Mengakhiri Kisah
Di awal Oktober lalu, kisah lama yang belum aku selesaikan datang kembali bersama satu permintaan maaf tulus. Aku tatap pesan singkat itu sebelum menjawabnya dengan senormal mungkin. Aku tak ingin balasanku menggambarkan kesenangan berlebih atas presensinya. Dia adalah teman, satu pengecualian dari definisi teman dalam kamus bahasaku. Seseorang yang beberapa kali membuatku tertawa dan menangis bersamaan. Sesorang yang berjarak namun terasa dekat dan mampu mendegupkan jantung bergerak lebih cepat.
Cerita dengannya adalah kategori imajinasi favoritku, berapa kali pun dia hilang dan datang kembali tanpa penjelasan, ruang itu akan selalu ada untuknya. Berlahan hadirnya akan mengisi dan memenuhi hari. Sikap sederhananya entah mengapa selalu bisa memikat diri. Dia denangan dunianya yang amat luas itu membuatku terkagum. Aku terus menuliskan tentangnya dalam deskripsi indah dan memujanya dalam diam.
Kali ini dia datang dalam versi yang jauh lebih baik. Aku ikut berbahagia, doa-doa yang pernah aku langitkan Tuhan dengarkan. Satu manusia yang aku harap bisa menemukan kembali senyumnya yang lama hilang. Dunia gelapnya berlahan dipenuhi sinar terang. Dia tampak semakin gemerlap. Namun, pertemuan ini sedikit berbeda unutkku. Aku sedang terjebak dalam versi terlemah diri, terperangkap dalam gelapnya pikiran dan tenggelam pada ketakutan-ketakutan dari realita skenario hidup.
Tak ada lagi satu manusia yang menerima tanpa bertanya arti hadirnya yang tiba-tiba. Versi kuat diri telah hilang. Namun, atas nama pertemanan, aku beranikan diri memulai tiap obrolan tanpa ekspektasi. Satu persatu hal-hal yang tak pernah aku lakukan sebagai teman menjadi sebuah rutinitas. Jarak ternyata dapat menguatkan, membawaku lari dari kenyataan hidup yang sedang menyerang waras. Aku mendengarkan penjelasan telaten yang dia paparkan melalui layar laptopu. Dia uraikan setiap rasa yang tak mampu aku jelaskan. Dia jabarkan alasan rasa tak percaya diriku untuk memulai kembali. Dia kuatkan aku tak hanya melalui kata yang menenangkan, namun membedah setiap masalah yang menahanku ada di satu titik gelap. Menarik tanganku untuk berpindah dan bergerak kembali menemukan diri.
Di tengah obrolan itu, ada rasa yang mati-matian aku coba kontrol untuk tak berteriak menunjukkan diri. Pada akhirnya aku gagal, aku terpatahkan akan ekspektasi dan imajinasi sendiri. Aku memutuskan untuk memberi jarak dan menyelamatkan diri. Mungkin juga menyelamatkan dia dari hal-hal negatif dalam sebuah pertemanan. Aku adalah bagain terkecil dari pertemuan singkat dan sederhana. Satu bentuk dunia yang amat berbeda dari miliknya, hilang pun tak akan mengubah apapun. Doa baik akan selalu aku langitkan untuknya, agar bahagia dan di kelilingi manusia-manusia baik dan tulus.
Aku sedang berusaha melepaskan diri dari rumitnya perasaan diri. Jika sembuh datang lebih cepat, aku harap pertemuan selanjutnya akan terasa lebih ringan.
0 Komentar