#Memori

Geert. Ia terduduk di sudut kamarnya yang gelap. Sunyi mengudara mengisi segala penjuru ruangan yang luas. Kepalanya Ia tenggelamkan di antara kedua kakinya. Sekujur tubuhnya bergetar, dadanya sesak, dan suara-suara itu terus berteriak dalam kepalanya. Di luar hujan semakin deras, membuat Geert semakin kacau. 

Emosinya meluap bersama tangis yang tertahan. Kepingan memori itu terus bermuculan, datang berjatuhan seperti hujan, tak dapat Ia kendalikan. Dingin memeluknya begitu erat dan rindu itu pun semakin menguat. 

Geert mengangkat kepalanya. Tatapan mata kosongnya menembus jendela, hujan disertai angin kencang dan suara gemuruh yang diterangi kilat saling bertautan. Suaranya seperti irama yang sedang beradu cepat dengan detak jantung Geert. Sakit itu menyayat hatinya seketika membuat dahi Geert berdenyut dan berputar.  

Ia lelah. Tak pernah terbayangkan cinta yang Ia miliki justru menyakitinya sedalam ini. Mengobrak-abrik kehidupannya hingga Ia mati rasa, muak akan semua yang ada. 

                                                                         ***


#Pertemuan 

Geert terbangun dalam keadaan kepala yang masih berdenyut. Jam di samping tempat tidurnya menunjukkan pukul 6.30, sebuah rutinitas. Ia tak langsung bangkit dari kasur. Matanya yang tajam menatap pancaran cahaya di sela-sela tirai kamar. Pikirannya membawanya pada kejadian semalam, membuat kepalanya semakin sakit. 

Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk sebelum seseorang yang bertumbuh tinggi berdiri sambil memberi salam. 

“Kamu harus bersiap.” Ia adalah Wenbai, sahabat sekaligus sekretaris pribadi Geert. Geert tetap diam, tak mengalihkan pandangannya. Wenbai seketika pun paham apa yang sedang terjadi dengan sahabatnya itu. 

“Aku tahu semuanya gak mudah. Tapi, ini hari pertamamu.” Wenbai kembali bersuara. Ia sampaikan kata yang harapannya bisa menguatkan. Setelah itu Ia beranjak. 

Geert tersenyum pahit, menjadi dirinya adalah sesorang yang harus selalu siap dalam keadaan sekacau apapun perasaannya. Ia terperangkap takdir yang tak dapat dipilih. Mengikuti garis hidup yang sudah ditentukan, menjalani tugas sebagai anak pertama dari keluarga terkaya di Korea Selatan. Keluarga Albeir adalah pemilik perusahaan terbesar di bidang Entertainment yang mencetak artis-artis ternama. 

Hari ini adalah hari pertama Geert menduduki jabatan CEO yang diberikan ayahnya. Posisi ini sebagai pembuktian akan kerja kerasnya selama ini. Sebenarnya, Geert ingin bebas, berkelana mengelilingi dunia dan mengabadikannya dalam lensa kameranya. Benda yang Ia gunakan untuk menumpahkan dan mengekspresikan segala jenis emosi. Namun, sejak kejadian 5 tahun lalu, niatnya sirna, tak ada lagi alasannya untuk menentang takdir. Tak ada lagi sosok yang akan menemani langkahnya, tempat ia berpulang untuk setiap perjalanan yang usai. Mimpinya terkubur, hidupnya yang berwarna berubah menjadi hitam dan putih. Tak ada lagi tangkapan gambar berwarna, selain hitam dan putih yang penuh kesedihan.

Dia berubah, menjadi sesorang yang menggilai kerja, tenggelam berja-jam dalam tumpukan dokumen. Ia tak memberikan ruang untuk diri. Pikirannya ia jejali dengan kesibukan kantor, berharap Ia lupa memori yang paling menyakitkan. Namun, apa yang dilakukannya membuatnya semakin terjebak. Ayahnya justru semakin mempercayakan tanggung jawab yang lebih besar. Dan, Geert pun tak menolak. Ia sudah menyerah untuk hidupnya, terjadilah apapun yang sudah pada garisnya. Ia tak memiliki tenaga untuk beranjak dari lubang yang amat dalam dan gelap. Cahaya yang diharapkan sebeagi penerang langkahnya sudah lama lenyap.

****

Rapat pertemuan dengan direksi dan pemegang saham baru saja selesai saat istirahat makan siang. Acara ini dilakukan untuk memberikan selamat untuk posisi yang diduduki Geert. Hari pertama sebagai CEO, Ia harus enyesuaikan diri dengan berbagai pekerjaan yang ditinggalkan sang Ayah.  

“Aku butuh kopi.” seru Geert lebiih kepada dirinya.

“Akan aku belikan,” sambar Wenbai yang ada di meja kerjanya tak jauh dari Geert. 

“Kita pergi berdua.” Balas Geert sambil tersenyum. 

Hubungan mereka memang tidak seperti atasan dan bawahan saat sedang berdua. Geert membutuhkan Wenbai di sisinya sebagai sahabat. Seseorang yang bisa memahaminya tanpa Ia harus bercerita. Saat masih menjabat sebagai direktur bagian produksi dan Wenbai sebagai asistennya mereka selalu bekerja bersama, tak terpisahkan. Dan, saat Geert diangkat menjadi CEO, sudah menjadi suatu perjanjian tak tertulis bahwa Wenbai pun harus ikut. Dan, sang Ayah menyetujuinya dan menjadikan Wenbai sebagai sekretarisnya. 

Mereka menuju Coffee Shop langganan mereka yang berada di sebelah gedung kantor. Sesampainya di sana, Geert meminta Wenbai untuk mengantri terlebih dahulu dan Ia menuju ke kamar mandi. Saat makan siang, pelanggan di kafe ini memang sering ramai karena kopinya yang enak. Tak lama kemudian, Geert kembali dan langsung menuju Wenbai yang sedang memesan kopi.

“Tolong mengantrilah. Semua orang juga sibuk.” Sesorang yang berada di belakang Wenbai berkata dengan lantang dan tegas. Geert menoleh dan hanya menatap gadis itu. Ekspresi wajah gadis itu menggambarkan Ia sedang buru-buru, sesekali dia melirik jam tangan yang dikenakan.

“Dia temanku.” Jawab Wenbai sambil tersenyum. Geert sendiri mengabaikannya dan tak peduli dengan tatapan gadis itu yang seolah protes dan mengatakan kenapa kau tak mengataknnya sendiri. Geert tetap pada posisinya, berdiri dengan kedua tangan yang disilangkan, tingginya yang menjulang seperti mengintimidasi, tatapannya tajam ke depan, dan aura dingin terpancar darinya. Gadis itu akhirnya mengalihkan pandangannya, entah mengapa Ia merasa tatapan tajam itu sarat akan kesedihan dan kekosongan.

“Maafkan aku.” Kata gadis itu lagi dan Geert tetap diam. 


0 Komentar