"Saat khawatir bertemu penerimaan dan kelegaan yang membawa pada keihlasan. Di bulan November, akhir perjalanan di negera ini menuai "happy ending." Aku pamit, semoga segera bertemu di fase diri yang lebih baik."

 

Tahun ini, musim gugur datang begitu cepat, tak memberiku ruang untuk bersiap pada banyaknya kemungkinan yang akan terjadi. Daun-daun mulai menguning, mengubah kota menjadi keemasaan, matahari ikut memantulkan sinarnya saat kembali dari peraduan, dua kombinasi penyempurna musim ini. 

Aku menatap ke luar jendela, memejamkan mata dan mengucap syukur pada Tuhan. Aku sedang merayakan tahun keduaku di kota ini, sekaligus persiapan untuk sebuah perpisahan. Kopi di hadapanku mengepul, harumnya memberi tenang meski bimbang sedang bertarung dalam diri. Kamar-kamar dorm bangunan di hadapanku pun masih tertutup rapi, terlalu pagi untuk menyapa udara yang mulai mendingin. 

Aku tatap lekat-lekat apapun yang bisa ditangkap mata untuk dikenang. Menyimpan perasaan hangat saat melakukan aktivitas sederhanaku di pagi hari, kopi dan buku. Dua kombinasi untuk memulai hari. Bagaimana pun  nantinya hari berjalan, dua hal favoritku sudah dilakukan. 

Beberapa saat, satu per satu penghuni dorm memulai hari. Ada yang berjalan cepat, mungkin sedang mengejar kelas di pagi buta. Dua tahun ini, berlari di pagi hari untuk mengejar kelas sudah menjadi rutinitas. Meskipun gedung kampusku hanya 10 menit dari dorm. Aku seperti sedang berlomba, tak ingin telat menghadiri kelas. Ah, kilas memoriku terputar begitu saja. Tak terasa waktuku di sini akan menuai akhir. Aku sudah menyelesaikan pendidikanku di sini. Namun, tanggung jawab lain diri, sudah menghantui lebih dini.

Terlalu banyak kenangan di kota ini untuk bisa terangkum dalam lamunanku menikmati waktu yang tak akan pernah melambat. Aku datang tepat di musim gugur tahun 2021, musim pertama yang membuatku kagum betapa ajaib tangan Tuhan mengatur dunia. Keindahan musim gugur dibersamai kesedihan  saat daun-daun kuning dan merah itu mulai mengering dan melemah, berjatuhan terbawa angin dan berserakan di tanah. 

perjalananku pun demikian, sebuah nikmat yang tak henti-hentinya membuatku mengucap syukur. Tuhan beri banyak kesempatan untuk menulis cerita yang begitu indah, lengkap dengan alur, klimaks, dan sebuah penutup. Sebagaimana musim gugur, aku pun memliki waktu, jiwaku harus segera bertemu ikhlas untuk akhir yang bahagia. 

Pada prosesnya, aku sering terjebak dalam kekosongan, memaksa diri menemukan sisi baik dari daun-daun yang mengering dan hanya menyisakan ranting. Selekautan dan kekhawatiran, diramaikan suara-suara penghakiman tentang diri. Tak ada jalan keluar, aku terjebak dalam ruang kosong diri. Hari-hariku pun kerap hanya hitam dt apapun aku menatapnya, tak dapat aku temukan. Di sana hanya ada segudang ketakan putih, berjalan beriringan pada cuaca yang tak menentu, angin kencang yang membawa kelabu, dan hujan yang mulai sering turun mengguyur apapun di bumi. 

Berkali-kaliku rapalkan mantra pemberi sugesti untuk menikmati waktuku di sini. Memaksa diri tersenyum, memberi validasi bahwa usaha yang selama ini dikerhakan mati-matian akan terbalas nantinya. Memberi afirmasi bahwa diri sudah melakukan yang terbaik. Penjelasan mengenai definisi dan siklus hidup pun sudah kutamatkan, menjejalkan diri pada buku-buku self-help. Terkadang, aku temukan diri tertawa miris di ruang kamarku yang kosong dan gelap. Jam 3 pagi sudah menjadi rutinitas menjelajah cabang pikiran yang tak ada ujungnya. Anehnya, kata-kata bijak yang sering kulemparkan pada orang lain tak bekerja pada pemiliknya.

Satu-persatu setiap alur cerita bertemu klimaks. Hal-hal abstrak seperti merasa asing dalam keramaian kerap terjadi. Pernah suatu ketika aku tiba-tiba berdiri di antara ramainya manusia yang sedang bercengkrama dan tertawa bahagia. Pikiranku membisikkan semacam "Hei kamu sedang apa? Ini bukan tempatmu." Aku merasa bodoh, senyumku terukir lebar, kemudian pergi. 

