Matahari musim panas sedang berada di ketinggian tertingginya, menyapa manusia-manusia bumi yang bercengkrama dengan kesibukannya. Siang itu, aku duduk bersama seorang teman di dalam tenda makanan khas Pakistan yang sedang ia jual. Ramainya manusia membuat kepalaku pening. Aroma makanan khas dari berbagai negara bercampur dan menguar ke udara, membuat kepalaku semakin berputar. Suara dari perutku mendramatisir suasana. 

Aku menghela napas, mengalihkan pandanganku dari telpon genggamku. Tepat di hadapanku, tatapku bertemu tanpa sengaja dengannya, bertaut tanpa makna. Aku berlahan mengalihkan pandangan untuk menyamarkan gugup. Aku juga tak memberi senyum sopan santun yang biasanya dilakukan di negara kami. Dia masih berdiri di sana, mengobrol dengan teman di sebelahnya. Mungkin sedang berdiskusi mengenai menu makanan yang akan mereka coba. Entahlah, aku tidak terlalu memperhatikan, aku sedang sibuk menenangkan rasa penasaran.  

Pertemuan mata tanpa sengaja itu terjadi dalam seperkian detik. Hari itu, aku tak ingin banyak berinteraksi dengan manusia. Aku sedang tak baik-baik saja, memainkan sisi diri yang selalu terlihat bahagia, akan amat sangat melelahkan dan menguras tenaga. Sering aku merasa aneh dengan kemampuan diri yang mahir dalam berpura-pura. Tawa yang meledak begitu kencang saat candaan tak masuk akal terlempar begitu saja. Berusaha keras terlibat dalam obrolan untuk menghargai manusia lainnya. Setelahnya, kosong sering menjadi teman dalam perjalanan pulang. 

Kita adalah asing. Dua manusia yang menerka tentang hadir tiba-tiba. Di akhir cerita, tak pernah berencana mengukir kisah lainnya. Mungkin, kita hanyalah dua manusia yang Tuhan pertemukan sebagai perantara untuk menemukan diri. Pengisi kosong pada banyak rasa yang bertebaran dan bergulat dengan kenangan lama. Aku sedang berusaha mencari bentuk perasaan lainnya. Menjadikan pertemuan kita sebuah ide untuk mengisi lembar terakhir petualanganku. 

Musim berganti, kita bertemu kembali dalam perkenalan yang sedikit beralur. Memulai obrolan pembuka untuk memulai cerita. Apapun arti hadirmu, mengenalmu adalah satu cerita yang dapat aku simpan sebagai penutup di tempat ini. Kenangan baik yang bisa aku bongkar kembali saat sedih menghampiri. Beberapa kali hilang kendali, presensimu menguat disaat mengandaikan banyak cerita yang mungkin sosoknya terlalu dekat denganmu. 

Aku penganggum musim gugur. Saat daun-daun berubah warna menjadi merah dan kecoklatan, sebuah pemandangan yang membawa syukur dan tenang. Pertemuan denganmu pun demikian, banyak tawa dan nyaman saat obrolan-obrolan sederhana penggugur canggung. Beberapa kali kamu selipkan senyum pada topikku yang tak berarah. Berpikir sejenak untuk memahami dan memberikan respon, meski sering ku lihat bingung tergurat jelas di wajahmu. Aku tersnyum, ada rasa ingin tahu pada ekspresi itu. Kamu pun dengan bebas memuntahkan opini dan beberapa kali menyangkal pendapatku. Aku menikmatinya, obrolan sederhana namun bermakna.

Banyak situasi yang mengingatkanku pada sosok lama yang sempat hadir 2017 lalu. Sosok yang mendebat dan tak memberi ruang menang pada argumen-argumenku yang terdengar percaya diri. Sosok yang aku rasa jika dengannya, mimpi-mimpiku akan mudah terwujud. Kalau pun ada tantangan nantinya, bersamanya akan lebih mudah. Ah, imajiku terlalu jauh, aku dan sosok itu telah lama usai. Kamu juga bukan dia, tak akan bisa untuk saling mengganti. 

Seperti musim gugur, hadirmu membawa banyak warna, seringnya merah memenuhi hariku, kadang coklat pertanda bimbangku, penyangkalan tentang rasa penasaran sejak hari pertama melihatmu. Bicara khasmu memenuhi ruang tanya, menerka jalan pikiranmu adalah permainan baru pengisi luang. Aku sedang mendramatisasi keadaan, pengganti sedih harus meninggalkan mimpi yang lama aku rajut. Berakhir bertemu ikhlas untuk menutup lembar perjalanan. Kamu perantara dari Tuhan, sebagai penghibur dan pengalih dari pikiran yang kerap menyerang. 

Aku tak sedang jatuh cinta atau sedang mengagumi, hanya mendeskripsikan tentang satu manusia di lembar terakhir cerita. Sosok yang membuatku ingin menetap, namun tak memiliki alasan yang kuat. Kita juga bukan manusia asing lagi, hanya tak bertaut dalam cerita yang sama, terhalang oleh hati yang tak saling memilih. Kita hanya memori, terabadikan dalam ruang masa lalu yang tak lekang waktu. 

Keindahan musim gugur berlahan berlalu, terbawa angin dan berlabuh pada muram dari hujan yang terus turun. Hari-hari tak selalu cerah, daun-daun berserakan dan langit seringnya mengelabu. Aku akan segera pergi, menghitung hari, sedih kerap menggelantung di jam tiga pagi. Berkatmu, ringan kerap menemani, tak lagi aku menyalahkan diri. Aku biarkan semuanya berjalan, tak mencoba memahami dan mempertanyakan. Takut masih terus menghantui, hanya saja aku sudah bertemu penerimaan yang membuatku tumbuh lebih kuat. 

Cerita tentangmu adalah bentuk imajinsai yang aku beri alur. Aku pun akan menutup dan meninggalkannya di sini. Sejak awal, tak ada niat untuk memulai apalagi membawanya pada lembar perjalanan berikutnya saat ratusan ribu jarak membentang di antara kita. Aku hanya meminjam sosokmu sebagai pemeran utama dalam khayalku untuk menutup luka dan meyamarkan sedih. Mungkin, kamu tak pernah tahu, namun sedikit banyak karenamu aku menemukan jalan keluar dari pikiran yang menjebak. Aku mulai memahami bahwa beberapa hal memang tak harus menuai jawab, membiarkannya begitu saja mungkin memang jalan terbaik. 

Aku harap kamu juga bertemu hal-hal baik di hidupmu. Dihadirkan orang-orang yang dapat menerima dan memberi tawa untuk harimu. Sebagaimana hadirmu yang membawa sedikit banyak warna. Senyummu yang teduh memberi lega. Terima kasih telah hadir tanpa sengaja di akhir cerita. Semoga pertemuan berikutnya, kamu dan aku sudah menjadi manusia yang merdeka dari rumitnya dunia kita. 

Cheers Mate! HIHI



3 Komentar