dikasurnya yang empuk. Tenggelam dalam buaian nyanyian dalam tidurnya, memimpikan kenyamanan dan kedamaan hatinya. Membuat dirinya melupakan kehidupan nyatanya untuk sesaat, membuat dirinya merasa bebas, hingga dia ingin terbang. Meninggalkan dunia yang berbau busuk.
Ibu ratna sedang mengurus surat kepulangan seseorang, membuat Fira harus menunggu. Fira memang tidak menyukai yang namanya menunggu. Baginya itu adalah pekerjaan yang membosankan karena yang ditunggu belum tentu datang. Tapi, kali ini dia tidak memilii pilihan lain selain menunnggu “kadang menunggu itu baik” gumam Fira pelan, menghibur dirinya yang mulai bosan.
 Fira mengeluarkan novel dari dalam tasnya, berharap novel kesukaannya ini dapat membunuh rasa bosannya. Tapi ternyata segala sesuatu yang disukai itu memiliki titik jenuh.  Dia merasa jenuh dengan novel yang disukainya, kebiasaan yang selalu dilakukannya ini tidak bias menghilangkan rasa bosannya.
Fira bangkit dari kursi panjang yang ada di depan ruang bk. Dia mengintip ke dalam ruangan melaului kaca., mencari celah-celah untuk mengetahui apa yang ada di dalam sana. Fira seketika mengerutkan kening saat melihat seorang lelaki sedang duduk di depan Ibu Ratna, menjelaskan sesuatu yang tidak dapat di jangkau pendengaran Fira. Lelaki itu hanya menganggukkan kepal pertanda dia mengerti dengan apa yang dikatakan buk ratna.
“Aku yang tertabrak, kamu yang tersakiti” kata Fira pada lelaki itu dari kejauhan. Rasa kagumnya mulai menipis dan digantikan dengan rasa penasarannya, terlalu banyak hal aneh dari lelaki itu. Si jenius yang berteriak secara tiba-tiba seperti orang gila yang kehilangan hidupnya, lelaki yang memiliki stok kata yang terbatas, membuat Fira ingin tahu lebih banyak tentang dia.
Alan bangkit dari tempat duduknya, sepertinya urusannya sudah selesai. Cepat-cepat Fira menghentikan aksi mengintipnya.
 Fira merapikan jilbanya, menunduk saat dia memasuki ruangan. meneutupi bengkak di matanya. Alan berhenti saat berpapasan dengannya, menatapnya sebentar kemudian pergi. Seperti yang selalu dilakukanny, tidak memperdulikan orang lain.
“Si cerdas yang tak patut bercermin dalam kekeruhan,” batin Fira
*****

BERSIMPUH BERSAMA HENTAKAN HUJAN

Rintik-rintik kecil…
Membekukan ku dalam kedinginan tak bersyarat
Mengguyur dalam kegelapan
Mengunci hatiku yang menggigil
Setan-setan berkeliling mengelilingi
Meminta sebuah perlindungan abadi
Membutakan mata hati
Mengerang dibalik ketabahan
Tersenyum palsu dalam sebuah kebencian
Menumpahkan setetes darah dalam guyuran hujan
Mengguratkan sebuah kenangan
Menembus batas kesadaran
Mengupas semua ingatan
Meninggalkannya dalam debu kekeringan

Fira membuka pintu kamarnya, dilihatnya Fara sedang tertidur di ranjangya.
“Dia cantik saat teterbuai mimpi. Apa aku juga?” Tanya Fira miris pada dirinya. Dia menghempaskan tubuhnya dikasur, memejamkan mata. Mencoba menghilangkan semua masalah yang ditahan hatinya. Tapi, kini semuanya telah naik kepermukaan tak dapat dia hentikan. Terjadi tanpa diinginkan.

Bunga –bunga itu melambai pada Fira sepertinya dia tidak sedang menghibur keadaan Fira yang sendiri, dia malah mngejek. Suara deruan ombak, yang semula menjadi nada penyejuk hati berubah menjadi raungan yang mengenaskan, pasir yang putih yang semula membuat Fira merasa geli harus menginjaknya, berubah menjadi duri yang menusuk telapak kakinya. Membuat rasa sakitnya menjalar ke seluruh tubuh Fira. Fira menatap sekelilingnya ingin mencari tahu ada di allam sebelah mana dia,” bunga-bunga ini?” tunjuk Fira, dia mencoba mengingat dimana dia pernah melihat unga mawar yang indah seperti ini. “Taman belakang rumah, tempat akau dan Fara” gumam Fira lagi. Tapi, setahu Fira tamana belakang rumahnya tidak memiliki pantai dan pasir putih seperti ini, mungkinkah bunga-bunga ini hanyalah kamuflase dari bunga-bunga yang ada di taman belakang.
 Fira ingin menjauh dari semua yang berhubungan dalam kehidupan nyatanya, meskipun dia harus  tenggelam dalam rasa sepi.
Fira duduk, menatap lusanya lautan. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya. Dia pernah berpikir ngin menjadikan angin sebagai sahabatnya, tempt membagi isi hatinya, karena dia merasa angin tidak akan membocorkan rahasianya. Tapi, sepertinya angin tidak selalu ada, dia selalu menghilang saat bibir Fira mulai  mengatakan segAlanya, “Apa kamu membenciku angin, karena hatiku sudah ternodai dengan perbedaan yang ada?” ucap Fira, dia mengangkat tangan kanannya mencoba menangkap angin agar dia selalu di dekatnya. Tap,i  tiiba-tiba angin itu menjadi sangat kencang, tidak ada lagi angin yang menyejukkan. Angin itu seperti ingin menggerogoti Fira. kenapa semua yang ada di dunia ini seolah-olah membencinya, angin itu menyerang. Fira memegang batang-batang mawar yang ada di dekat pantai, dia sudah tidak peduli dengan duri-duri yang akan menusuknya. Angin itu semakin kencang membuat Fira menangis, dalam tangisnya dia menyebut nama fara, dia butuh uluran tangn Fara untum menariknya dari tempat ini.Dia membutuhkan seseotrang untuk menolongnya. Dan,  yang dipikirkan hanyalah Fara seorang, saudara kembarnya. Saudaranya yang jenius, hingga dipuja semua orang, saudara yang  penyebabkan hatinya mulai terguncang.
 Angin itu semakin kencang, tangan Fira sudahh tidak kuat lagi memegang batang bunga mawar. Daun-daun yang tadinya hijau berubah menjadi merah seperti bunganya. Daunnya berbalut dalam darah segar Fira. Rasa perih itu tidak dapat ditahan oleh Fira. Belum saja Fira lepas dari serangan angin, dan mawar yang menusukknya, ombak itu menerjng ke arah Fira, dia ingin Fira tenggelam di dalamnya. Fira berteriak, di suda tidak bisa menghadapinya sendiri. Sekali lagi dia menyebut nama Fara. Entah, karena Fira memang ada di dunia yang aneh, atau karena suaranya yang mengandung kekuatan sihir. sesosok tubuh cantik berdiri di depannya, tersenyum menis menatap Fira.
“Kak Fara, tolang Fira…” gumam Fira lemah, dia mulai merasakan rasa sakit yang luar biasa pada setiap sendi-sendi tubuhnya. Jauh menyimpang dari pikirkan Fira kalau Fara akan mengulurkan tangannya seperti biasa, menolongnya. Tapi tiba-tiba, senyum manis dibibir Fara lenyap seketika, mata indah miliknya yang juga dimiliki Fira menataonya dengan tatapan marah.  Fara berbalik meninggalkan Fira sendiri melawan kematian yang akan menjemputnya secara berlahan, Fira meronta-ronta memanggil nama fara, meminta pertoloongannya, tapi Fara sama sekali tidak membalikkan badannya, dia terus berjAlan meninggalkan Fira yang tenggelam dalam ombak yang mengeTian itu.
Fira terbangun, dia menatap kedua telapak tangannya, menatap sekelilingnya. Tapi hanya ada Fara seorang dikamar ini, masih tertidur pulas, tersenyum dalam tidurnya “Di dunia manapun itu,  Fara selalu menjadi kesukaan semua orang” gumam Fira pelan.
            Suasana di luar membuat fira kedinginan, entah apa yang terjadi saat dia tertidur. Guyuran hujan sudah menggema di setiap ujung bumi mengingatkan dia akan mimpi. Mimpi yang menjadi nyata.
             Fira bangkit dari kenyamanan kasurnya, rasa dingin menembus tulang Fira membekukan dirinya. Dia meraih handuknya yang tergantung bebas, masuk ke dalam kamar mandi, membasuh dirinya dengan kehangatan.
Fira bersimpuh dilantai kedua tangannya diangkat, kedua matanya terpejam dalam hembusan kata yang menggurat hati. Kata-kata itu mengalir bak hujan di luar sana. Semakin deras bersama deruan angin dan gemuruh menambah sesak di dada Fira.
“aku bersimpuh dalam dekap dingin
Meminta seperti anak kucing. Lembaran baru dalam diriku sudah kubuka
Kutanggalkan hatiku bersam hembusan angin, tersiram hujan yang melanda
Rintih hatiku sudah menjerit meminta seonggok keadilan
Tuhan
Hanya itu yang dapat ku ukir di tengah kegersangan dan kebekuan hatiku
Nasi sudah menjadi bubur, terlajur tertelan dalam perih hatiku”

