Mimpi. Apa yang terlintas di benakmu saat mendengar kata itu? Sebuah harapan? Keinginan terbesar yang ingin kamu wujudkan? Sebuah angan-angan? Sesuatu yang mustahil?

Buat ku, mimpi adalah harapan. Sesuatu yang membuatku terus berpacu untuk mencapainya. Aku punya banyak mimpi, sangat tinggi. Salah satunya, mimpiku untuk mengunjungi negeri sakura. Iya memang terdengar mustahil. Namun, tak ada yang salah, kita berhak bermimpi. Sejak SMA, aku sudah menulis di berbagai media sosial, bahwa aku sangat ingin mengunjungi Jepang. “Suatu hari,” pikirku. Memang saat itu, mimpiku bahkan terdengar konyol. Negeri itu amat jauh dari jangkauanku. Apalagi, aku berasal dari pelosok Indonesia, Lombok Timur. Namun aku tak pernah menyerah, selalu aku ucapkan dengan lantang mimpi itu. Aku pengagum Anime buatan Jepang sejak SMA. Saat menonton Anime, selalu kubayangkan seperti apa negeri itu. Pasti indah dan bersih.


 

Mimpiku masih sama saat aku memasuki bangku kuliah di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Aku belajar tentang banyak hal di sini.

Aku mendeklarasikan mimpi itu di twitterku tanggal 17 maret 2015. Entahlah, mimpi itu tetap ada di tengah kesibukan kuliahku. Ku deklarasikan kembali mimpi itu sebulan kemudian saat mengikuti acara Ondi di kampus. Aku terinspirasi dari kalimat yang diucapkan pembicara saat itu. Karenanya, aku menulis sesuatu di akun media sosialku.


Mungkin bagi sebagian orang mimpiku terdengar tak masuk akal. Namun, bagiku itu adalah doa yang selalu aku panjatkan. Di akhir tahun 2016, aku bertemu dengan orang-orang luar biasa yang membantuku mewujudkan mimpi itu, Ulin dan Sita. Dua orang hebat yang tak pernah patah semangat. Kami berjuang bersama. Kami diberi kesempatan untuk mengikuti konferens. Banyak hal yang dikorbankan di tengah menumpuknya tugas kuliah. Waktu, tenaga, pikiran, dan kerja keras kami kerahkan. Kami eratkan tekad untuk mengunjungi negeri sakura.

Di detik-detik terakhir mimpi itu akan terwujud. Aku mulai ragu, ternyata untuk mewujudkannya, kami pun harus berkorban materi. Persiapan sudah setengah jalan, namun kami terkendala biaya. Biaya yang diberikan oleh kampus tak mencukupi perjalanan kami bertiga. Masalah mulai menerjang tim kami. Usaha untuk mendapatkan biaya dari berbagai sponsor pun gagal. Tak ada satupun sponsor yang bisa membantu kami. Kami patah di tengah jalan, terseok-seok karena keadaan. Sekarang mimpiku, mulai terdengar tak masuk akal bagiku.

Semangat kami yang begitu berkobar di awal mulai meredup. Kami benar-benar patah. Tak ada jalan lain, kecuali meminta pada orang tua. Kami susun kembali anggaran yang ada. Dengan perasaan berat, kami mencoba membicarakan masalah ini pada orang tua masing-masing.

Malam itu, aku menelpon orang rumah untuk membicarakan ini.
“Hallo pak……” Aku mulai menjelaskan apa yang terjadi pada bapakku. Intinya, aku meminta bantuan darinya. Ah, berat sekali rasanya. Aku beban bagi mereka.Benar-benar menyusahkan
“Tak apa, jika bapak gak ada uang, aku gak jadi pergi kalo gitu.” Kataku pelan. Aku ikhlas mimpi itu tak dapat aku wujudkan. Mungkin belum waktunya.
“Pergi aja. InsyaAllah ada. Kamu kan sudah sejak lama ingin pergi.” Mendengar perkataan bapak ku, aku tak kuasa menahan air mata. Ah, aku ini anak yang menyusahkan.

