UNKNOWN GIRL
-Rabiatul
Adawiyah-
Jangan
pernah sekalipun kamu berani mengusik hidupku
Aku
manusia tanpa perasaan yang tak akan pernah merasakan keberadaannmu
Sekuat
apapun kamu mencoba masuk dalam diriku
Sekuat
itu pula aku akan menutup pintu hatiku
Kamu
jangan pernah menjadi pahlawan kesiangan!
Mencoba
merubahku dengan senyum palsu yang selalu terukir dibibrmu
aku
sebongkah es yang tak akan melelah karena sinar kecilmu
menyingkir!
Sebelum kamu terluka karena laki-laki sepertiku
Suara itu menggelegar mengguncang
bumi, dikarenakan awan yang bermuatan listrik tengah bergesekan dengan angkasa.
Electron-elektron itu berloncatan membuat suaranya semakin mengerikan di
telinga, percikan bunga apinya bagaikan kilatan cahaya penerang malam. Hujan
masih betahnya mengguyur bumi, membuat semua orang memutar berbagai macam
memori dalam bioskopnya.
Seorang
gadis tengah berjalan di antara hujan yang terus berjatuhan. Tak ia pedulikan
suara petir yang tengah bersahut-sahutan seperti sebuah nyanyian. Hatinya
terlalu perih menahan semua beban, memoar luka tengah bergoyang dalam hatinya.
Membuatnya terpuruk, tak dapat merasakan dingin yang menusuk tulangnya.
"Aku
ingin sepertimu, mengalir di setiap waktu berdetik. Mengikuti alur kehidupan
tanpa menyakiti siapapun…" ucap gadis itu.
Air
matanya berjatuhan bercampur dengan hujan menjadi satu. Dia memandang jalanan
yang sepi, bola mata hitamnya menangkap sesosok laki-laki bertubuh tinggi
tengah berjalan tanpa arah seperti dirinya, tatapan laki-laki itu kosong. Dia
terus berjalan mengikuti nada hujan yang semakin deras, matanya yang bening itu
memancarkan kesepian yang mendalam.
"Keberadaanmu
bagikan obat penyembuh bagi kami" kata gadis itu pada hujan. Matanya terus
memandang laki-laki yang tengah melewatinya dengan kepala menengadah.
***
Arash
menatap kosong pada kertas putih di tangan kirinya, tangan
kanannya memutar-mutar sebuah pensil. Dia hembuskan napasnya, memandang
sekeliling, mencari sebuah obyek untuk dilukisnya. Dia menyipitkan matanya,
mencoba mengingat laki-laki yang duduk tak jauh darinya. Lagi-lagi Arash
melihat sinar kesepian dari mata bening itu..
"Dia…"
kata Arash. Tangannya mulai menggoreskan wajah sepi laki-laki itu. Bibirnya
yang selalu putih tanpa senyum. Tanpa semangat hidup membuat Arash merasa
tertarik untuk menjadikannya obyek lukis baru, bukan hanya sebuah keinginan
tapi ada rasa yang berbeda yang tengah berdesir di hatinya.
"Rash,"
panggil seseorang membuat Arash mengalihkan pandangannya pada lukisan yang
dibuatnya. Arash tersenyum melihat gadis itu.
"Kamu
ke mana tadi malam? Aku telpon gak dijawab" kata gadis itu sambil duduk di
dakat Arash. Dia memajukan bibirnya pertanda marah.
Arash
hanya tersenyum melihat tingkah sahabatnya itu.
"Jangan
bilang kamu.. ouh" kata gadis itu sambil memegang kepalanya.
"Ya,
La. Hujan telah merayuku untuk menemaninya" jawab Arash
"
Arash. Kamu seharusnya menjaga.."
"Aku
tahu Qilla, tapi jangan hanya karena hal seperti itu aku dengan mudahnya
melupakan hujan. Hujan membuatku merasa lebih baik" potong Arash
"Dan
hujan yang akan membuatmu terhapus" sambung Qilla.
Arash
menatap sahabatnya, meminta sebuah dukungan. Menjadi penyemangat dalam
hidupnya.
"Baiklah"
kata Qilla akhirnya. Berdebat dengan Arash membuat marah yang tertidur dalam
dirinya selalu terbangun
"Apa
itu?" kata Qilla mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Dia tidak ingin
berdebat dengan sahabtnya hari ini. Dia hanya ingin mencoba memahami sahabtnya
saat ini.
"Entahlah.
