Image: Tugu Jogja. (Indonesia Travel)
Image: Tugu Jogja. (Indonesia Travel)


Aghnia tenggelam dalam buku yang dibacanya, perempuan di titik nol. Sesekali dia menyesap kopi di hadapannya. Panas mengepul, mengeluarkan aroma khas yang menenangkan. Membaca buku menjadi satu kebiasaannya untuk membunuh waktu. Selain, untuk memberi makan otak. Dia meletakkan bukunya, mengamati jam di pergelangan tangan kirinya. Dia menghembuskan napas perlahan, jam sudah menunjukkan pukul 20:00 malam. 

Ruangan berukuran 3x4 itu sebenarnya tengah sibuk, ada tim desain yang sedang mengatur layout majalah, tim redaksi yang sedang rapat membahas isu untuk konten media online. Namun, Aghnia memilih menyendiri sembari menikmati buku dan secangkir kopi. Dia sedang menunggu Radix, si tukang tangkap gambar saat meliput. Selaku editor, seharusnya memang dia ada di tengah-tengah tim redaksi. Namun, dia harus membahas liputan tentang hari Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia besok bersama Radix. Mereka sudah ditemani editor yang lain, Adilia. 

“Agh, duh maaf. Ban motor aku pecah,” kata seorang lelaki yang baru saja datang. Penampilannya kumal, sebuah kamera tergantung di lehernya. Buliran keringat berjatuhan di pelipisnya. Baju yang ia kenakan basah. Rambutnya berantakan, tampak tak pernah disisir berminggu-minggu. Persis seperti penampilan aktivis. Semakin kumal, semakin terlihat keren.

“It’s okay dix,” aghnia menjawab. Mereka mulai terlibat diskusi mengenai hari HAM sedunia esok. Mereka akan meliput aksi yang diadakan oleh Aliansi Gerakan Rakyat Demokrasi Lawan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (GARDA LP HAM) untuk memperingati hari HAM sedunia. 

Sesekali mereka beradu argumen. Bagaimana aksi ini akan dibingkai. Mereka adalah lembaga pers, media alternatif yang memberikan pemberitaan tidak hanya sekadar alur dari aksi. Namun, mereka harus menyuguhkan framing yang berbeda, menggali mengenai tuntutan aksi lebih dalam, menilik permasalahan yang sebenarnya. 

“Kamu mau wawancara berapa orang Agh?” tanya Radix sambil menghembuskan asap rokok yang tengah dihisap.  

“Kayaknya tiga cukup deh. Koordinator aksi, peserta aksi, dan pihak pemerintah.” Radix mengangguk sebagai pertanda dia setuju. 

Sebenarnya Aghnia tidak terlalu suka melihat perokok, asapnya mencemari udara yang dihirup, mempercepat kematian, dia pun menjadi perokok pasif. Namun, kerap sekali kaum lelaki merokok saat rapat sedang berlangsung. Kadang menjadi pembahasan berlarut. Perdebatan terjadi, aturan tercipta, kemudian kembali dilanggar. Karenanya Aghnia lebih memilih pergi atau mengikhlaskan udaranya tercemar.

Jam terus berdetak, berputar hingga jarum pendeknya di angka 12. Kantor ini memang tak pernah sepi. Sudah menjadi markas untuk berdiskusi apapun itu. Meskipun sempit, pengap dan setiap sudutnya terdapat asap rokok, semua anggota betah berlama-lama. Sistem kekeluargaanlah yang ditawarkan. Bagi sebagian dari mereka, kopi dan rokok adalah perpaduan yang sempurna untuk menemani diskusi hingga pagi buta. Bukan melulu soal diskusi, di tempat ini hanya sekadar bercerita, mengobrol, bercanda, menjadi rutinitas yang menyenangkan. Aghnia banyak menghabiskan waktunya di lembaga ini. Baginya, mereka seperti keluarga. Memiliki kesamaan sudut pandang tentang hal-hal sederhana semacam, tempat makan paling enak dan nyaman adalah burjo.  