Kabar buruk datang. Ulin, tak dapat melanjutkan perjuangan ini bersama. Dia tak ingin membebani orang tuanya. Aku paham apa yang dia rasakan, karena aku pun begitu. Kami bertiga berkumpul untuk membicarakan ini. Aku dan sita tak rela ulin tak ikut, dia adalah ketua kami yang hebat. Setelah berdiskusi akhirnya aku dan sita memutuskan untuk tetap melanjutkan perjuangan ini. Paspor sudah kami buat jauh hari. Kemudian, kami membeli tiket dan memesan penginapan.

Ternyata, masih ada masalah yang menunggu aku dan sita. Kami terhalang rekening koran sebagai salah satu syarat pembuatan visa.Namun, sita akhirnya menemukan solusinya. Aku sendiri mencoba meminta bantuan dari fakultas. Ah, keluar masuk ruang dekanat fakultas sudah menjadi aktivitas sehari-hari. Sekretaris dekan, mba Lukita sangat membantu dalam hal ini. Dia lah yang membantu mengurus banyak hal mulai dari proposal dan surat. Aku ingat saat itu, aku dipanggil oleh dekan fakultas untuk membicarakan masalah rekening koran. Aku takut setengah mati. Sebenarnya ide dari temanku untuk meminjam rekening koran fakultas ini buruk, tapi tetap ku coba.

“Raby ya, bapak mau membicarakan tentang rekening koran fakultas.” Kata pak dekan memulai. Aku hanya diam, menganggukan kepala pertanda aku paham apa yang beliau jelaskan. 

Aku keluar dari ruangan dekanat dengan tangan kosong. Ah, aku sudah tidak dapat membendung tangisku. Banyak sekali rintangan untuk menggapai mimpi ini. Aku sudah kehilangan akal. Sita yang menungguku di luar melihat keadaanku yang berantakan. Aku ceritakan keadaanku pada sita, mulai dari masalah keluarga yang tak ingin aku bebani. Dia pun juga bercerita tentang keluarganya. Akhirnya, kami menangis bersama di bangku depan ruangan dekanat. Aku semakin dekat dengan sita, kami berbagi segalanya. Kami semakin mengenal pribadi masing-masing. Perjuangan ini mendekatkan kami, saling memahami. Setelah aku bergejolak dengan batin sendiri, aku putuskan untuk menceritakan masalah ini pada kakakku. Dia adalah tempat muntahan berbagai masalah yang aku alami. Kakakku yang membantu banyak hal dan memberi pemahaman juga pada orang rumah. Akhirnya, tanpa aku tahu apa yang terjadi di rumah. Aku mendapatkan rekening koran.

Dua minggu kurang, tanggal keberangkatan kami datang. Namun, sampai saat ini kami belum memiliki visa. Jumat pagi, kami pergi ke agen untuk pembuatan visa. Namun, lagi-lagi aku mendapatkan masalah. Agen tak bisa membantu membuatkan visa dikarenakan KTP yang ku miliki bukan region Jakarta melainkan region Bali. Agen ini tak memiliki cabang di sana. Akhirnya, aku memutuskan menggunakan agen yang ada di kampus. Hari itu juga ku serahkan semua berkas yang ada. Informasi yang aku terima berbeda antara kedua agen. Agen kampus mengatakan aku dapat membuat visa di Jakarta dikarenakan aku saat ini tinggal di Jogja sebagai mahasiswa. Hal ini dapat dibuktikan dengan surat keterangan aktif kuliah. Aku mulai lega. Kami bisa sedikit tersenyum.

Selasa pagi, aku ditelepon oleh agen di kampus. Mendengar apa yang baru saja dijelaskannya membuatku bangkit dari kasur. Tanpa komando, aku segera ke kampus. Aku sudah kacau, pikirannya berantakan. Dengan langkah yang berat, aku memasuki ruangan.
“Permisi, saya mau ngambil berkas pembuatan visa.” Resepsionis memberikan berkasku dan pengembalian uang.