Air mata Fira sudah mengalir tertindih hujan diluar sana.  Kata demi kata mengalir dari bibirnya, menghembuskan setiap apa yang dirasakannya.
Fira menghapus air matanya, dia menelungkupkan kepAlanya dilutut, merenungkan apa arti mimipi itu sebenarnya. Dia berdiri sambil  mengehembuskan napsnya yang berat. Dia berdiri, menatap dirinya pada pantulan cermin. Mengamati seperti apa dirinya, dimana letak perbedaan yang ada.
Fira melihat dua buah mawar merah yang teTiat rapidengan pita merah. Bunga segar itu menggugah selera untuk menyentuhnya. Keindahan dibalik kemunafikannya membuat orang tertipu. Membuat semua orang ingin mendekapnya dalam tangan, bermain dengan durinya. Fira mengambil mawar itu, mengamatinya penuh kengerian. Bunga indah ini sudah menipu dirinya, warna merahnya bak orang sedang kehausan darah.
Fira berjAlan mendekati jendela. Ditatapnya taman belakang yang penuh dengan bunga mawar itu, sedang mengemis air pada hujan. dia melihat ke dalam, menatap bunga yang ada di meja Fara sama seperti yang dipegangnya saat ini. Sebuah tanda ikatan diantara mereka.
Fira mencabut lapisan bunga itu dengan kasar, dibuangnya keluar. Menyatu bersama hujan, membiarkannya merasakan kenikmatan akan hujan. Taburan bunga itu bagaikan bunga sakura ketiban hujan.
Hanya ada tangkai yang berduri dalam genggaman tangan Fira. “Kamu sudah tak indah lagi. Kau menancapkan durimu dihatiku,” kata Fira kemudian membuang tangkai bunga itu keluar, melayang di angkasa sampai akhirnya dia terhempas di tanah. Keindahannya sudah tidak berarti apa-apa.
Fira tersenyum sambil menitikkan air mata. Menangisi nasib bunga mAlang itu, harus terbuang karena keindahannya hilang
“Mawar yang kehausan darah untuk memperindah warnanya…” gumam Fira pelan. Dia merenung dimeja belajarnya, membuat note tentang karya ilmiah. Bergelut dengan ide-ide yang mulai bermunculan ke permukaan otaknya.
Mata indah itu sudah memandang lama apa yang terjadi. Buliran bening itu mengalir dbalik selimut yang dia kenakan. Menyembunyikan perih hatinya. Dia memegang erat selimutnya, melampiaskan segAlanya pada benda tak bernyawa ini. dingin di luar sana sudah menembus ke dalam selimut, kulit, tulang dan hatinya, membuat mereka semua beku.
Mata indah itu adalah mata Fara, melihat deretan kejadian yang menyakitkan. Bunga yang sudah menjadi ikatan mereka, lenyap di bawah naungan hujan. dia ingin menyelamatkan bunga mAlang itu. Tapi, selimut ini menempel ditubuhnya, kasurnya menarikkanya untuk tetap diam, merasakan lebih lama kehangatannya
Fara menyerah. Hatinya sudah terluka karena Fira sendiri, dia meremas tangannya. Dia tidak dapat bersinar dibawah hujan, dia tak mampu melawan. “ajarkan aku bagaimana menjaga mawar milikku. Agar tak kuluka atau dia yang akan melukai,” batin Fara.
*****








CAHAYA BINTANG DI SIANG HARI

Menatap  ujung nun jauh di sana
Merangkak untuk dapt mencapinya
Mengais-ngais untuk mendapatkannya
Dilempar dengan kasarnya
Menatap bayangannya yang mulai tampak
Bertentangan dengan cahayanya
menimbulkan getar yang tak biasa
terperangkap dalam kisahnya
berpendar di tempat yang tidak seharusnya
tempat dia mengais sebuah cahaya yang membuatnya selalu tampak gersang di antara sejuknya embun pagi…

Fira menatap sekelilingnya. Dia duduk bersandar dibangkunya, kedua tangannya terhempas di atas meja, menikmati keributan yang ada. Kelasnya sudah menjadi tempat penjual dan pembeli bertransaksi mengenai harga suatu barang. Mereka semua bersahutan, dalam kegusaran yang mencekam.
Fira hanya memandang mereka, tidak terlibat adu mulut. Dia melirik bangku disampingnya menemukan Fara tengah memegang kepAlanya, guratan-guratan lelah tergambar di sana, merangkai kata bukanlah bidangnya.
Fira melirik bangku disampingnya, menemukan gadis yang sering merendahkannya tengah bergelut dengan buku setebal dinding. Dia hanya membolak-balikkan tiap lembar tanpa membacanya, dia tidak mengerti dengan berbagai macam teori yang ada. Dia membanting bukunya di atas meja, laptop yang tengah menemaninya berguncang karena getaran di meja. Dia menatap Fira yang sedang tersenyum mengejeknya, mngejek ketidakberdayaannya.
Seseorang datang menemui Fira, tubuhnya yang gempal menutupi pandangan. Membuat Fira mendecakkan lidahnya, terhAlangi untuk melihat pemandangan yang langka ini.
“Fira, bagaimana mengerjakan ini?” Tanya gempar, sambil memperlihatkan Fira laptopnya. Dia kesal dengan kata-kata yang dibuatnya sendiri, tidak ada kalimat padu yang saling bertautan.
“Bab 2 berisi tentang kajian pustaka. Jika kamu meneliti tentang Semut Rangrang Sebagai Mahkluk Sosial berarti kajian pustakanya adalah, semut secara umum, jenis-jenisnya, tempat koloninya. Kemudian cantumkan sedikit tentang semut rangrang beserta pengertian makhluk sosial,” jalas Fira. Gempar hanya menganggukkan kepalnya pertanda mengerti, dia nyengir pada Fira memperlihatkan deretan gigi kuningnya.
Semua mata memandang iri pada Fira. Dia hanya perlu duduk santai dibangkunya, dia tidak perlu berkicau menanyakan ini dan itu. Tidak perlu pusing dengan penelitiannya.
“Sombong sekali kamu,” kata Tia. gadis itu sudah muak melihat tingkah Fira yang berlagak seperti dibutuhkan semua orang.
Fira tersenyum, “Kerjakan saja, waktu sedang mengejar. Jangan sampai terkena  tikamannya,” kata Fira menusuk.
Fara melihat apa yang tengah terjadi. Menatap Fira dengan segala perubahannya, bukan gadis ceria lagi. Setiap kata yang keluar dari bibirnya menusuk hati yang mendengarnya.
“Kamu hanya bayangan Fara. Menakutkan..” kata Tia sambil bergidik.
Kemarahan Fira memuncak, dia tidak menyukai kata itu. Hanya menjadi bayangan membuatnya akan hilang, karena itu keberadaannya tak dianggap di semua lingkungan.
“Daripada kamu, bersolek berjam-jam di depan cermin usang hanya untuk menarik perhatian lelaki. Tidak punya otak, setan telah berkeliling di setiap perputaran waktumu,” kata Fira menyiratkan luka di hati Tia.
Fira bangkit dari kursinya dengan gusar, meninggalkan kelas yang sudah membuatnya semakin terbakar. Dia ingin sendiri di dunianya yang sepi, dia sudah tak perduli dengan tempatnya saat ini, menghilang jauh lebih indah. Dia melihat Fara menatapnya tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakannya.
“Firaaa… “ panggi Fara. Tapi Fira telah menghilang di kerumunan siswa yang lain. Sosoknya sudah tak terlihat dari pandangn.


*****

           DIBALIK BUKU BERDEBU

Lembaran putih berlipat-lipat, saling menindih
Ternodai gumpAlan debu
Hanya mematung pada tempat kebanggaan
Tak dilirik satupun orang
Padhal, dia ingin berbagi
Sejuta pengetahuan yang tersimpan
Mengelupas sebuah misteri
Keberadaannya di tempat ini
Hanya sebagi pajangan penghias mata
Mempertemukan dua pasang jiwa
Yang akan menjadi sahabat karibnya…

 Fira menatap tembok putih dihadapannya, mencari sebuah ide di dalamnya. Menjelajahi setiap material-material penyusunnya. Dia sedang bergelut dengan berbagai macam cerita yang melibatkan hati dan perasaannya.
Setiap detik kejadian dalam hidupnya dia tulis dalam lemabaran-lemabaran putih yang dia ukir dengan kata-katanya yang menggairahkan. Membagi rasa sakitnya.
 Fira membuat lukisannya sendiri di kanvas putih yang suci, menatap seorang gadis yang sama dengannya tengah dikerumuni semua orang. Membuat hatinya merasa teriris saat melihatnya. Dia goreskan pensil itu menghubugkan tiap titik yang ada. Menjadikannya sebuah goresan tanpa noda yang menorehkan luka. Tiap goresan yang dia buat bagaikan sebuah nada keperihan. Mencabik seluruh ingatannya.
Dia tersenyum sinis pada kanvas yang sudah ternodai gambarnya yang memillukan. Ditatpnya  anggota yang lain. Sama sibuknya dengan dirinya, semuaa sedang terjerat dalam permainan yang tak pasti. Yang menentukan keberadaan mereka.
 “Semangat semuanya” ucap Fira sambil berdiri dari tempat duduknya, diangkatnya kedua tangannya memberi semangant pada anggota mading.
 Semua mata menatapnya dengan senyuman, mereka tahu apa yang dirasakan ketuanya ini, dia ingin dianggap bukan hanya karena dia mampu. Tapi dia hanya ingin keberadaan siswa-siswa yang seperti mereka dihargai.