******

“Jangan merebut hak asasi masyarakat kecil. Bersikap sewenang-wenang dan menginjaknya…” Suara koordinator aksi dengan lantang menyuarakan tuntutan aksi, harapan yang disampaikan kepada Gubernur Yogyakarta di titik KM nol. Aksi ini diikuti oleh pegiat HAM baik mahasiswa dari berbagai kampus di Yogya ataupun organisasi kemanusiaan lainnya. Mereka berkumpul untuk menyuarakan dan menegakkan keadilan bagi masyarakat kecil yang ditindas dan dirampas haknya. 

Memang saat ini Yogya tengah dilanda banyak masalah tentang kemanusiaan. Konflik agraria yang berujung dengan bentroknya warga dan polisi, pembangunan bandara yang ditentang masyarakat, atau penolakan menjamurnya pembangunan apartemen pencakar langit. Yogya yang nyaman mulai berubah, mengikuti arus, ruang hidup untuk masyarakat pun menjadi korban.

Matahari sedang teriknya, tepat di atas kepala, menyengat kulit siapa saja yang di bumi. Buliran keringat menghiasi pelipis Aghnia. Dia berjalan di pinggir trotoar, di samping masa aksi yang semangatnya terus terbakar. Di leher gadis itu tergantung sebuah kartu pers mahasiswa dan tak lupa sebuah catatan kecil di tangannya.

Di tengah-tengah masa aksi sedang berlangsung sebuah pertunjukan yang menceritakan tentang pelanggaran hak masyarakat kecil. Aghnia mencoret catatan kecilnya, menulis beberapa poin sebagai bahan untuk wawancara dengan koordinator aksi. Pertunjukkan selesai diiringi sorak semangat “Jangan rebut hak rakyat”. 

Aghnia menatap sekeliling, mencari Radix yang sedang memotret. Dia menemukan sosok yang dicarinya sejak tadi di seberang jalan. Aghnia berlari kecil menyeberangi jalan. “Dix, wawancara sekarang aja yuk,” kata aghnia sambil menepuk pundak Radix. “Kaget agh, tiba-tiba muncul dah,” protes radix. Aghnia cuma nyengir.


***********

Ada beberapa lembaga pers mahasiswa yang sudah terlebih dahulu datang untuk wawancara. Aghnia dan Radix ikut bergabung, setelah sebelumnya meminta izin. Sang koordinator aksi mengangguk sambil tersenyum. Aghnia pun membalas. Entah mengapa, dia merasa senang mendapatkan senyuman dari lelaki itu. Tak ada yang istimewa darinya, wajah yang lumayan memikat dan senyum yang menenangkan, rambutnya yang gondrong, dan sedikit berantakan. Aghnia menggeleng, apa yang sedang dipikirkannya di waktu dan situasi yang begini. Gadis itu menarik nafas untuk mengembalikannya pada dunia nyata. Kembali untuk memfokuskannya pada wawancara dan segudang pertanyaan yang sudah disiapkannya. Menunaikan tanggung jawab untuk menyuarakan keadilan melalui tulisannya. 

Aksi sudah berakhir dengan aman dan lancar, tuntutan aksi dan teatrikal juga sudah dilakukan. Harapannya pemerintah mendengar apa yang sudah mereka suarakan. Beberapa peserta masih lalu lalang, Aghnia sendiri bersiap untuk pulang. Radix sudah ke kantor lebih dulu.

“Hai, boleh tolong fotoin?” Sebuah suara yang tak asing tiba-tiba mengejutkan gadis itu. Aghnia membalikkan badan dan menemukan laki-laki dengan senyum mengembang sembari menyodorkan ponsel. Aghnia mengangguk sambil tersenyum.

“Thank you, aku Haling.” 

Aghnia membalas menjabat tangan Haling. “ Aghnia. Aku sudah tau, wawancara tadi,” balas aghnia sambil tertawa kecil. 

****




0 Komentar