Tentang datang dan hilang yang ku buat sendiri.


Setelah memangkas presensi jarak, dia tak lagi sama. Keputusan mengakhiri lembar cerita secara paksa saat itu adalah pilihan satu-satunya. Namun, membukanya kembali tak pernah ada dalam daftar panjang rencana pertemuan kembali. Aku melewatkan banyak hal dalam 60 hari absensi hadir. Menjalani hidup untuk pilihan baru dan melupakan yang lalu. 


Suatu hari, cerita yang sudah diakhiri itu kembali tertulis pada sosok yang sama. Perayaan pertemuan yang tak pernah ada dalam rencana. Ada warna yang tak dapat dijelaskan menemani hitam dan putih. Janji yang terpatri dulu memasuki fase pengabaian. Tekad kuat untuk menjadi berani terus aku gaungkan dalam hati, yang pada akhirnya melebur pada rasa tak percaya diri. 


Aku merayakan patah yang terus berulang, ditampar keadaan dan dijatuhkan imaji sendiri. Kisah yang aku rangkai indah, mendadak bertemu epilog tragis sebelum dimulai. Pemeran utama cerita ini telah bertemu rumah, sosok itu tak lagi sama, hangat dari tatapnya berubah dingin. Senyum yang kerap terpatri itu hambar, kehilangan cahaya memikatnya–aku dramatisasi atas nama melupakan. Jarak dunia terpangkas sempurna, digantikan ia yang memudar dan hilang. Lagi, patah itu datang lebih awal, dipaksa untuk diakhiri tanpa pernah dimulai. Dia berlari, menyisakan aku pada labirin gelap pikiran sendiri.


Kisah imaji– sejak awal, tak ada kita dalam dunia yang aku ciptakan, hanya ada aku, Ia ada pada dunia yang tak dapat digapai, manusia tegas yang telah menjelaskan arti hadirku di pertemuan pertama. Suatu ketidakmungkinan yang aku tabrak dan berakahir melukai diri. Lembar cerita tentang dia adalah hasil keputusasaan dari perasaan abstrak. Tertulis sempurna dari deretan kata-kata patah romantisasi kehilangan. 


Pada titik penyadaran, perasaan kehilangan tak pernah dipersiapkan. Melepaskan bukan menjadi pilihan melainkan keterpaksaan. Perayaan patah membersamai musim semi yang dipeluk sendu dan gerimis di pagi hari. Harusnya April menjadi tempat bermekarnya bunga-bunga, yang dihiasi gemuruh tawa bahagia manusia. Nyatanya, musim semi ikut merayakan perasaan yang kacau, matahari menghilang, angin berhembus kencang, dingin menusuk tulang, dan jiwa yang kembali ditemani sepi. Suasana sempurna pelengkap patah hati dari kisah mencinta sendiri. Aku manifestasi perasaan itu, berdiam diri menatap jendela yang dihiasi buliran hujan, bermuram durja ditemani daftar lagu sedih tentang kehilangan.


Tak ada memori yang kuat dalam kisah yang diromantisasi sendiri dalam imajinasi. Cerita tak pernah tertulis nyata, hanya sebuah ilusi penghibur sesaat dari hitamnya dunia sendiri. Cara untuk melepaskan suara dari ribut di kepala yang terus mempertanyakan dan meragukan diri. 


Pada pertemuan yang tak sengaja, Ia kembali menjadi distraksi. Senyumnya terpatri tulus bersama tembok yang semakin menjulang. Entah mengapa aku tertawa, bentuk merayakan kehilangan paling menyakitkan–mentertawai patah dan sedih.


Beberapa kali aku mencuri pandang ke arahnya. Mengamati bagaimana Ia berinteraksi dengan satu manusia yang aku yakini mungkin saja rumahnya. Bahagia yang Ia pilih untuk bertumbuh bersama. Kelegaan memenuhi diri, mengambil alih tiap logika pada kisah sedih perjalanan imajinasi. Pemandangan indah di hadapan memberi perasann tenang, dua manusia saling tatap terpancar tulus, dari kejauhan, aku dapat merasakan rasa bahagianya berhamburan di udara. Ia seperti sudah bertemu sosok yang tepat. Aku pun turut berbahgia untuk Ia yang telah bertemu pada seseorang yang memberi hangat, tempat untuk berpulang. Doaku Tuhan dengar, seseorang hadir memberi tawa di hidupmu, sayangnya itu bukan aku.


Aku telah kehilangan, sosok yang aku puja menorehkan luka paling sempurna. Langkahku terhenti lagi, berkali-kali, pada perjalanan abstrak perasaan sendiri, yang tak memiliki prolog kuat dan berakhir pada epilog berisi kehilangan yang diromantisasi sendiri. Perasaanku dipaksa gugur di tengah musim semi. Tersandung kaki sendiri demi sadar yang pulihnya amat lambat. Namun, percayaku pada Tuhan tak pernah meluntur, dipatahkan berjuta kali untuk melindungi diri yang masih tak mampu mengendalikan degup jantung yang sesaat. Ritme dan siklus jatuh cinta yang pada akhirnya tak bermakna apa-apa, selain sesal dan air mata. 


Kenangan terus diromantisasi untuk manifestasi rasa agar kian kuat dan nyata. Namun lupa, sejatinya ikatan itu ada bukan karena usaha memfokuskan seluruh atensi pada dunianya, namun karena bertaut kita pada nyaman dan aman, bertumbuh menambah bahagia pada dunia yang ada-ada saja bentuk cobaannya, hanya dengan presensi, tak lagi dipeluk gelap dalam diri, ringan menemani langkah searah untuk tujuan bermuara pada ilahi. Saatnya untuk memulai proses sembuh dari sebuah penerimaan, bahwa akan ada pertemuan lain di lembar perjalanan berikutnya. Kubangan luka harus segera ditinggalkan, sebelum tenggelam kembali pada parangai tanda tanya dan mengapa yang tak berujung.


2 Komentar

  1. Mungkin Sang Pencipta menawarkan persimpangan yang berbeda di jalan mu dan Imaji itu. Musim gugur hanya sementara, gugurmu hanya bilangan waktu. Dunia mesti ceroboh membungkammu dengan epilog romantisasi, seharusnya ini bukan epilog melainkan kemerdekaan kebebasanmu.

    _Penyair Gadungan_

    BalasHapus