Musim berganti, dingin yang menusuk tulang di musim dingin menghangat perlahan. Musim semi datang, menyapa bersama angin yang membawa harum bermekarnya bunga-bunga, daun yang tumbuh menghijau, dan matahari kembali dari peraduannya, memamerkan sinarnya melalui bilik jendela di pagi hari. Pemandangan musim semi membawa perasaan tenang, hijau sejauh mata memandang. Ada rasa haru yang terselip, menyaksikan bagaimana ajaibnya Tuhan mengatur alam semesta.

Tahun ini musim semi keduaku, perasaan takjub dan girang pun masih sama saat pertama kali bertemu. Namun, di sana ada perasaan takut yang menemani. Ada benang kusut yang tak mampu terurai satu persatu dalam pikiran. Harusnya aku sedang sibuk mengerjakan tesis untuk menyelesaikan studiku, nyatanya aku sering menemukan diri dalam khawatir atas banyak hal. 

Waktu bergerak cepat, realita mengejar tak memberi ruang, klimaks ceritaku satu persatu berdatangan, menumpuk membebani pikiran. Akhir-akhir ini aku terjaga hingga jarum jam berdetak mendekati angka tiga. Pikiranku mulai mengabsen tiap topik tentang hidup setelah ini. Merenungi banyak rencana dan kemungkinan-kemungkinan yang tak pasti. Tiap usaha berguguran, menyisakan perasaan gamang dan tak percaya diri. 

Di musim semi kadang hujan menyapa, angin sepoi-sepoi yang menyejukkan pernah sedingin salju di musim dingin. Sinar matahari tak selalu membawa hangat, angin yang terlalu kencang menjadi penyebab. Sering aku salah memprediksi keadaan, mengenakan jaket yang terlalu tipis dan membuatku menggigil di perjalanan menuju kampus. 


Pikiranku pun begitu, hal-hal sederhana menjadi rumit. Segala hal bercampur menjadi satu. Hariku berjalan lambat, otakku terus menulis banyak skenario, menerka-menerka akhir cerita dari fase hidupku saat ini. Aku ingin akhir yang sudah direncanakan, namun satu per satu jalan yang ku tempuh untuk mewujudkannya buntu. Entah, Tuhan mungkin memiliki jalan yang jauh lebih baik dan tak pernah ku duga. 

Aku percaya, semuanya butuh proses dan akan selesai satu per satu pada waktunya. Aku memahami konsep itu dengan baik, hanya saja fakta-fakta terus menghantamku, waktuku pun kian memendek. Aku dikejar prasangka-prasangka sendiri. Aku takut untuk menghadapi apa yang disuguhkan hidup setelah ini. Aku mengklaim paling hebat bersikap tak peduli dengan pandangan manusia lain. Namun dengan mudahnya diperdaya pikiran sendiri. Aku dan pikiranku memang sahabat karib, tak terpisahkan. 

Menganalisis hidup sendiri memang ada baik dan buruknya. Saat terbiasa merencanakan dan mengevaluasi apa yang sudah terjadi, hidup terasa lebih bermakna, memiliki arah dan tujuan yang jelas. Diri menjadi pribadi yang menghargai proses dan rasa syukur pada Tuhan pun tak henti terucap. 

Sisi gelapnya, saat semua rencana tak berjalan sesuai skenario, penghakiman terhadap diri dimulai. Perasaan-perasaan tanpa nama itu datang dan ikut merayakan, mengisi tiap cabang pikiran. Aku terlalu sering menjadi tak waras akhir-akhir ini. Mengingatkan diri berkali-kali pun terasa percuma. Validasi kata hanya kiasan belaka.

Seseorang pernah berkata padaku, semakin keras aku memikirkan kemungkinan-kemungkinan masa depan, maka secara tak sadar aku sedang meragukan rencana Tuhan. Kalimat itu memenuhi pikiranku, rasa malu menghantam sisa sadar dalam diri, dan sedih mengambil alih.  tak pernah ada sedikitpun niat untuk melakukan itu. Namun, secara tak sadar aku ada di sana. Tugasku tak sejauh itu, sebagai manusia aku hanya perlu berusaha.

Aku pungut kembali rasional yang tertinggal. Menata dan mengorganisir perasaan, mengembalikannya pada tempat yang seharusnya. Memberi ruang lebih untuk sabar dan tenang yang sempat hilang. Memupuk rasa syukur pada hal-hal kecil yang luput dari perhatian. Di ata semuanya, berdialog dengan Tuhan adalah segalanya.


0 Komentar