Hanya seorang laki-laki kesepian yang berjalan tanpa arah dibawah hujan"
jawab Arash
Qilla
tertawa, sahabatnya ini memang bukan orang biasa. Kata-katanya selalu membuat Qilla
tak mengerti, karena itu dia tak pernah tahu seperti apa sifat Arash yang sesungguhnya.
Mencoba tegar tapi dia rapuh, mencoba tertawa padahal dia menangis. Selalu
sifat itu yang ditunjukkannya. Qilla mengambil gambar yang dibuat Arash,
menatapnya lekat-lekat.
"Tristan,
cowok tak bersuara tapi sekali berkata menusuk hati." kata Qilla sambil
terkekeh.
Mau
tak mau Arash tersenyum mendengar perkataan Qilla, sahabatnya ini selalu
membuatnya merasa lebih baik.
"Benarkah? Akan kubuat dia bersuara
dengan kata-kata yang manis" jawab Arash sambil tertawa.
***
Arash
berjalan melewati lapangan basket. Matanya menatap setiap langkah kakinya. Dia
berhenti, sebuah buku menghalangi jalannya. Dia menunduk mengambil buku
berwarna hitam itu. Dibukanya buku itu, untuk mencari nama pemiliknya. Arash
mengernyitkan dahinya saat membaca nama pemiliknya tertulis rapi di lembar
pertama.
TRISTAN
HOTARU
Arash
membuka lembar kedua, hanya tertulis sebuah kata 'Never Die' membuat dia
semakin tertarik untuk membuka lembar selanjutnya. Tapi, saat Arash akan
membuka lembar ketiga sebuah tangan menepis tangannya membuat buku itu
terjatuh.
Arash
menatap cowok yang pernah digambarnya itu, wajah yang semakin kesepian dan
terpuruk membuat dia ingin tahu seperti apa cowok ini.
Laki-laki
itu pergi setelah mengambil bukunya, meninggalkan Arash yang masih tak percaya
dengan sikapnya. Tanpa ada ucapan terimakasih. Arash mengejar laki-laki itu,
menyamakan langkahnya.
"Hey,
tidak sopan." Kata Arash membuat laki-laki itu menghentikan langkahnya.
"Jangan
pernah kamu menyentuh hidupku sedikitpun" kata Tristan
"Sombong.
Aku bahkan tak mampu menyentuh hidupku, bagaimana aku bisa menyentuh hidupmu.
Terima kasih adalah kata yang singkat dan mudah diucapkan " balas Arash
Tristan
tak memperdulikan kata-kata Arash. Dia pergi meninggalkan Arash, kali ini Arash
tak mengejarnya. Dia sudah cukup tahu seperti apa laki-laki itu.
***
Arash
menelusuri setiap lorong rumah sakit, bau khas dari berbagai macam obat membuat
Arash merasa pusing. Tapi, bagaimanapun juga rumah sakit ini sudah menjadi
rumah kedua bagi Arash. Dia duduk di bangku taman, bermain dengan kertas dan
pensilnya. Menggambar berbagai macam obyek yang ada di hadapannya,
pasien-pasien yang sedang berjuang mempertahankan hidupnya.
"Sudah
lama?" Tanya seorang laki-laki berkumis, buliran bening itu jatuh dari
dahinya. Matanya menyiratkan lelah yang berlebihan.
"Gak
kok, Pa" jawab Arash manja. Hanya laki-laki ini yang dimiliki Arash,
sesosok ibu yang diharapkan selalu ada disampingnya sudah lama pergi
meninggalkannya, sejak lima tahun lalu.
"Kamu
sudah makan?" Tanya papanya penuh perhatian. Dia mengelus rambut anak
semata wayangnya itu.
Arash
mengangguk sambil tersenyum. Dia menatap bangga pada papanya, laki-laki yang
selalu ada untuknya, kapanpun itu. Laki-laki yang selalu menjaganya, memberikan
segalanya, mempertaruhkan hidupnya. Tiba-tiba saja air mata Arash terjatuh,
semua kenangan bersama laki-laki berkumis ini berputar dalam memori otaknya.
Papanya
menarik Arash dalam pelukkannya, menenangkan gadis kecilnya. Ikut merasakan apa
yang dirasakan gadis ini. kesepian tanpa sosok ibu membuat papa Arash memiliki
peran ganda dalam hidup Arash.
***
Bunga-bunga
itu tersenyum, mengantarkan matahari kembali ke peraduannya. Nampak indah
dengan cahayanya yang damai, membuat ketenangan dalam diri seorang laki-laki
yang tengah memandangnya penuh kekaguman.
Dia
mengangkat tangan kanannya yang memegang sebuah polpen hitam, mengukir namanya
di angkasa. Membebaskan dirinya dari pikiran buruknya, ingin terbang menembus
angkasa untuk bertemu dengan matahari yang dikaguminya.