“Tentu” jawab  anggota yang lain, mereka tahu seperti apa semangat yang dimilki ketuanya.
Mereka juga akan berusaha  menyelesaikan permainan ini, membantu pimpinannya menuju puncak permainan yang akan menjadikan mereka semua orang-orang yang dihargai.
“Lukisan yang indah,” komentar gita. Melihat Fira yang menggoyangkan lukisan ditangan kanannya.
“Lukisan yang memilukan. Kanvas ini jadi ternodai,” kata Fira. Dia tersenyum pada Gita. Fira menatap sekali lagi lukisan itu, menyisiri setiap goresan luka yang dia torehkan sendiri.
“Ada yang kurang,” kata Fira pada dirinya sendiri. Dia menyipitkan mata memandang lukisan itu. Tangnnya yang mungil mulai bergerak, menari-nari di atas kanvas. Lihai bak orang sudah mahir.
“Lengkap sudah,” kata Fira setelah dia menyelesaikan lukisan itu. Dua buah bunga mawar yang teTiat dengan pita tergemulai lemah di tanah. Tampak layu karena goresannya, meminta setetes air untuk membangkitkannya.
*****
Fara membongkar semua buku kimia yang ada diperpustakaan, membuat lemari-lemari itu berantakan, tidak dia pedulikan tatapan marah dari penjaga perpustakaan. Pada saat jam pelajaran seperti ini, Fira merasa perpustakaan ini miliknya dan lelaki anti sosial yang tidak pernah bangkit dari duduknya, dipojok ruangan.
Fara menghela napas, mengapa sekolahnya yang  favorit memilki buku yang terbatas. emua buku yang ada sudah Fara kerjakan soalnya, dan rata-rata setiap buku memilki kesaman dalam soal, membuat Fara malas untuk mngerjakan soal yang mirip.
Ditatapnya deretan buku, yang sudakh dibolak-baliknya berulang kali. Buku yang berdebu itu membuat dadanya terasa sesak. Di baliknya tumpukan buku itu sekali lagi. Dan, tepat saat itu, Fara melihat lelaki anti sosial itu sedang berdiri menatapnya, bibirnya seperti ingin mengucapkan sesuatu tetapi tertahan ditenggorokannya
Dia bersusah payah mencoba mengucapkan kalimat itu, dia menunduk. “Terimakasih” katanya pelan. Kata itu membuat Fara merasa aneh. Dahi Fara berkerut, terimaksih untuk apa. Fara merasa dia tidak pernah menolong Alan. Jangankan menolongnya, memulai pembicaraan dengannya baru kali ini.
Melihat Fara hanya diam dengan dahinya yang berkerut memaksa Alan untuk berbicara lagi. Dia berpikir gadis dihadapannya ini, tidak ingat atau memang dia memiliki daya ingat yang sangat rendah.
“Berapa IQ-mu?” tanya Alan tiba-tiba, membuat Fara merasa tersinggung. Untuk apa menanyakan hal itu memangnya penting baginya, dan stelah dia tahu apa yang akan dilakukannya.
Kini wajah Fara yang tadinya heran berubah menjadi kesal, mengapa lelaki ini sangat sombong, padhal dia baru pertama berbicara dengan Fara.”beginikah sikap orang yang anti sosial” batin Fara.
Melihat ekspresi Fara yang seperti itu membuat Alan menjadi tidak sabar, mengapa jAlan pikiran gadis ini begitu lambat “Kamu memiliki daya ingat yang sangat rendah?” kata Alan lagi. Dia memasukkan kedua tangannya kedalam saku celananya, membuatnya tampak semakin sombong dalam pandangan Fara.
 “Entah manusia seperti apa kamu, tapi terimaksih juga” kata Fara sambil pergi meninggalkan Alan yang sedang tersenyum.
Fara masih menahan emosinya, sopan santun masih menguasai dirinya. Bagaimanapun juga Alan sudah membantunya, meskipun hanya bantuan kecil, tapi sangat berguna bagi Fara saat itu, “aku masih ingat saat kamu hanya menunjukku, “ batin Fara.  
Fara kembali bergelut dengan laptopnya, mengerjakan soal yang sudah dicari di internet. Mencoba melupakan kata-kata Alan barusan, berani sekali dia mengatakan IQ Fara rendah secara tidak langsung.
“Kasihan sekali, dunia begitu luas seharusnyadia tidak menyia-nyiakan orang yang ada disekelilingnya. Menjadikan mereka sebagai seorang teman bukan hanya sebuah patung. Bagaimana mungkin, dia hidup tanpa teman…” gumam Fara sendiri.
Fara menunggu kedatangan Ibu Mia yang sedang mencari soal-soal olimpiade tahun lalu di ruangannya.
 Fara melamun menjejaki pikirannya yang mulai bosan. Otaknya kembli menuntunnya pada satu nama, Fira. Fira tidak pernah berbicara satupun kata dengannya hari ini. Bayangan akan apa yang dilakukan Fira kemarin  selalu berputar diotak Fara. Tidak pernah menyangka Fira merusak ikatan diantara mereka
"Memangnya sudah tidak ada keindahan diantara kita?" tanya Fara pada dirinya. Rasa sakit dihatinya terbangun mengingat itu. Bunga yang selalu menjadi symbol keberadaan mereka dengan mudahnya dibuang begitu saja oleh Fira
"Apa aku sudah tidak berarti bagimu?" katanya lagi. Pikirannya sampai pada suatu pertanyaan besar dalam dirinya. "Bagaimana jika aku Fira. Mampukah aku bertahan dengan semua perbedaan yang ada?" katanya. Matanya menerawang pada layar laptop yang sudah terisi penuh dengan rumus-rumus kimia.
Fara menggeleng membayangkannya. Sebuah tangan sudah menepuk bahunya, Fara terkejut. Dia berdiri membuat tangan Ibu Mia terlempar begitu saja, bertabrakan dengan kursi.
Ibu Mia menatap kasihan pada tangannya yang memar. "Kamu kenapa? ada masalah?" tanya Ibu Mia
"Maafkan saya Ibu. Saya tidak sengaja," kata Fira dengan mimik wajah yang ketakutan.
"Tidak apa-apa," kata Ibu Mia. Dia membuka soal-soal yang dibawanya. Menjelaskannya pada Fara.
Fara melamun lagi, tidak memperhatikan apa yang dijelaskan Ibu Mia, materi tentang  hubungan molaritas dengan ksp. Materi itu hanya keluar masuk dari telinga kiri menuju telinga kanan. Fara membayangkan bagaimana jika Fira yang melakukan itu, apa dengan semudah itu Ibu Mia memaafkannya.
*****

TOREHAN LUKA MENJELANG PERTEMPURAN

Darah sudah tertumpah di hati
Semakin kau siram dengan air garam
Membuatnya luka karena kata
Kau torehkan luka diantara darah yang mengental
Membuatnya cair tak ingin mengalir
Goresan itu terlalu dalam
Tak dapat dijangkau jemari tangan

Hembusan angin membuat bulu kudu berdiri. Gelapnya malam menambah kesunyian diantara kedua gadis itu. Ingin memulai mengusiknya tapi terjanggal karena hati yang sudah terluka.
Fira menatap lembaran putih yang sudah tersiram tinta hitam itu dengan serius. Difokusknnya semua pikirannya hanya untuk ini. Menelaah setiap kata yang sudah diukirnya. Besok semuaya akan terjadi. Hal yang sudah lama ditunggunya sebgai jembatan untuk mengubah segAlanya. Besok adalah hari penentuannya, hari yang akan menjadi sejarah dalam hidupnya.
"Pena kecil dalam kertas putih. Berharap kamu dapat dilirik orang lain, membuat mereka ingin tahu tentangmu lebih banyak," kata Fira berbicara pada lembaran yang dipegangnya.
"Fir…" gumam Fara pelan. Dia mencoba mengusik kesunyian yang melanda di setiap ujung ruangan ini.
Fira mengabaikan panggilan Fara. Dia tetap menatap lembaran ditangannya. Sengaja tenggelam dalam tinta hitamnya.
Fara bangkit dari kursi belajarnya. Dia sudah tak tahan dengan sikap Fira yang seperti anak kecil. Mengabaikannya tanpa alasan yang pasti.
"Kamu kenapa Fir,?" tanyanya dengan bersahabat. Dia memegang pundak Fira yang dingin karena angin malam.
"Diam," kata Fira sambil berdiri dari kursinya. Kaki kursi itu menimbulkan bunyi berdecit karena gesekan yang terjadi dengan lantai.
Fara terkesiap mendengar apa yang dikatakan Fira. Hatinya sudah terluka. Kenapa ditambah lagi dengan kata itu. "Diam,"ulang Fara lemah. Buliran bening itu sudah menetes.

"Bagaimana aku bisa diam. Apa kamu marah padaku?", Tanya Fara dengan nada tetap tenang, tapi air matanya tetap mengalir. Tidak terbiasa dengan kata yang seperti itu, kata yang seolah membentaknya.
"Aku yang salah karena terlahir di dunia bersama orang yang cerdas," kata Fira semkakin menjad-jadi. Semakin menusuk hati Fara.
Fara menahan isakannya yang ingin pecah."Tidak ada yang salah. Kita hanya perlu menjaga hati. Jangan biarkan dia tertoreh luka," kata Fara tetap bijaksana. Dia ingin tetap tenang, tidak ingin mengikuti jalur emosi Fira.
"Hatiku sudah tertoreh luka. Aku juga sudah menorehkan luka. Terlalu banyak luka membuatku tak dapat bertahan. Symbol ikatan kita sudah termakan hujan. bukankah itu menorehkan luka di hati kak Fara," kata Fira. Dia berbalik meninggal fara yang mematung ditempatnya. Dia pergi menjauh meninggalkan dunia, menjelajah setiap alam mimpinya.
Fara terdiam. Memang dia sudah terluka karena itu, tapi coba ditahannya. Dia tidak ingin membuat segAlanya menjadi rumit. Dia menyeret kakinya yang terasa berat. Ditatapnya kumpulan soal kimia di meja belajarnya. Besok adalah hari pertempurannya, tapi semuanya teras mati karena kejadian tadi.
Fara mengambil dua buah mawar yang sama dengan mawar Fira yang sudah dilemparkannya di tengah guyuran hujan. Menatapnya lemah. Setetes air matanya jatuh tepat di atas bunga itu. Menjatuhkan luka yang dirasakannya. Duri yang ada di batang bunga ini seperti menusuk pori-pori tangan Fira.
Dia mengerjakan soal-soal yang tertumpuk di meja belajarnya. Apapun masalahnya dia tetap harus focus pada olimpiade besok.
. “Ternyata sudah mulai, bagaimana aku mencegah agar hatimu tetap sama Fira," batin Fara.
*****









PERPUTARAN RUMUS DALAM KOTAK KACA

Pikiranku terjepit dalam kotak kaca
Rumus-rumus menjelajah mencari tempat bersinggah
Merangkak dalam tinta
Terperangkap di tempat yang pengap
Keindahan dalam kebeningan tengah tergoyah
Tempelan rumus mengejek
Menari-nari dalam otak

