hbr.org


         Rabiatul A.


Kosong. Hanya ada suara yang bersahut-sahutan berperang dalam pikiran. Tak jelas apa yang diinginkan. Ada yang menyerang, memabawa kilas balik potongan kejadian, ada juga yang menenangkan, memberi validasi yang entah untuk apa. Belatar belakang suara tawa dan tangis. Makin lama mereka makin penuh. Ragaku mematung, di sudut balkon ditemani sinar matahari pagi. Mengadah ke atas dengan mata terpejam. Aku merasakan hangat menerpa wajah, tak dingin seperti biasanya. Matahari bertengger di tengah musim dingin. Aku tak merasakan apapun, tepatnya aku tak paham apa yang sedang dirasakan. Marah, sedih, kecewa, senang, sesal tak ada satu kata pun yang mampu menjelaskannya. Tak terdefinisikan, eksistennya menguat tanpa nama. Menyergap, menyusup dan menggerogoti tiap sisi-sisi sadar dalam pikiran. Tenggelam aku dalam tangis tanpa suara. Mengalir tanpa tau sebab dan makna. Semakin berderai beriringan dengan suara yang makin terdengar nyata. Menghantam logika dan pertahanan diri, melebur dalam skenario yang dirancang dengan alur tergelap. 


Dibawa jiwaku menjelajah, dimulai dari drama-drama tak terduga yang melibatkan sesal dan benci terhdap diri.  Hal-hal yang coba dikubur rapat. Menyeruak ke permukaan menerjang perasaan bersalah. Bersalah karena tak berhati-hati dalam bersikap, tak mampu mengontrol diri, terlalu mudah percaya, memudarnya prinsip, egois terhadap rasional, dan semua hal yang terpedam dibalik perkara semua akan baik-baik saja dan memang sudah jalannya. Marah terhadap semua pemikiran kuno itu, sebagai pemilik atas diri sendiri, yang mengendalikan kompas hidup yang harus dijelajahi. Aku merasa gagal. 


Perasaan takut menyerang setelahnya, menghadapi manusia-manusia asing penuh penghakiman, yang selalu merasa punya andil dalam membuat sempurna alur hidup manusia lainnya, memberi trauma dan mengikis percaya. Awal mulainya perasaan mengasihani diri berperan, melemahkan dan mempertanyakan sikap tiap bertemu manusia. Merasa sudah berperan baik, tersenyum ramah dan hangat, menghargai tiap topik tak berarah, ikut tertawa merayakan suasana, menjaga kata yang mengalir untuk tak menyakiti, berusaha melibatkan tiap manusia dalam cengkrama bersama, tak pernah sekalipun dalam diri memandang buruk terhadap siapapun. Setelah semua usaha bersikap baik pada dunia, nyatanya masih ada saja dendam rasa tak suka, manusia asing ikut merayakan sebagai hiburan, dari mulut ke mulut, menyebar cepat seperti akar dan menguat. Tanpa pernah mengenal, pandangan meremehkan dan kata-kata dusta bertebaran. Lucu rasanya, manusia yang paling memikirkan cara berinteraksi dengan manusia lainnya, tak berespektasi terhadap mereka, tetap saja terlibat dalam hal yang paling dibencinya, berperang di arena ketidakbenaran.


Masih berdiri kokoh di tempat, hangat dari secangkir milk di tangan menjalar di sekujur tubuh. Namun, tak mampu menghentikan perjalanan raga memasuki bilik pikiran dan perasaan hampa. Suara itu menggema semakin jelas, melemparkan tiap kalimat yang mungkin benar adanya, bahwa diri pada akhirnya akan sendiri. Tak ada manusia yang bisa mendengarkan apalagi meringankan, tempat bercerita, mengeluh atapun menangis. Mereka hilang karenaku, tak mampu dijaga. Perasaan menyalahkan diri sedang menggaungkan pidatonya, menggema bersama teriakan mengiyakan sebagai dukungan. Aku tak cukup mampu menjaga manusia-manusia baik yang hadir, hanya singgah sementara, lalu hilang entah ke mana, menjadi asing pada akhirnya. Aku tak bisa memberi validasi untuk menetap, tak pernah berusaha untuk membangun kata untuk menyapa, ku biarkan mereka pergi dengan sendirinya, pikirku manusia lain juga banyak urusannya, yang lebih penting untuk diselesaikan, punya hidup dan cerita sendiri. Maka, aku hilang dan seringnya berdialog dengan diri yang kadang menghianati.


Aku terduduk, meletakkan cangkir yang sudah kosong. Tangis dalam diamku semakin berderai, sebagai respon petualangan jiwa. Belum selesai, tak diberikan sedikit saja untuk bernapas lega, petualangan berlanjut pada titik terlemahku, orang tua. Lelah, tak ingin rasanya aku diseret untuk meghadapi fakta, aku tak pernah ada, di sana di sisi mereka, selalu jauh entah di belahan bumi mana, berkamuflase dalam mimpi besar hidup. Dikupas semua perasaan yang kupendam dan redam dengan ego hidup untuk mimpi, menjelajah dunia yang lebih besar, menjadi perempuan mandiri terdidik, perempuan yang memiliki prinsip, kuat, dan pergaulan yang luas. Hah, dibalik alasan-alasan itu, ada rasa bersalah yang diam-diam menggunung, aku terlalu sering pergi, sejak dulu, tak punya waktu, sibuk dengan hidup sendiri, jarang ada obrolan hangat berjam-jam dengan mereka. Padahal aku tahu, mereka ingin aku di sana, meski kata-kata dukungan selalu diberikan. Maaf. 


Rasa kecewa terhadap diri mengambil alih kendali, di sini pun aku tak benar-benar melakukan yang terbaik. Banyak kecewa yang aku berikan, banyak tekanan yang aku bebankan, banyak jika yang tak akan pernah terulang, dan banyak takut untuk skenario-skenario terburuk yang tak pernah siap dihadapi. Aku sering hilang, terlalu berlebih memandang dari satu sisi pikiran. Pada titik ini, tak lagi aku mengenal diri. Hilang, tenggelam, dan menjadi satu dengan perasaan-perasaan gelap. Membawa pergi rasional dan menghadirkan kosong seluruh raga. Aku meninggalkan balkon, meletakkan cangir di meja, duduk diam, membiarkan apapun yang sedang terjadi di pikiran melanjutkan perang. Sesekali masih menangis. Ku nikmati bagian terumit dalam diri, pikiran dan perasaan. Tanpa sebab datang di pagi hari yang cerah.


Meski tahun akan berganti. Keinginan meminta maaf terhadap diri belum menuai waras. Ini episode menghakimi, meski kuat terus membersamai. Menemani melewati banyak tak mungkin. Memberi tawa dan senyum pada hari yang sama saja. Memvalidasi meski tak bertahan tak lama. Yang tak pernah membandingkan diri dengan kehidupan lain di bumi. Yang syukurnya melebihi luasnya semesta akan banyaknya kesempatan yang Tuhan beri. Meskipun kadang kelewat batas mengecilkan diri, takut mengglorifikasi. Ia patut diapresiasi. 


0 Komentar