Mengukir diriku dalam sebuah angan yang tak
dapat ku capai
Masihkah aku bernapas saat cahaya
itu terbit esok
Bagaimana aku bertahan dalam
kesendirian dan keputus asaan
Berharap Tuhan masih memberikanku
kesempatan
Kata-kata
itu terus tertuang dalam buku hitam yang selalu dibawanya. Setiap matahari
kembali beristirahat, laki-laki itu selalu mengukir kata dalam kertas putih
miliknya.
"Hai,
Tristan…" sapa seseorang membuat Tristan mengehentikan tangannya yang
tengah menari di atas kertas. Dia mengangkat kepalanya, menatap sesaat gadis
yang tengah tersenyum padanya, kemudian dia kembali menatap bukunya. Buku yang
selalu bersamanya.
"Kamu
nulis apa?" Tanya gadis itu tanpa memperdulikan sikap Tristan yang tak
acuh. Gadis itu duduk di samping Tristan, terus berbicara meskipun Tristan
hanya terdiam seolah tak mendengar apa yang dikatakan gadis itu.
"pergi..!"
bentak Tristan. Dia mulai bosan mendengar suara gadis itu. Telinganya sudah
menolak untuk mendengar semua ocehan gadis yang tak dikenalnya.
"Arash,
penemu bukumu." Kata gadis itu sambil mengulurkan tangannya pada Tristan
Tristan
pergi tanpa memperdulikan uluran tangan itu. Sebelum meninggalkan taman sekolah
dia berbalik, menatap arash dan berkata "aku tak membutuhkan siapa pun,
pergi sebelum kamu terluka dan pergi ketika aku menyuruhmu untuk pergi".
"aku
tidak takut terluka, karena Tuhan akan datang sebelum luka itu datang"
jawab arash. Dia menunduk, mengingat satu hal dalam hidupnya. Terlalu singkat
dia berada di dunia ini, karena tuhan terlalu menyayanginya.
****
"La,
aku ikut ke camping sanggar seni. Papa udah ngizinin" kata arash yang
duduk disamping Qilla yang tengah bergelut dengan komik one piecenya.
Qilla
berdiri menghempaskan komiknya di atas meja. Dia menolah, menatap arash tak
percaya. "Rash, kamu sadar apa yang baru saja kamu katakana?" Tanya
Qilla dengan kemarahan yang tertahan. Dia tak habis pikir melihat sahabatnya
yang keras kepala ini.
"Ya
La, aku ingin melukis alam ini dalam pandangan nyataku. Sebagai sebuah bukti
aku pernah melihat mereka,memandang kagum.."
"Ini
di daerah pegunungan, kamu sadar gak sih. Harusnya kamu.."
"Aku
ngerti La. Tapi, ini pilihanku" kata Arash memotong kalimat sahabtnya
Lagi-lagi Qilla mengalah. Menuruti
keinginan Arash yang tak dapat dihentikannya. Sebuah keinginan yang akan
membunuhnya.
……………
Semuanya
berjalan tanpa dirancang, semuanya terjadi tanpa sebuah persiapan. Terjadi
begitu cepat. Tanpa sebuah proses. hanya karena sebuah kehendak yang menuntun
takdir ke jalan yang seharusnya.
Qilla
menatap lemah sahabtnya yang berbaring tak berdaya, keinginan terakhirnya
bahkan belum terwujud. Dunia yang ingin di abadikannya pupus seketika. Gadis
itu terlalu baik untuk pergi sendiri, jika bisa Qilla ingin menemaninya,
merasakan sebagian rasa sakitnya.
Qilla
menatap lemah pada tangan yang menyuruhnya untuk mendekat, di liriknya
'malaikat' penjaga gadis baik itu. Papanya. dan papa Arash menangguk sambil
tersenyum. Qilla berjalan pelan, mencoba tersenyum tapi air matanya jatuh
begitu saja. Mengalir tanpa diminta.
Tangan
mungil tak bertenaga Arash menghapusnya, menarik Qilla dalam pelukannya.
Membisikkan sesuatu yang tak dapat dimengertinya. Kata-kata yang membuat hati
Qilla teriris seketika, membuat kepalanya berputar mencari sebuah alasan 'gadis
ini' mengatakan hal tak masuk akal diujung hidupnya.
"….."
***
Qilla
menatap tajam bola orange yang menggelinding ke arahnya. Dia ingin sekali
melempar pemiliknya, namun dia tak berdaya karena setiap melihat pemilik bola
itu wajah Arash selalu berputar dalam otaknya.