“Maaf ya mba, waktunya mepet. Kami tidak berani bertanggung jawab jika visa tidak bisa selesai tepat waktu.” Begitulah yang terjadi, sebenarnya aku ingin marah, kenapa baru hari ini aku diberitahu tentang ini. Namun, aku sudah tak memiliki tenaga. Aku keluar ruangan, terduduk di lantai, tak tahu harus melakukan apa. Segera aku menelpon kakakku dan menceritakan semua yang sudah terjadi.
“Pergi ke Bali. Perjuangkan sampai akhir.” Aku sudah menangis. Kakakku menyuruhku untuk berjuang. Sudah terlalu jauh jika mau mundur begitu saja. Aku mantapkan hati untuk pergi ke Bali sendiri. Aku menghubungi temanku yang kuliah di sana.
“By…” Sita datang sambil terengah-engah. Dia sepertinya berlari ke sini setelah sebelumnya aku mengirim pesan dan menceritakan semuanya.
“Aku bakal ke Bali.”
“Apa? Sendiri? Aku gak bisa nemenin. Maaf by. Ibuku pasti gak izinin.” Katanya dengan penuh khawatir. Aku paham kondisi sita seperti apa. Aku mengangguk. Aku akan pergi sendiri. Kami pergi ke agen travel untuk membeli tiket untuk penerbangan hari ini. Namun, tiket sudah habis. Kami disarankan untuk memeriksa ketersediaan tiket di bandara langsung. Aku berkemas seadanya dan sita mengantarku ke bandara.

Setelah sampai di bandara. Kami ingin memastikan satu hal, apa aku harus ke Jakarta atau kembali. Di saat tergesa-gesa begini, otak kami tak bekerja dengan baik. Kami bertanya pada pihak bandara baik satpam atau pun petugas lainnya. Mereka tak tahu masalah itu. Kami bingung sendiri tak dapat memutuskan harus ke jakarta atau bali. Ketakutan di awal mengenai region pembuatan visa muncul begitu saja. Padahal sebelumnya sudah terjawab, entahlah.

“Mba, kenapa gak telepon kedutaan Jepang aja.” Tiba-tiba seorang petugas yang mendengar percakapan kami menceletuk tanpa diminta.

Aku dan sita saling pandang. Astaga, kenapa tak terpikirkan solusi paling baik ini. Kami mengucapkan terima kasih pada petugas. Kemudian, kami menelpon kedutaan Jepang. Dan, memang jawabannya sama seperti sebelumnya. Pembuatan visa dengan KTP Lombok bisa dilakukan di Jakarta karena aku mahasiswa aktif. Akhirnya, aku memutuskan untuk mengurus visa ke Jakarta. Aku menghubungi tami, sahabat karibku sejak SMA. Dia yang akan menampungku dan membantu selama di Jakarta. Terima kasih banyak untuk segalanya, cun! Sudah ikut berkorban dalam perjuangan ku.

Akhirnya, mimpiku mengunjungi Jepang, kota Sapporo terwujud. Aku menyadari banyak hal. Jika kamu perjuangkan mimpi itu, Allah pasti akan mewujudkan. Tinggal usaha dan sabar untuk menunggu waktu yang tepat. Sehebat itu Allah dalam merancang kehidupan umat-Nya. Aku yang jauh dari pelosok Indonesia, diberikan kesempatan mewujudkan mimpiku. Tiada henti aku bersyukur sama Allah. Banyak hal baik yang tak pernah aku bayangkan diberikan-Nya. Allah wujudkan mimpiku sesuai dengan apa yang pernah aku tulis. Subhannallah, indah sekali cara Allah untuk menunjukan kuasa-Nya.  Semoga, kalian yang punya mimpi, juga diwujudkan sama Allah ya. Segera, tunggu waktunya ya.

Cerita Jepang di tulisan lain ya heheh.




2 Komentar