Fara menatap gedung yang ada di depannya saat ini. Salah satu gedung milik pemerintah. Dia tidak pernah menyangka bisa menjejakkan kaki ditempat ini, dalam rangka membawa nama sekolahnya.
Suara lembut yang keluar dari speaker itu, memaksa semua peserta untuk segera memasuki ruangan membuat Fara dengan cepat melangkahkan kakinya. Dilihatnya semua nomor yang ada disetiap pintu ruangan, dia berada diruangan 3B bersama dengan Alan.
Fara duduk dikursinya yang berada di depan meja pengawas, Alan berada  tiga meja dbelakangnya. Fara mendengarkan degan seksama aturan dalam permainan ini, setelah aturan permainan disampaikan kemudian pengawas memerintahkan semua peserta untuk memulai mengerjakan soal.
Fara menarik napasnya dalam-dalam. Ditatapnya kertas-kertas soal yang terdiri dai 3 lembar dengan jumlh soal 50. Digosoknya kedua tangannya untuk mngeringkan keringat yang mulai tampak ditangannya, kemudian dia mengambil pensil yang ada disampingnya. Dibacanya soal-soal itu dengan teliti. Mengerjakannya dengan tenang, menjadikan soal-soal itu sebagai seorang sahabat yang akan membantunya. Mendekatinya untuk menemukan kebenaran dirinya dalam setumpuk kesalahan yang dimilkinya. Menuntunnya memilh yang benar diantara yang salah. Menjadikan soal-soal itu tersenyum padanya ketika tangannya memilih yang benar sebagai sebuah petunjuk untuk meyakinkan dirinya dengan apa yang dipilihnya. Membuat soal-soal itu berpesan padanya untuk menjaga ketelitian dalam mencari jawaban yang benar dalam dirinya. Membuat soal-soal itu berkata terlalu banyak jurang yang sudah disipakan untuk menjebak dirinya agar dia terjatuh dan tidak bisa melanjutkan petuAlangannya ke soal yang lain. Mencari berbagai misteri dari semua soal yang disediakan dalam permainan ini.
*****
Buliran bening itu jatuh. Membuat semuanya merasa sangat lelah tapi, ini semua harus terselesaikan. Tangan-tangan itu menari diatas karton putih itu. Kertas yang tadinya hanya diahiasi dengan warnanya yang putih berubah menjadi kertas yang memiki berbagai macam warna, yang dilengkapi dengan berbagai macam tulisan dan gambar.
Fira melihat semua teman-temannya membeTiannya semangat. Sebenarnya Fira juga merasa tegang. Dia selau menjaga pandangannya agar tidak melihat apa yang dimilki lawannya. Dia semakin tegang karena banyaknya mata yang menatapnya. Semua pandangan melihatnya membuat setiap gerak yang dilakukan Fira bagaikan diawasi dengan ketatnya.
Tangan-tangan mereka tidak boleh melakukan hal yang lain selain merangkai semua bahan-bahan yang terlihat seperti sampah ini menjadi sampah yang terlihat begitu mengagumkan. Membungkusnya dalam sebuah kaca yang berbentuk segi empat, membuatnya tampak berkilau.
Fira melihat jam tangannya, suda tiga puluh menit berlalu sejak pembawa acara menyuruhnya memulai membuat mading seindah dan seunik mungkin. Mereka diberi waktu hanya satu jam, dan itu adalah waktu tercepat dalam hidup Fira. Setiap menitnya terasa bagaikan kilat yang hanya lewat didepan matanya.
“Sudah?” tanya Fira pada Daril yang bertugas mewarnai. Tangan lelaki itu sudah berubah menjadi tumpukan warna yang menghiasinya. Daril mengangguk dan tersenyum pada Fira.
 Mereka memang memilki tugas masing-masing, Fira bertugas untuk membuat puisi dan cerita. Gita bertugas untuk mengambar berbagai macam anime atau ilustrasi gambar. Daril mewarnai mading secara keseluruhan. Riska bertugas membuat berita dan artikel, sedangkan untuk keperluan lainnya diurus oleh risma.
Mereka membagi tugas berdasarkan kemampuan yang mereka miliki, karena segala sesuatu itu harus ditempatkan ditempat yang seharusnya, agar semuanya berjAlan sesuai dengan yang diinginkan.
Mereka berkerja sama untuk menyelesaikan permainan. Menjadikan tangan-tangan mereka menjadi satu dalam lingkaran yang sama, tidak mementingkan keegoisan dari setiap tangan. Mengumpulkan kekuatan yang dimilkinya, menjadi satu agar mereka lebih kuat. Mereka bersatu untuk menghasilkan sebuah karya yang berkarakter dengan bumbu persahabatan yang semakin membuatnya menjadi indah, seindah tangan-tangan yang membuatnya.
Fira dan anggota yang lainnya menyelesaikan permainan itu dalam waktu 35 menit dari yang lain. Meskipun begitu, mereka membeTian semangat bagi peserta yang lain. Karena, dalam permaianan sportifitas merupakan kunci untuk membuka pintu kemenangan. Menjadikan lawan sebagai seorang sahabat yang akan merangkul mereka dalam kemenangan, Tersenyum pada saat mereka berada dalam kekalahan, sebuah senyum semangat. Karena, masih banyak waktu dan ksempatan untuk mengulang permainan. Tapi, pada saat itu mencobalah untuk  berusaha lebih keras untuk memenangkan permainan, agar tidak terjatuh dalam jurang yang sama untuk kedua kalinya.
*****
Jam, menit dan detik semakin berjAlan memutar dalam lingkaran yang terbatas, menghabiskan setiap waktu yang dimilki semua orang, memperpendeknya, membuat semua orang gelisah karena perputarannya. Dia berjAlan sangat pelan, berbunyi setiap satu detik berlalu, pelan tapi pasti langkahnya tidak dapat dihentikan.
Lingkaran kecil tempatnya berporos hampis selesai dia kelilingi, setiap angka sudah dilewati oleh jarum panjang itu, membuat jarum pendek selalu berhenti di satu angka sebelum jarum panjang berada diangka dua belas. Penantian yang panjang bagi jarum pendek, tapi sebaliknya perputaran yang terlalu cepat bagi mereka. Mereka yang membutuhkan perputaran itu lebih lama lagi untuk meyelesaikan semuanya, tepat pada waktu perputaran itu berhenti untuk sementara, berhenti hanya untuk mengatakan semuanya sudah berakhir dan di kembali berputar. Mengejek bagi yang belum menyelesaikan semuanya dan mengucapkan selamat bagi mereka yang sudah melewatinya.
Fara menatap lembar jawabannya dengan penuh keyakinan, semuanya sudah disinya dengan sebaik mungkin. Dia berdiri mantap, memang bukan dirinya yang pertama menyelesaikan soal itu, bisa dikatakan dia menyelesaikan soal itu tepat ketika waktu sudah habis, lima jam. Sebenarnya dia ingin menyelesaikan soal ini lebih cepat tanpa menghabiskan waktu lima jam yang membuat badannya merasa sakit semua Karena terlalu lama duduk, tapi soal-soal ini menginginkan ketelitian bukan kecepatan.
Fara berkali-kali memeriksa lembar jawabannya untuk memastikan dirinya tidak salah dalam menghitung, tidak dia pedulikan waktu yang sudah mengejarnya. Dia akan megumpulkan lembar jawabannya saat dia sudah benar-benar yakin, jadilah Fara mengumpulkannya setelah waktu habis. Tidak seperti peserta yang lain mengumpulkan ketika mereka sudah menyelesaikan semua soal, seperti Alan dia adalah peserta yang mengumpulkan paling cepat, mungkin dia tidak ingin terlalu lama ditempat yang membuatnya merasa  bosan, karena soal matimatikanya sudah habis dimakannya.
Dalam permainan ini semua jenis bidang ditempatkan dalam satu tempat. Hal ini bertujuan untuk menghindari adanya kerja sama diantara sesama teman yang memiliki rasa solidaritas yang sangat tinggi, sehingga membuatnya saling mengisi satu sama lain, agar pekerjaan mereka terasa mudah.
Fara duduk di sebuah bangku panjang di depan ruangannya. Menghirup udara kebebasan dari soal-soal yang membuatnya pusing. Dilihatnya bunga mawar yang tengah bergoyang di bawah sinar matahari, mengingatkannya pada bunga yang menjadi ikatan mereka terbuang begitu saja. Bunga itu mengukir kembali kejadian tadi malam. Ingatan tentang kata-kata Fira terkuak dalam otaknya, tak mampu ditahan rumus kimia untuk tetap bersembunyi di belakangnya.
Fara tersenyum pahit, masih tidak menyangka Tuhan begitu cepat membalikkan hidupnya.
"Tuhan. Cobaan-Mu membuatku sirna, lenyap dalam duniaku. Aku hamba-Mu yang berlumur dosa, terlalu banyak yang telah Engkau beTian. Pantaskah hamba meminta lagi?. Kembalikan gadis ceria yang menghiasi tiap detik hidup hamba, saudara yang Engkau beTian pada hamba," doa Fara. Matanya tertutup, hatinya bergejolak, pikirannya berputar dalam satu nama, Fira.
*****


















KEMENANGAN DALAM KEKOSONGAN
Apa artinya sebuah kemenangan
terjatuh dalam kekosongan
Membuat suatu ikatan menjadi semu
Awal dari sebuah permusuhan
Membuat setan-setan menjelajah
Meraung dalam pikiran
Membuat buta akan kemenangan
Terjerumus dalam dunia fana
Cepat dan menusuk
Ikatan diantara mereka…
Terporak-poranda hanya karena  sebuah 'kata kemenangan'