"bolanya.."
Suara
itu membuat Qilla mengangkat kepalanya berlahan, air matnya jatuh tanpa sebab.
Di tatapnya 'orang' yang ada di hadapanya penuh amarah. Detik ini juga Qilla
ingin mengeluarkan semua pertanyaan yang tak dimengertinya, meminta sebuah
jawaban yang masuk akal.
"Kenapa
di detik terakhirnya dia mengingatmu. Mengatakan hal bodoh yang tak ku
mengerti. Apa yang kamu lakukan padanya? Hah?" teriak Qilla. 'orang' yang
ada di hadapannya diam tak mengerti maksud gadis ini.
"Dia
merelakan dirinya untukmu. Siapa kamu sebenrnya? Sejak kapan kamu mengenalnya?"
Tanya Qilla lagi, bertubi-tubi pertanyaan dilontarkannya. Dia tak peduli dengan
wajah bingung dihadapanya yang seolah berkata 'mungkinkah kamu marah hanya
karena bola basket ini'. Qilla menangis, tak sanggup lagi menahan sesak di
dadanya.
"Heyy.
Kenapa denganmu?" Tanya 'orang' itu sambil mengguncang tubuh Qilla.
"aku minta maaf. Bolanya tak mengenaimu, kan? Bola ini hanya menggelinding
ke arahmu. Apa yang salah? Tanyanya tak mengerti
"Kamu
udah ke pemakamannya?" Tanya Qilla, sama sekali tak nyambung dengan
pertanyaan 'orang itu'. Orang itu hanya mengangkat alis tanda tak mengerti.
"Tristan
bodoh!" umpat Qilla
"Kamu
pikir siapa yang ngebuat kamu bisa main basket lagi? Hah? Jantung yang berdetak
dalam tubuhmu itu milik sahabatku, ARASHNESYA SALSABILLA. Di ujung hidupnya dia
mengingatmu". Teriak Qilla tepat di wajah Tristan. Qilla menarik napasnya,
mengingat kata terakhir yang dibisikkan Arash padanya "berikan Tristan jantungku". kemudian, Qilla berlalu tanpa memperdulikan
Tristan dengan muka pucatnya
Tristan
jatuh tak berdaya, inikah jawaban dari semua pertanyaannya selama ini. tentang
pemilik jantung yang secara sukarela memberikannya. Menyelamatkan hidupnya yang
berada di ujung tanduk, mengembalikan mimpi Tristan lagi. Tristan memegang
dadanya. Merasakan detak jantungnya. Jantung milik gadis yang selalu
dibentaknya, gadis yang selalu disakitinya dengan kata-katanya yang
keterlaluan, gadis yang menemukan bukunya, gadis yang selalu tersenyum padanya
meskipun dia tak mengenalnya. Gadis yang selalu ceria.
Air
mata Tristan mengalir. Dia berlari dengan cepat, terus berlari tanpa peduli dengan
tatapan siswa lain. Dia berlari semakin cepat, memori otaknya sedang memutarkan
tentang 'malaikat penyelamatnya'. Tristan menyeruak kerumunan orang-orang yang
menghalangi jalannya, berbagai macam umpatan menerjangnya namun, tak dia
pedulikan.
…….
Tristan
berhenti. Dia menatap gudukan berwarna
merah bata dihadapannya, terukir jelas nama pemilik jantung yang ada
ditubuhnya. Tristan berjongkok, memegang nisan Arash lemah. Gadis yang tak
mengenalnya memberikan salah satu organ tubuhnya
"Kenapa
aku Rash? Aku tak pantas menerima semua ini. Aku egois, tak pernah peduli
dengan sekelilingku. Aku bahkan tak menerima uluran tanganmu" kata
Tristan. Air matanya jatuh di pusaran
Arash.
Hening.
Tristan tak tahu harus berkata apa lagi. Dia hanya memandang pusaran Arash lama.
----
"Makasih.
Semua tentangmu yang singkat akan aku simpan di hatiku selamanya. Buakan
sebagai pertanda terima kasihku tapi sebagai tanda Cinta yang selalu
membayangiku. Bayangan yang akan selalu mengikuti langkahku. Akan ku tunjukkan padamu dunia yang tak
pernah kamu lihat, dunia yang diciptakan Tuhan dengan luar biasa. Akan aku
getarkan selalu jantung milikmu ARASHNESYA SALSABILLA" kata Tristan sambil
tersenyum. Tersenyum pada 'peri kecil kiriman Tuhan'
1 Komentar
lopp💗
BalasHapus