Photo by Google


Aku duduk di dekat jendela di sebuah coffe shop. Sebuah melodi mengiringi diam dan sunyiku. Suasana tentram dan menyejukkan tempat ini membalut sempurna sedihku. Aku sedang merayakan kepergian seseorang, yang datangnya membawa tawa dan perginya menyisakan tangis. 

Aku menyeruput kopiku yang masih mengepul hangat, berharap dapat mendinginkan hatiku yang mulai memanas karena sesak. Laptop di hadapanku memantulkan wajahku yang menahan tangis. Aku tertawa getir, perempuan ini sungguh seperti bukan diriku.

Seseorang pergi, melalui pesan singkat yang tak pernah ku duga menimbukan luka yang mendalam. Selama ini, aku berusaha menepis rasa yang kuharap tak nyata. Dia teman yang sudah dimiliki. Jujur, aku bahagia untuknya, memiliki seseorang yang diinginkannya. Namun, saat di titik tertentu, sisi jahat diriku bangkit dan mengenangnya sebagai seseorang yang telah lama memiliki hatiku.

Memori-memori muncul ke permukaan, pertanyaan seperti kamu di mana yang sering ditanyakan terdengar sebagai sebuah perhatian. Keluhan-keluhan yang dimuntahkan tentang hidup terasa seperti berbagi kesulitan. Dia adalah seorang pengingat untuk hal-hal sederhana saat aku percaya aku adalah perempuan mandiri dan kuat. Dia tak banyak bicara, namun entah mengapa, dengannya selalu mengahadirkan senyum dan nyaman.

Kepergianmu memang tak lama. Kau pasti pulang dan kita akan bertemu. Namun, kenyataan tak ada lagi hadirmu yang secara tiba-tiba, membuatku sadar, kamu amat berharga. Sebagai teman, kamu telah menjadi kisah di banyak cerita dalam hidupku. Akan aku habiskan sedihku saat ini untuk mengakhiri perasaan sendiri. 

Ponselku berdering, membawa diriku kembali ke kenyataan. Sebuah pesan dari dia, obrolan biasa tentangnnya dan dia. Aku tertawa, merasa lucu dengan keadaann sendiri. Aku mencoba membalas senormalnya, menahan diri untuk tak mengungkapkan rasa secara tak langsung. Aku tutup pesanku dengan harapan semoga hal baik selalu membersamainya. Aku memilih menyudahi, meskipun ada segudang pertanyaan yang ingin aku tanyakan. Namun, aku takut, aku salah mengambil langkah yang dapat melukaiku sendiri. 

Aku menarik napas panjang, memusatkan fokus, dan membuka kembali tumpukan kerjaan yang aku tinggalkan untuk sesaat. Aku harus menenggelamkan pikiran pada deadlinenya yang sedang mengejarku. Dengan begitu, aku harap bayangmu tak semakin menguat. 

 


0 Komentar