Hari senin selain identik dengan hari upacara yang membuat semua orang malas untuk mengikutinya juga dikenal sebagai hari dimana awal dari sebuah hari dimulai. Hari dimana semua kejadian sekolah yang menyenangkan dimulai, hari dimana semua siswa bertemu untuk saling mengenal dan sebagai hari dimana berbagai macam kejutan akan tersedia. Kejutan yang mungkin menyenangkan dan juga mungkin menyedihkan bagi setiap orang. Dua hal kemungkinan yang akan terjadi membuat semua siswa SMA 48 menjadi gelisah, tidak sabar menunggu hal mana yang akan mereka dengarkan.
Tidak ada suara yang berkicau seperti burung, meskipun terik matahari sedang mengancam, tidak seperti biasanya saat matahari baru saja meninggi semua siswa SMA 48 mngeluh karena kefanasan, kini mereka semua diam menunggu sesuatu yang sangat mereka inginkan. Menunggu akan seperti apa sekolah mereka yang digenggam oleh orang-orang terpilih itu. Bahkan, mereka yang tidak terlibat juga ikut menunggu dan merasa tegang,
Fira terdiam, matanya yang bulat menatap anggota mading yang ada di dekatnya. Ketegangan menguasai mereka. Keringat mereka berjatuhan di kening, mereka sudah menerima apapun hasilnya, yang terpenting adalah mereka sudah berusaha semampu mereka. Setelah melakukan apa yang terbaik yang bisa mereka lakukan, kini mereka hanya bisa menyerahkan hasilnya pada yang kuasa, DIA-lah yang akan menentukan apakah usaha mereka sudah sepantasnya dibeTian imbAlan yang seharusnya, atau malah sebaliknya. DIA-lah juri yang sesungguhnya, juri yang paling adil dimuka bumi ini. juri yang keputusannya memang yang terbaik untuk semua orang.
Fira dan Fara tatap-menatap, tapi tidak ada yang bersuara. Mereka saling menguatkan dalam hati, merasa gengsi unutuk membuka suara.
Fira mempertajam tatapannya. Dia sudah tahu Fara pasti mendapatkannya, akan ada kejutan untuk Fara dan aka ada kekecewaan untuk Fira. Dua hal yang selalu berlawanan dalam hidup mereka
"Fara Amaliya juara satu olimpiade kimia tingkat nasional dan Alan wijatma juara satu olimpiade matimatika tingkat nasional" suara mc menggugah tatapan Fara  dan Fira.
Fara melangkahkan kakinya menuju  tengah lapangan. Menjadi pusat perhatian semua orang. Membuat Fira tersenyum miris.
"Dan, juara 1 mading se-NTB,"kata mc itu lagi. Kata-kata itu membuat Fira bersorak, bersama anggota mading yang lain. Mereka berpegangan tangan. Menyetarakan langkah menuju tengah lapangan dengan kepercayaan diri yang tinggi.
"Terima kasih Tuhan" batin Fira.
Fira menatap Fara yang sedang dipasangkan mendali emas oleh kepala sekolah. Hatinya bergetar, ada rasa bangga memiliki saudara seperti Fara tapi juga rasa rendah diri karena ketidakmampuannya seperti dia.
 Fira menatap sekelilingnya, mencari Alan di tengah kerumunan pemenang. Tapi, tak dilihat sedikit pun sosok anti sosial itu.
. Kini giliran anggota mading yang dibeTian piala oleh kepala sekolah, memang tidak sebanding dengan apa yang didapatkan Fara, tapi bagi Fira dan anggota yang lain ini adalah hal yang paling berharga untuk membuktikan mereka juga bisa melakukan yang terbaik untuk sekolah ini. Bukan hanya mereka yang berprestasi dalam bidang akademik saja yang bisa melakukannya.
Fira tersenyum miris mendengar kasak-kusuk tentang dirinya. semuanya terdengar dengan jelas, menggema dalam otaknya.
"Kasihan sekali, lomba yang tak sebanding dengan kembarannya," kata-kata itu mengalir entah dari mulut siapa. Membuat Fira tenggelam, hilang dalam kemenangan yang kosong, tak berarti apa-apa bagi orang lain.
"Ini adalah cobaan Allah," bisik Gita ditelinga Fira. Dia merangkul Fira, menenangkan sahabatnya.
Fira menunduk, rasa kecewa sudah merasuki dirinya. Kekecewaannya memuncak saat mc mendengar kata-kata mc itu.
  “Kepada Fara amaliya dipersilahkan untuk mengucapkan beberapa ucapan terimakasih, berhubung Alan wijatma tidak masuk sekolah. Maka, ucapan terimakasih hanya akan dilakukan oleh Fara amaliya”.
Kata-kata itu bagaikan petir di siang hari bagi Fara. Kenapa hanya dirinya, bukan hanya dia seorang pemenang. Dia menatap sekelilingnya, mencari sosok Fira namun dia sudah pergi menjauh meninggalkan tempatnya.
Fira tersadar bahwa kehadirannya seperti debu yang tidak berarti apa-apa. anya Dia menatap langkah kakinya, masih tidak percaya dengan semua ini. kemenangan yang tidak dianggap semua orang. Air matanya terjatuh di sepatunya, bayangan akan perjuangannya bersama anggota mading dan bimbingan Pak Jihad berkelebat di kepAlanya.
"Maaf, membuat bapak menerima semua hinaan itu lagi," kata Fira di balik tangisnya. Kemenangnnya dia persembahkan untuk sekolah, untuk membuktikan mereka mampu tapi semuanya seolah sirna dalam hitungan detik. Kerja keras mereka tak dianggap sedikit pun.
*****
Hari ini merupakan hari yang akan selalu dikenang oleh Fira, sampai kapanpun itu. Karena berawal dari hari ini semuanya terjadi begitu saja, sangat cepat membuat Fira tidak bisa memutar waktu untuk mengulang apa yang baru saja terjadi, ketika Fira baru saja terluka  semakin membuatnya terluka mendengar perkataan semua orang. kata-kata yang membuatnya sangat direndahkan
 “Jangan dengarkan mereka”kata gita yang duduk disampingnya, gadis itu mencoba menghibur Fira, meski dia juga merasa sangat kecewa karena usaha mereka dipandang rendah seperti itu. Tapi, dia tahu Firalah yang paling sakit mendengar semua itu, karena dia dibandingkan dengan kembarannya sendiri.
 Fira mengangguk pada gita, mereka berdua berdiri meninggalkan ruang mading karena bel sudah berbunyi. Melangka ke arah yang berbeda, karena mereka memang tidak sekelas.
Fira menabrak seorang gadis, yang sepertinya anak kelas XI itu. “si kembar yang memiliki perbedaan yang sangat jauh, aku pernah berpikir betapa sulitnya membedakan kalian, tapi mengetahui ketidakberdayaanmu  dalam perhitungan membuatku terkejut. Aku pikir otak kalian setara” kata gadis itu sambil berlalu tanpa mempedulikan Fira sedikitpun,
Kata-kata itu langsung menyirat hati Fira. Seorang adik kelas menghinanya tanpa menghormatinya sebagai kakak kelasnya. Dimana lagi sopan santun yang harus dikembangkan dalam pergaulan, seseorang seenaknya saja menghina orang lain tanpa memeperdulikan betapa sakitnya perasaan orang yang dihina.
Fira menahan air matanya supaya tidak terjatuh, dia tidak ingin menangis karena orang seperti mereka, “Air mataku tidak akan terjatuh hanya untuk orang rendahan seperti mereka”kata Fira menguatkan dirinya.
*****


BINTANG MENANTANG BULAN
Aku sudah lelah mengemis dalam naungan sinarmu
Hanya menjadi penghias latar hidupmu
Kau dipuja semua umat Tuhan karena sinarmu yang gemerlap
Membuat ku tenggelam dalam pandangan mata
Lucukah bila aku mengatakan "aku menantangmu, bulan"
Aku ingin mengalahkan sinarmu dalam peputaranku
Sinar yang ku hasilkan sendiri hanyalah sinar kecil
Membutakanku saat ku tatap langit yang gelap gulita dalam bentangan yang luas