Malam itu, jarum jam berada di angka sembilan. Rintik hujan menambah dramatisasi keadaan, angin bertiup menerpa wajahku. Rasa dingin menghangatkan pikiranku yang penuh. Aku pun merapatkan jaket hitamku, mengenakan topinya, dan mulai berjalan membelah malam. Langkahku semakin cepat, beberapa kali aku mengecek telpon genggamku hanyak untuk melihat Google Maps, memastikan arah pulangku. Bersama hujan, tangisku pecah, mengutuk diri yang berkali-kali salah arah mendatangu stasiun bus. Aku keluarkan snack bar yang selalu kubawa di tas, mungkin aku sedang lapar, hingga pikiran dan perasaanku bercampur menjadi satu. Mungkin, aku hanya butuh istirahat, tapi justru memaksa diri untuk terus bertempur. Ada banyak mungkin dan semuanya adalah abstrak yang berserakan.

Aku tak dapat menjelaskannya dengan kata-kata. Mungkin beberapa manusia pun tak akan paham. Aku sendiri pun kadang kesal dan tak mengerti dengan jalan pikiranku. Aku sering merasa lelah dengan diri dan mempertanyakan di mana ujung lorong gelap ini?

Aku berlomba bersama waktu, semakin keras aku mencari jalan keluar, semakin banyak pintu tertutup. Ujung hariku adalah keluh dan kesah, manifestasi kesedihan yang menggunung, dan pertanyaan-pertanyaan liar tanpa menuai jawab. Aku tersesat dan rasa syukurku pada petualang indahku berlahan memudar. Ya, mungkin memang begitu yang terlihat, entahlah.

Kompasku kehilangan arah, angin musim gugur mengubah alurnya terlalu jauh. Beberapa kali aku berdiskusi dengan manusia lain, mencari perpspektif lain. Bahkan beberapa temanku memberiku pidato panjang yang hanya kujawab anggukan kepala. Aku tahu, orang lain tak akan dapat membantuku, sebagus apapun penjelasan dan motivasi yang diberikan, pergelutan batin dan pikiran harus diselesaikan pemiliknya sendiri. 

Tersisa dua minggu waktu untuk mengembalikan kompas pada arahnya, membawa kembali waras pada tempatnya, dan pencarian ikhlas dan kerelaan. Aku bahkan dengan gilanya meromantisasi beberapa variabel tak penting hanya untuk lari dari inti permasalahan dan menutup perasaan aneh yang berkecamuk. Cuaca juga semakin menggila, hujan berhari-hari mengguyur Warsaw, tak peduli siang dan malam. Aku akan bersembunyi di balik selimut tebalku jika tidak memiliki jadwal kerja paruh waktu. Diam sepanjang hari dan hanya mengatakan hal-hal penting saja pada rekan kerjaku menjadi rutinitas. Aku takut keluhku tercurah dan membuat mereka muak dan bosan pada pembahasan yang sama. Aku cukup pengertian, setiap manusia sudah memiliki masalah sendiri, jadi aku tak perlu menambahnya, bukan? Aku juga bukan pemeran utama dalam hidup mereka, menyimpannya sendiri adalah jalan terbaik. Mungkin, bisa diceritakan sebagai penghiburan saat semuanya sudah berlalu. 

Aku masih mengingat tiap kata yang diucapkan salah satu manusia paling penting di hidupku saat menceritakan rencana-rencana yang menemui gagal. Aku meresponnya dalam diam, kemudian beberapa saat aku tutup sambungan telpon itu. Menangis adalah jawabannya, setelahnya, entah bagaimana tangan Tuhan bekerja. Ikhlas itu datang tanpa aku minta dan sadari. Berkali-kali Tuhan menunjukkan kuasanya padaku, sungguh malu diri ini.


Aku memutuskan kembali, menutup perjalanaku di negara ini. Menghadapi banyak takut yang dibuat pikiran sendiri, melawan suara-suara pikiran yang mengkang dan membuat menetap di titik yang sama. Menyudahi mimpi di sini, bukan berarti aku menyerah, hanya sedang beralih ke pintu lain yang baru berani diketuk. Perjuangan baik seharusnya tau kapan berhenti setelah banyak usaha dilakukan, agar tetap sejalan, tak bertemu sesal, dan menyalahkan proses sendiri. 

Bersama penerimaan dan kelegaan, diantarkan oleh sinar matahari musim gugur, angin segar yang menerpa wajah, candaan, dan kebersamaan terakhir teman-teman, aku pamit. Semoga perempuan yang isi pikirannya rumit ini, segera dapat menguwujudkan mimpinya di mana pun itu. Terima kasih Warsaw dan manusia-manusia baik di dalamnya. Dua tahunku memiliki banyak warna, tersimpan dalam memori dan tak akan terlupakan.

Sampai jumpa lagi, Warsaw, Poland!




 

 

0 Komentar