Jam yang berbentuk micky mous yang ada diatas meja belajar Fira sudah menunjukkan jam 13.00 tepat, pemiliknya masih berkutat dengan tiga mata pelajaran yang membuatnya selalu mengantuk saat membacanya, matimatika, fisika dan kimia. Sudah enam jam Fira mepelajarinya dan sudah enam jam pula dia menahan rasa mengantuknya.
"Akan aku buktikan aku bisa mengalahkannya.." gumam Fira
 Dia mengerjakan soal-soal yang sudah dicarinya di internet, kali ini dia mengerjakan kimia setelah dia selesai mengerjakan fisika dan matimatika. Dibacanya soal itu dengan pelan, mencoba memahami apa yang diinginkan, tapi sama seperti dua mata pelajaran sebelumnya. Dia tidak dapat mengerjakan soalnya pada saat bacaan pertama, dia membutuhkan waktu bermenit-menit untuk memahami soalnya saja, bagaiman dia akan mengerjakannya saat dia tidak memahaminya.
Fira mendengus, badannya sakit semua Karena terlalu lama duduk, dia menghitung jarinya, sepertinya dia hanya dapat menjawab 15 soal fisika dan matimatika, hanya 30 soal dalam waktu lima jam dan soalnya memiliki tingkat kesulitan dalam katagori sedang, tidak sebanding dengan Fara yang dapat mengerjakan beratus-ratus soal dalam waktu 5 jam.
Sekarang, satupun soal kimia belum dapat dia selesaikan, mengapa kima selalu terasa sulit baginya, berhadpan dengan reaksi-reaksi kimia membuat Fira bosan, tapi dia harus tetap focus untuk mengerjakan soal ini.
“Tidak tidur?”tanya Fara sambil menggosok matanya. Fira terkejut melihat Fara sudah ada didekatnya, bukankah Fara sudah tertidur.
Fira tidak mempedulikan kedatangan Fara. Dia tetap menatap bukunya tanpa mengacuhkan pertanyaan Fara.
Dan, semuanya terasa nyata dalam waktu yang sanagat singkat, Fira tidak menginginkan kata-kata itu, tapi meluncur begitu saja. Bagaimana mungkin semua yang ada dalam dirinya sudah tidak ingin dikontrol oleh pemilknya. “Mari kita bersaing, mengubah pandangan semua orang” kata itu Fira ucapkan dengan nada yang sedikit marah dan sinis  membuat Fara kaget mendengranya.
“Kamu bercandakan?” tanya Fara penuh harap, dia tidak ingin apa yang dipikirkannya juga mulai nyata.
 “ Tidak, lihat” kata Fira sambil menunjuk tumpukan soal dan materi-materi yang sudah dia coba pelajari. “Aku ingin mengalahkan cahaya bulan, meskipun aku sadar bintang tidak akan pernah menang melawannya, setidaknya bintang pernah mencobanya, daripada dia hanya terdiam tanpa melakukan sesuatu” kata Fira lagi, lagi dan lagi, kata yang diucapkannya sendiri saja membuat dadanya merasa sesak. Dia ingin mencegah semua kata itu tapi sepertinya kata-kata itu sendiri yang ingin keluar, merusak dirinya dan Fara.
“Aku bisa membantumu” kata Fara  mencoba tenang, dia tidak ingin apa yang dipikirkannya benar-benar nyata, dia mencoba tersenyum, menganggap kata Fira hanya sebuah kata yang tidak serius dan akan berakhir saat mereka terbangun besok. Mengubah jAlan pikiran Fira tentang persaingan yang dimaksud, hanyalah persaingan biasa.
“Kata-kata itu merendahkan dan dimana-mana pesaing tidak pernah saling membantu” ucap Fira semakin menjadi-jadi. Dia menatap mata Fara saat dia mengatakan itu
Serasa angin malam yang dingin ini berlahan akan membunuh Fara, kata-kata itu membuatnya tidak mampu lagi berpikir apa yang tengah dibicarakan Fira. Dia hanya diam, menerawang dalam mata Fira yang menatapnya dengan tatapan yang tidak pernah dilihatnya, tanpa dia sadari dia mengulang apa yang dikatakan Fira “pesaing” gumamnya tidak percaya.
Fira beranjak dari tempt duduknya, meninggalkan Fara yang masih tidak percaya pada kata-kata Fira, rasanya begitu cepat waktu merasuki persaudaraan mereka, membuatnya hancur seketika.
Berlahan tapi pasti air mata Fara jatuh membasahi pipinya, dia terduduk, kakinya sudah tidak mampu lagi menompang tubuhnya. Ditatapnya lantai itu mencoba mencari apa yang sebenarnya terjadi antara dirinya dan Fira. Dia berharap Fira membalikkan tubuhnya, melihat betapa buruknya akibat dari kata-katanya itu pada Fara, tapi Fira terus melangkah menuju tempat tidurnya tanpa menoleh sedikitpun, membuat hati Fara merasa sakit sekali.
“Semua sudah terjadi, entah bagaimana penyelesaian dari semua ini. maaf, membuat hati kakak sakit. Mungkin, memang begini jAlannya, jAlan yang sudah ditakdirkan sebagai jembatan untuk kita menjadi lebih mengenal seperti apa kehidupan yang akan kita jAlani nantinya” batin Fira sambil menahan tangisnya,  mencoba memejamkan matanya dan berharap mimpi yang indah hinggap dalam tidurnya.
*****
Seperti bulan dan bintang menghilang entah kemana, menjauh dari belahan bumi yang satu kebelahan bumi yang lain ketika mendung datang mengusik kebersamaan mereka, sudah tidak ada lagi bintang yang menghiasi bulan, dan bulan sebagai penerang bagi bintang. Saat mendung datang kebersamaan yang melengkapi mereka menghilang dalam waktu yang sangat cepat, secepat hembusan angin yang tidak terlihat tapi dapat dirasakan keberadaannya.
Fara menatap setiap langkah kaki Fira, ingin rasanya dia menyamaknnya dan berjAlan disampingnya, membuat nada-nada yang indah dari setiap langkah mereka yang beriringan, seperti yang selalu mereka lakukan. Tapi, ketika Fara ingin mengejar langkah itu, langkah itu semakin cepat menjauh darinya meninggalkan Fara jauh dibelakang.
"Kemenangan yang memilukan," kata Tia menyambut kedatangan Fira. Dia berkacak pinggang, menatap rendah pada Fira
"Lebih baik memilukan daripada memalukan," balas Fira. Dia menatap Tia tajam, mengacuhkannya.
Sedangkan siswa yang lain tengah mengerumuni fara, membeTiannya selamat atas kemenangannya yang luar biasa. Tak ada satupun yang melihat keberadaan Fira, membuat dia semakin ingin mengalahkan Fara.
Suara sepatu buk mia terdengar sangat tegas memabuat semua anak kelas XII.IPA3 kembali ke bangku masing-masing, menunda berbagai pertanyaan yang akan dilemparkannya pada fara tentang bagaimana perasaannya. Mereka memperhatikan Ibu Mia yang sudah menaruh tasnya di meja guru, tangan kanannya mulai menari-nari di papan tulis menuliskan materi hari ini, Polimer.
“Siapa yang bisa menjelaskan, apa itu polimer” kata buk mia sambil menggoyang-goyangkan spidol yang dipegangnya, matanya terfokus pada semua siswa yang ada di kelas. Fara mengangkat tangannya dan Ibu Mia tersenyum melihatnya, ada rasa bangga pada dirinya karena dugaannya selalu benar, selalu Fara siswa petama yang akan menjawab pertanyaannya.
“Polimer berasal dari bahasa yunani yaitu poly  dan meros. Poly yang berarti banyak dan meros berarti unit atau bagian. Jadi, polimer merupakan senyawa yang besar, dan terbentuk dari hasil penggabungan sejumlah unit molekul yang kecil, unit kecil itu disebut monomer” jawab Fara dengan sangat tenang dan sempurna.
“Selalu sempurna,” kata Ibu Mia sambil tersenyum.”ada yang tahu berapa jumlah molekul monomer?” tanyanya lagi. Dia berjAlan kesamping Fira, menatapnya dengan tatapan mengejek. Fira tidak menyukai tatapan itu sehingga dia mengangkat tangannya, membuat semua orang kaget dengan sikapnya. Sejak kapan Fira yang anti dengan pelajaran kimia tiba-tiba mengangkat tangannya, kelas yang tadinya sepi berubah menjadi pasar hanya karena kelakuan kecil Fira. Fira semakin berani karena itu, dia sungguh merasakan semua orang meremehkannya dalam pelajaran yang membutuhkan kerja otak kanan.
Fira memang membacanya tadi malam, bahkan pgambaran tentang materi itu masih buram dalam ingatannya, tapi karena semua orang memperlakukannya seperti itu, pengetahuan tentang materi itu menguat secara tiba-tiba dalam ingatannya, mungkin karena sugesti yang ada dalam dirinya, “buktikan pada mereka semua”.
“Jumlah molekul monomer” kata Fira terbata-bata membuat semua tertawa melihatnya, bahkan Ibu Mia menyuruhnya berhenti dan menyuruh Fara menjawabnya.
 “Bantu dia, Fara” kata Ibu Mia. Fara melirik Fira yang ada di dekatnya, keringatnya sudah bercucuran, kebiasaan Fira jika dia merasa takut. Fara membuka mulutnya.. “Jumlah molekul mono…” kata-kata Fara tercekat ditenggorokannya, dia melihat Fira yang ada disampingnya melanjutkan kata-katanya dengan mantap.
“Jumlah molekul monomer yang bergabung membentuk polimer dapat mencapai puluhan ribu, sedangkan massa molekul relatifnya dapat mencapai ratusan ribu, bahkan jutaan”
“Karena itu, polimer disebut juga dengan senyawa makromolekul, molekul raksasa dengan rantai yang sangat panjang yang terbentuk dari molekul-molekul sederhana” kata Fara melanjutkan penjelasan Fira.
Mereka saling menatap, membaca pikiran satu sama lain. “Polimer banyak digunakan dalam kehiduan sehari-hari, ada yang namanya aplikasi polimer cerdas. Polimer cerdas ini merupakan polimer yang mampu beradaptasi terhadap perubahan kecil dari kondisi lingkungn” kata Fara sambil terus menatap  Fira, tidak dia pedulikan tatapan marahnya.
“Polimer cerdas ini dimanfaatkan pertama kali dalam pemuatan baju olahraga pada olimpiade Beijing tahun 2008, polimer ini digunakan untuk mengatur suhu tubuh atlet” kata Fira melanjutkan penjelasan Fara.
“Polimer juga dimanfaatkan dalam bidang medis, terutama aplikasi drug delivery atau penyampai obat, gen karier, sensor glukosa, tes diagnose, kontak lensa mata dan lain-lain” balas Fara. Dia tidak ingin mengalah dalam bidangnya. "inikah persaingan kita?" tanya Fara dalam hati
"Semua pemanfaatan itu didasarkan pada sifat kepekaan dari polimer cerdas," sambung Fira lagi. Tatapannya semakin menajam
"Polimer yang mempunyai dua kepekaan sekaligus ini juga sangat potensial dikembangkan baik sebagai drug deliverymaupun di bidang lain. Contoh, polimer cerdas dalam bentuk selaput yang telah ditemukan oleh Andrea Puci dari Universitas Pisayang peka tekanan sekaligus peka tempratur, " jelas Fara panjang lebar sambil terus menatap Fira, bahkan mereka berdua tidak sadar mereka sudah terlibat dalam debat yang membuat anak
Ipa3 terkejut, bukan terkejut karena Fara pemenangnya, karena Fira sudah terdiam, tidak bisa melanjutkan penjelasan dari Fara. Dan hal itu memang wajar, karena Fara memilki pengetahuan tentang kimia sangat jauh ketimbang Fira.Tapi, yang membuat mereka semua terkejut adalah Fira, mungkinkah bakat terpendam yang dimiliki Fira sudah mulai bangun dalam dirinyadan.
“Cukup, Fara pemenangnya. Kerjakan uji komptetensi 1, minggu depan Ibu periksa” kata Ibu Mia mengalihkan pandangan semua orang padanya. Dia tersenyum, mengambil tasnya kemudian keluar kelas, tapi sebelum menghilang dibalik pintu kelas ipa 3. Dia mengucapkan kata itu, kata yang membuat Fira semakin sakit.”Terus berusaha, sepertinya persaingan telah dimulai” katanya pada semua siswa yang ada dikelas, tapi jelas-jelas tatapan matanya tertuju pada Fira.
Kepergian Ibu Mia, merupakan awal dari keributan kelas dimulai, semua orang mengelilingi bangku Fara dan Fira, berbagaimacam pertanyaan menghantam mereka, bagaikan seorang artis yang sedang melakukan jumpa fans.
Fira menyeruak kerumunan itu, meninggalkan Fara yang bingung menghadapi teman-temannya. Fira berlari-lari kecil meninggalkan kelas, hanya satu tempat yang bisa dituju, ruang mading. dia ingin melepaskan ketegangan yang ada dalam dirinya, mecari udara kebebasan yang hanya dapat dia temukan diruangan ini.
“Hebat”kata gita menyambut kedatangan Fira, dia berdiri dari tempat duduknya mengehentikan pekerjaan membereskan semua kertas-kertas yang berserakan. “Cuma kebetulan dan keberuntungan” jawab Fira dengan ekspresinya yang murung, sama sekali tidak bersemangat. “Bukankah kebetulan dan keberuntungan itu memiliki perbedaan yang tipis” lanjutnya lagi. Gita menganggukan kepAlanya, pertanda dia mengerti.
 “Aku membaca pengertiannya sebentar tadi malam, sisanya ku temukan dalam sebuah majalah sebagi refrensi untuk artikel mading,” kata Fira sambil melihat artikel-artikel mading yang akan dipajang minggu ini.
“Ada masalah?” kata gita hati-hati, dia tidak ingin Fira menganggapnya orang yang ingin tahu kepentingan orang lain, karena gita hanya bermaksud dia bisa membantu apa yang sedang menimpa Fira.
Fira menggeleng sambil tersenyum. Masalah ini adalah masalah antara dia dan Fara, bahkan dia tidak ngin orang tuanya mengetahui anak-anaknya sedang dalam masalah.
Gita juga ikut tersenyum, dia tahu Fira mempunyai masalah, tapi sepertinya dia tidak ingin orang lain tahu. “lakukan apa yang menurut hati dan pikiran kamu benar fir,” kata gita sambil memegang bahu Fira, dia memang tidak tahu apa masalah Fira, tapi gita berharap dengan kata-katanya itu bisa lebih memotivasi Fira dan apa yang sedang menimpanya akan segera terselesaikan.
*****
Fira menghitung setiap langkahnya, merenungkan kejadian hari ini. kejadian yang pertama kalinya antara dia dan Fara.
Braakkk..
Fira memegang pundaknya, dia merasakan ada sesuatu yang mengenainya atau tepatnya ditabraknya, "mungkin hanya sebuah ranting pohon" pikir Fira. Sehingga, dia tetap berjalan tanpa melihat ke belakang, tanpa mempedulikan  apa yang ditabraknya.
“Hey” kata seseorang membuat Fira membalikkan badanya, meskipun dia tidak yakin panggilan itu ditunjukkan untuknya. Fira mengerutkan kening saat melihat siapa orang itu, si kekurangan kosa kata. “apa?”Tanya Fira dengan kedua tangannya diletakkan di dada.
“Minta maaf” perintahnya, sambil menatap Fira, dengan tatapan aneh itu lagi. Fira tersenyum sinis mendengar kata-kata lelaki itu, lelaki yang menabraknya, lelaki yang ditolongnya dan tidak mengucapkan maaf ataupun terima akasih, malah memberi tahu namanya, Alan.
“Kamu saja tidak minta maaf dan tidak mengucapkan terimakasih” balas Fira. Alan mengerutkan keningnya, dia merasa sudah mengatakannya pada gadis yang ada di depannya ini. Alan memutar bola matanya, berpikir keras tentang satu hal, dia berbeda. “aku merasa dia bukan seperti Fara yang cerdas, gadis yang selalu bergelut dengan buku kimianya” kata Alan dalam hatinya.
Melihat tingkah Alan yang seperti itu, membuat Fira mengerti lelaki ini tidak tahu tentang dia dan Fara. Hal itu mungkin saja, mengingat Alan tidak peduli  dengan sekelilingnya.”Aku bukan Fara, aku Fira” kata Fira penuh penekanan dalam kata bukan.
Bukannya bertanya tapi mengerutkan kening lagi, membuat firaa merasa jengkel harus berhadapan dengan orang yang punya mulut tapi tidak memiliki kosa kata seperti ini.”kami kembar, sebaiknya jika kamu tidak tahu bertanya saja, dari pada kamu tersesat di jalan” kata Fira penuh sindiran.
“Maaf” kata Alan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, merasa malu dengan apa yang dikatakan Fira.
“Sebagai permintaan maaf dan terimakasih, kamu ajarin aku matimatika. Bukankah itu bidangmu,” kata Fira, meminta Alan tanpa sedikitpun keraguan. Alan mengerutkan keningnya lagi sambil melongos mendengar ucaan Fira, sangat berbeda dari Fara yang ditahunya.
“Bicara jangan hanya mengerutkan kening, bukankah aku sudah mengatakannya,” kata Fira menahan emosi dalam dirinya.
“Tidak” kata Alan, singkat, padat dan jelas. Membuat Fira melongos, hanya kata ‘Tidak’ yang keluar dari mulutnya.
”Sekarang,” perintah Fira sambil memperlihatkan buku matimatikanya..
*****
Sudah tiga jam mereka berkutat dengan buku matimatika, membuat mereka lupa pada waktu, tenggelam dalam kesenangan bermain dengan soal-soal yang tadinya tidak menarik bagi Fira menjadi permainan paling menarik setelah Alan mengajarinya bagaimana cara menaklukkan soal-soal itu.
”Terima kasih” kata Fira sambil membereskan bukunya. Fira mengingat lagi bagaimana semua ini bisa terjadi, dia harus mengorbankan rasa malunya, entahlah apa yang sedang dipikirkannya saat itu, mungkin dia sudah frustasi dengan kemampuannya sendiri sehigga dia membutuhkan orang lain untuk membantunya. Dan, kenapa Alan? Fira bahkan tidak tahu mengapa harus Alan, mungkin karena diakebetulan  ada di saat Fira sudah mulai mengalah dengan apa yang sudah diputuskannya.
“Iya” kata Alan singkat membuyarkan lamunan Fira. Fira terkikik mendengarnya, dia mengajungkan kedua jempolnya untuk Alan,”Hebat” kata Fira sambil menutup pintu ruang mading.
“Tidak sehebat Fara” kata Alan santai, dan kata itu membuat keceriaan Fira menguap ke angkasa, bahkan meskipun Alan tidak tahu mereka kembar, hanya nama Fara yang ditahunya.
Mereka sampai digerbang depan, tidak ada yang berbicara karena Fira memang sudah kehilangan minat unuk berbicara, sedangkan Alan sudah terbiasa merasakan kesunyian disetiap langkahnya, tanpa ditemani seorang teman. Mereka berpisah, dalam langkah yang berlawanan, Alan memang tidak membawa motor semenjak kejadian itu.
“Firaaa” panggil Alan tiba-tiba membuat Fira kaget
.”Ya?” kata Fira berbalik sambil tersenyum. Alan berlari ke arah Fira membeTiannya buku kimia dan matimatika, buku yang terlihat mulai usang. “Mungkin bisa membantumu” katanya sambil tersenyum, tersenyum untuk pertama kalinya dihadapan orang lain, senyum yang kecil tergores dalam lingkaran bibirnya.
”Pertama kalinya?”Tanya Fira sambil menunjuk bibir Alan. Mengerti dengan maksud Fira membuat Alan cepat-cepat melenyapkan senyum yang tidak disadarinya itu.
“Bisa sampaikan pesanku pada Fara” kata Alan sambil menatap Fira dengan penuh harap. “Fara lagi” batin Fira. “Apa?” kata Fira dengan suara dipaksakan untuk berbicara.”Selamat untuk kemenangannya” kata Alan
 Kini dia sudah memilki kosa kata yang banyak, namun kosa kata itu membuat Fira menjadi semakin terasing, mengapa hanya Fara yang berhak mendapatkan ucapan selamat, kenapa tidak dengan dirinya. Mmengingat itu, membuat Fira ingin menangis, tapi coba ditahannya. “Tentu” kata Fira akhirna
 “Kamu sudah mempunyai kosa kata yang banyak” kata Fira mengalihkan topic pembicaraan, mencoba mengeluarkan sebuah candaan untuk menghibur dirinya. Alan menggaruk kepalanya, merasa malu dengan kata-kata Fira. “Dekatkan diri pada yang lain, selama waktu masih memberi kesempatan” nasihat Fira. Alan mengangguk mendengarnya, dalam hatinya dia mengagumi gadis ini dengan kata-katanya yang bijaksana.
“Apa aku bisa memulainya dengan kalian?” tanya Alan dengan hati-hati. “Tentu saja” jawab Fira, dia mengerti dengan kata kalian, dia dan Fara.  “kenapa tidak, Alan bia berteman dengan siapapun, tapi jika dia ingin memulainya dari kami, aku akan membanatunya, karena persahabatan bukan dijalani bersama orang tertentu saja, tapi sahabat adalah mereka yang menginginkan kita, ada satu sama lain di saat semua orang tidak ada, mengerti bagaimana diri kita.” Batin Fira.  Mereka berdua tersenyum, senyum tanda persahabatan dimulai, senyum sebagai lambng ikatan diantara mereka.
*****
Fara membolak-balik buku kimianya, mencari soal-soal tersulit yang ada, tapi soal tersulit kimiapun tidak mampu mengalihkan pikirannya dari masalah yang sedang berkecambuk dalam otaknya. Fara menutup buku itu lagi, kemudian mengambil buku fisikanya, mencoba mengerjakan prnya, tapi tetap saja masalah itu mengganggu pikirannya. Dia membanting pensilnya kelantai hingga patah, bahkan kemarahan seperti ini tak mengurangi sedikitpun beban dirinya. Dia menelungkupkan wajahnya, menangis sejadi-jadinya, menyalahkan takdir tentang dirinya, bagaimana bisa hidupnya hancur karena masalh ini. Bagaimana dia bisa tersenyum lagi menghadapi dunia, bahkan apapun yang dilakukannya selalu dibayangi oleh kata-kata itu.
Fara berdiri dari kursi belajarnya, berteriak sejadi-jadinya, mengeluarkan sesak di dadanya. Dia menghempaskan tubuhnya dikasurnya yang berwarna biru itu, menatap tempat tidur di samping tempat tidurnya membuat air mata Fara semakn deras, pemiliknya belum pulang.
Suasana rumah yang sepi membuat Fara bebas menuangkan masalah itu dalam bentuk apapun, tapi  yang bisa dilakukannya hanyalah menangis, dia tidak bisa menjadi Fara yang tabah menghadapinya. “Fir, bukaknkah kamu adalah sandaranku, bukankah kamu selalu ada disaat aku tersakiti, tapi sekarang kamulah orang yang menyakitiku, kemana aku harus berlari untuk membagi beban ini. Bukankah hanya tanganmu yang mampu menghapus air mataku, tapi sekarang tangnmu bahkan tidak dapat menjangkau ku. Aku memang pernah memikirkan semua ini terjadi, tapi aku tidak pernah tahu rasa sakitnya ini, saudara sendiri membencimu adalah hal yang paling menyakitkan ynag pernah kurasakan.” Kata Fira sambil menatap foto Fira dan dirinya yang sedang tersenyum, air matanya terus mengalir, hanya itu yang dapat dilakukannya saat ini, menagis dalam kesediriannya, tanpa ada uluran tangan seperti yang diharapkannya.
Fara menatap langt-langit kamarnya, langit-langit kamar itu seperti sebuah bioskop yang menayangkan dirinya dan Fara tentang kejadian tadi siang, seolah kata itu menggema lagi dalam teinganya, terbaca dengan jelas dalam langit kamarnya. “Dimana-mana musuh itu tidak pernah bersama, jika mereka bersama salah satu dari mereka akan dirugikan, karena musuh yang jeli akan dengan mudah menebak taktik serangan musuh dan tidak ada musuh yang saling membantu dalam hal apapun itu”.
 “Musuh” gumam Fara pelan. Kata itu terasa pahit ditenggorokannya, dari mana Fira mendapatkan kata yang kejam itu untuk menyebut dirinya, saudara kembarnya.
Fara mendengar gangang pintu terbuka, dia menghusap air matanya dengan cepat, tidak ingin Fira atau siapapun itu melihatnya dalam keadaan seperti ini.
“Selamat untuk kemenanganmu, pesan dari Alan dan juga dia ingin berteman denganmu”  kata Fira langsung pada inti pembicaraan tanpa membukanya dengan kata pengantar. Dia duduk dimeja belajarnya, membuka buku fisika, tenggelam di dalamnya, bersama pikirannya.
Fara terkejut mendengar perkataan Fira, matanya yang bengkak ditutupnya dengan tangan. Dia terkejut bukan karena pesan dari Alan, tapi dia terkejut karena nada bicara Fira yang terdengar marah. Fara tahu apa yang dipikirkan Fira, tapi apa yang dipikrkan Fira itu tidak benar, Fara ingat tentang semuanya, semua yang diceritakan Fira, dan dia tidak mungkin melakukan hal bodoh seperti yang dipkirkan Fira.
“Fir, ini tidak seperti yang kamu bayangin. Aku dan Alan bahkan tidak pernah berbicara. Kata Fara bangkit dari tempat tidurnya, dia mencoba menjelaskannya dengan hati-hati.
“Memangnya apa peduliku tentang kalian, hanya saja aku kecewa dengan kakak. Orang yang paling aku percaya menyembunyikan semuanya dariku” balas Fira dengan nada yang sinis, dia tetap menatap buku fisikanya.
“Waktu itu, aku ingin memberi tahumu namanya. Tapi, setelah aku pikir kamu bisa mencarinya sendiri” jelas Fara dan dia mulai terpanjing emosinya, karena Fira tidak pernah beerbicara tanpa memandang diirinya. Tapi, apa yang dilakukannya saat ini benar-benar menyakiti hati Fara. Dia menganggap Fara seperti orang yang tidak ada, berbicara tanpa menatap dirinya adalah hal yang paling tidak disukainya dan Fira tahu tentang itu.
“Aku memang tidak membutuhkan kakak untuk mebimbingku dalam segala hal, karena meskipun aku melakukan sesuatu itu tidak pernah dihargai oleh orang lain. Aku sdah tenggelam dalam sinar terang seorang gadis bernama Fara. Membuatku tidak ingin melanjutkan pilihanku, membuatku merasa terasingkan hanya karena apa yang aku sukai tidak dianggap. Itu adalah hal yang paling menyakitkanku.” Kata Fira, kini air mata yang ditahannya sejak tadi mengalir dengan derasnya.
Fara terdiam, mulutnya tidak dapat mengatakan satu katapun, Fara menangis lagi mendengar kata itu, bahkan kata itu manyakiti hatinya. Dia tidak ingin menjadi seperti ini, dia ingin terlahir dengan Fira dalam tingkat kedcerdasan yang seimbang. Jika memang seperti ini, lebih baik dia tidak dilahirkan dalam waktu yang sama. Dia tidak ingin membuat Fira merasakan semua ini.  Tapi saat ini mereka saling menyakiti satu sma lain.
"Dalam keluarga saja aku terasingkan. kemana aku pergi?, saat keluarga kecilku mulai menyakitiku," emosi Fira meluap. Ditatapnya Fara yang mematung ditempatnya.
"Kakak merasa sakit?, aku bahkan jauh lebih sakit. Kakak menderita?, aku bahkan jauh lebih menderita. Kakak dipuja semua orang, aku bahkan dihina semua orang. Kita tidak pernah  satu jalan, selalu berbanding terbalik dalam wajah yang sama," kata Fira mengingat kembali hinaan yang selalu diterimanya.
*****

BAYANGAN YANG TERKELUPAS

Aku bukan lagi seonggok bayangan tak berarti
Sudah ku bentangkan sayap di angkasa sana
Bersinar bersama sinar Kebesaran Sang Ilahi
Dia menuntun jalanku
MembeTianku sebuah kesempatan, sebuah penyelesaian
Dia mendekapku dalam bimbingan-Nya
Dalam jalan yang sudah ditakdirkannya

Sudah dua minggu semenjak semuanya terjadi, terasa cepat dalam ingatan mereka. Fira yang terfokus pada tujuannya untuk mengalahkan sinar Fara. Sedangkan,  Fara yang juga terpancing egonya, mengikuti alur permainan Fira. Saat Fira menyerang dia ikut menyerang.
Fira menatap tajam pada soal kimia yang mengejeknya, dia merasa sudah mengerti dengan materi ini, tapi mengapa ketika dia mengerjakan soal latihan, dia selalu menemukan jalan buntu. Fira megalihkan pandangannya dari soal pada seorang anak laki-laki yang sedang bergelut dengan buku matimatikanya, begitu focus sampai Fira tidak tega untuk mengganggunya, tapi dia butuh bantuan.
“Lan” panggil Fira sambil memperlihatkan bukunya dengan tampang memelas. Alan menatapnya dengan tatapannya yang datar, meskipun mereka sudah berteman, sikap Alan tetap seperti itu, Alan yang diam ketika tidak diajak berbicara.
“Hem” jawab Alan, sambil mengambil buku Fira dan menjelaskannya dengan rinci membuat Fira manggut manggut.
Mereka bertiga memang sudah berteman, sejak Alan meminta berteman waktu itu, tapi meskipun begitu mereka tidak pernahbersama, Alan dan Fara, Alan dan Fira. Mereka seperti sebuah segitiga yang memiliki satu tiang untuk dua orang, tapi Alan tidak pernah mengusik mengapa Fara dan Fira tidak bersama, dia hanya ingin memberi mereka kesempatan untuk menyelesaikan maslah mereka berdua.
 "Mengapa kamu ketakutan waktu itu?" Tanya Fira tiba-tiba membuat alan mengangkat kepalanya, menghentikan aktivitasnya. Dia menatap Fira, menyelidikinya apa gadis ini mampu menyimpan rahasianya.
"Aku pernah mengalami kecelakaan bersama sahabatku, Dika. Dia.. kata alan menggantung kata-katanya, setetes air matanya jatuh, pikirannya menerawang mengingat masa lalu yang kelam.
"Dia ke tempat Allah begitu cepat. Saat itu, aku mebutuhkan keluargaku untuk menyemangatiku, tapi mereka menperlakukanku sebagai seorang pembunuh. Kemana aku pergi, ketika keluargaku menganggapku seperti itu. Bahkan, aku tidak ingin semua itu terjadi," kata alan, matanya memandang kosong pada buku yang tertumpuk di rak.
Air mata Fira menetes, cerita hidup alan tidak berbeda jauh dengan cerita hidupnya.
"Maaf, tidak seharusnya aku bertanya," kata Fira.
"Tidak apa-apa. aku juga membutuhkan orang lain untuk membaginya, bukan bersama tumpukan buku yang membuatku menjauhi semua orang," kata Alan.
*****
Hari pertama hari yang menegangkan untuk memulai ulangan semester, ketegangan itu dibumbui dengan pelajarannya yang membuat semua siswa 75 yogyakarta merasa tertekan, fisika dan matimatika. Semua siswa menggerutu tentang jadwal ini, mengapa mata pelajaran perhitungan disatukan, rumus-rumus yang mereka sudah hapalkan tadi malam bercampur menjadi satu. Jam pertama fisika, tapi mengapa ada rumus matimatika yang terselip dalam rumus fisika yang mereka tulis.
Fara menatap semua teman-teman kelasnya, tidak ada muka ceria satupun yang dia temukan, sudah satu jam mereka semua bergelut dengan soal fisika yang sulitnya seperti oloimpiade. Sekali lagi Fara mentap lembar jawabannya, merasa yakin dia melangkahkan kakinya kedepan, dia merasa kefanasan didalam kelas, dia berhenti disamping Fira, menatap saudara kembarnya yang sudah dua minggu tidak berbicara dengannya. Akhirnya Fara berjalan, tapi saat kakinya melangkah dia mendengar suara Fira “Aku tidak butuh, karena aku juga bisa,” kata itu membuat Fara tersenyum sinis."Tidak sebaik yang aku lakukan," balasnya.
“Selalu yang pertama” kata Ibu Mia yang mengawasi anak keas XII.IPA3, ketika Fara mengmpulkan. Fira tersenyum sinis mendengarnya.
*****
Pelajaran terakhir seharusnya menjadi pelajaran pentup yang menyenangkan tapi tidak dengan semua siswa sma 48, mereka semua menggerutu pada makanan penutup yang membuat mereka kenyang hanya dengan melihatnya, kimia dan biologi.
 Bagaimana mungkin guru yang membuat jadwal begitu sadis terhadap anak siswanya, menyiksa mereka secara berlahan menggunakan dua pelajaran yang memiliki segudang materi itu.
Anak XII. IPA3 tersenyum pada Fara sebelum bel masuk berbunyi, mereka berharap senyum memelas mereka meluluhkan hati Fara untuk berbagi dengan mereka, Fara hanya tertawa melihat tingkah teman-temannya. Fara beranggapan bahwa ini semua untuk masa depan mereka, jadi mereka sendiri yang harus menyelesaikannya. Tidak ada yang dapat saling membantu, kecuali diri sendiri.
Fira menatap Fara yang sedang tertawa bersama anak-anak yang lain diluar, sepertinya dia sudah menemukan banyak orang untuk menggantikannya dan  lagi-lagi Fira merasa keberdaannya tidak dianggap bahkan oleh teman sekelasnya sendiri, diacuhkan membuat Fira semakin merasa terasing, “apa semua manusia seperti itu, melihat orang lain saat membutuhkan atau memang aku tidak pernah terlihat oleh sinarnya, aku juga bisa,”batin Fira.
*****
Hari senin selalu menjadi hari yang ibenci Fira, karena dia tahu selalu ada kejutan buruk pada hari senin. Dia masih trauma dengan kejutan waktu itu, kejutan yang membuatnya tersakiti. Bahkan, kejutan hari ini sudah diketahui oleh semua orang, pengumuman hasil semester minggu kemarin akan dibacakan, sebuah tradisi yang sudah berkembang di sekolah mereka, saat yang berharga untuk mereka yang jenius dan saat terburuk bagi mereka yang kurang, adalah perbedaan yang paling dibenci Fira.
Suara mc itu membuat semua orang tegang, tapi tidak dengan Fira, semua sudah jelas dalam mekanisme kerja otaknya, Faralah yang akan selalu didepan setiap hari seninnya, karena itu Fira mengcuhkan apa yang akan dikatakan mc itu.
 “Juara satu nasional lomba Menulis Karya Ilmiah atas nama Fira amaliya”. Semuanya berteriak, tapi tidak dengan Fira.
“Kenapa harus berteriak, bukankah selalu Fara” katanya pada teman sekelasnya. Tapi, tindakan yang tidak pernah disangka terjadi, semua teman-temannya mendorongnya kedepan, membuat Fira merasa malu.
“Sekali lagi, kepada Fira amaliya harap maju kedepan “kata mc itu lagi. Fira heran, memangnya kapan dia mengikuti sebuah lomba karya ilmiah, Fira mencari seseorang dibarisan para guru, dilihatnya Pak Jihad sedang tersenyum padanya. Hanya dengan senyuman itu Fira tahu ini semua ulah Pak Jihad.
Fira mengenakan mendali emas yang didapatkannya, mungkin ini kesempatan yang dibeTian Tuhan untuk menyampaikan semunya.
 “Terima kasih kepada Pak Jihad yang telah mnegirim laporan penelitian saya. Disini saya perwakilan dari mereka yang tidak dianggap penting di sekolah ini, dalam pikiran saya ada dua hal yang memang harus ada di sekolah itu akademik dan non akademk, keduanya haruslah seimbang. Bukan hanya akademik yang bisa memajukan nama sekolah, tapi kami juga yang bergelut di non-akademik mampu melakukannya. Jadi, saya berharap sekolah ataupun orang-orang yang ada di dalamnya mengubah tentang itu, karena kami juga ingin dianggap, dihargai, seperti mereka yang jenius. Di mata Allah saja semua mahkluk yang ada di dunia ini sama, tidak peduli dia sepintar apapun, yang membedakan umat-umatnya hanyalah keimanan. Tapi, bagaimana bisa kita yang hanya seorang manusia biasa melakukan hal seperti itu. Bukankah kita diciptakan berbeda-beda oleh-Nya , memiliki kekurangan masing-masing. Tidak ada manusia yang sempurna. Karena itu saya mohon untuk menjadikan kami setara, mendapat perlakuan yang sama, membimbing kami dengan bijaksana, menjadi guru yang sesungguhnya. Teri makasih, " kata Fira mengakhiri pidatonya.
Tempuk tangan yang meriah mengiringi berakhirnya kata sambutan terima kasih dari Fira, semua guru menyalaminya, bangga padanya karena berani mengungkapkan sesuatu yang memang menjadi masalah tanda Tanya di sekolah mereka.
Pak jihad menitikkan air matanya, terharu dengan kata-kata yang disampaikan Fira. bangga melihat keberaniannya. Sinar kecilnya sudah membesar, menerangi kekelaman yang ada.
Fara menatap Fira yang ada di tengah lapangan. Dia tersenyum, buliran bening itu membasahi pipinya. Dia merasa malu selama ini sudah membanggakan dirinya, tenggelam dalam kepuasannya yang sementara.
*****
Semuanya kembali dalam perputaran yang seharusnya, menapaki jalan yang seharusnya. Menjadikan semua perbedaan yang ada menjadi suatu motivasi, suatu rahmat dari Tuhan untuk menyatukan yang berbeda menjadi satu dalam ikatan sang Ilahi. Menjadikan perbedaan itu sebagi jembatan kecil yang akan menghubungkan mereka untuk sampai pada satu tujuan.


THE END



                                                                                                                                 

0 Komentar