sumber: Google. doc
Oleh: Rabiatul Adawiyah

Lama aku tak menulis. Bertukar imajinasi dengan diriku yang lain. Ketika mulai menulis, rasa bingung menghalangi. Apa yang harus ditulis?, aku sendiri tak tahu. Akhirnya, tulisan itu mengalir begitu saja, bagaikan air di sungai, kadang sungainya bercabang kemudian airnya mau tak mau harus mengikuti. Namun, suatu hari mereka akan bertemu dalam satu titik, yaitu muara sungai. Di sana, mereka mulai berbagi cerita. Pengalaman yang mereka rasakan ketika diperjalanan, rintangan yang menghambat mereka dan perjuangan melaluinya. begitulah siklus hidup air di sungai. Aku juga punya cerita, bagaimana siklus hidupku, apalagi siklus hidupku saat galau. Sungguh siklus yang tak bermakna.

Karena, aku tak ahu harus menulis apa dan harus bercerita apa. Anggap saja, tulisan ini hanyalah muntahan seorang remaja yang tengah menghadapi dunia yang dia sendiri tak mengerti. Bisa disebut juga sebuah curhatan hati anak zaman sekarang. Jadi, jangat terkejut.

Saat ini, aku sedang menulis di pojokan kamar kos, sambil mendengarkan music dari perutku sendiri. Kamarku  berantakan, bajuku berserakan di mana-mana, buku-bukuku menangis minta untuk dibaca dan lantai yang berdebu. Aku lupa, kapan terakhir aku menyapunya. Jendela kosku tertutup, kamarku hanya diterangi lampu lima watt, baunya pengap. Suasananya persis seperti di dalam penjara, hanya saja tidak memiliki jeruji. Aku sedang galau, memikirkan tentang sesuatu. Zaman sekarang kata galau sedang popular. Di social media, banyak manusia dari umur 1 tahun bahkan sampai umur tak terhingga sudah menuliskan status dengan kata galau. Seperti sebuah proklamir kemerdekaan. Mereka bangga dunia tahu mereka galau. Aku hanya mengikuti zaman, biar gak dibilang hidup di zaman batu. Akhirnya aku juga memproklamirkan pada dunia bahwa saat ini jam 17.05 aku galau di pojokan kamar yang bau pengap.

Galau menyebabkan aku kelaparan. Galau membuatku malas, karena itu selama perputaran jarum jam yang kulakukan hanya termenung di depan laptop. Ketika azan berkumandang, aku ke kamar mandi kemudian solat. Setelah solat selesai, aku kembali di depan laptop. Jarum jam terus bergerak, siklusku tetap sama, solat dan laptop. Namaya juga lagi galau jadi hal semacam itu sudah wajar.
Mungkin alasan aku galau tak penting, namun perlu aku ceritakan agar tulisan ini memiliki akhir yang lengkap. Bukan hal yang lucu ketika saat ini aku menulis kata tamat untuk mengakhiri tulisanku, meskipun kalau kata tere liye, penulis yang aku kagumi “tulis saja tamat ketika bingung harus mengakhirinya dengan apa, penulisnya kan saya”. Sebenarnya saran itu bagus, namun lagi-lagi karena aku galau aku ingin mengakhirinya dengan baik.

Sejak tadi, aku hanya berguaru tak jelas. Maaf, semua ini karena galau sialan. Aku menghembuskan napas, mengeluarkan rasa gugupku. Detak jantungku bahkan seirama dengan detak jaru jam di meja belajarku. Aku gugup menulis sebab kegaluanku yang tidak penting sama sekali. Karena aku gugup, galauku semakin besar. Mataku mulai mengamati keadaan kamar kos yang pengap. Aku melihat note warna-warni di tembok yang tertulis berbagai macam hal, mulai dari deadline tugas, daftar tugas, materi yang tak kumengerti sampai dengan kata mutiara pembangkit motivasi. Galauku bertambah saat mengamati setiap note, seperti satu note untuk tiga kilo galau. Bayangkan note yang tertempel di tembok kosku lebih dari sepuluh. Jika aku kisarkan, mungkin sebanyak 30 kertas yang tertempel. Maka, jika dikalikan galauku sudah seberat 90 kilo. Bayangkan, galauku seberat itu bagaimana bisa aku memikulnya sendiri dalam keadaan perut kosong begini. Tapi, kata orang galau memberikan kekuatan makanya, aku masih bisa bertahan. Yah, itu kata orang jadi jangan tanyakan kebenarannya padaku.  Aku sendiri tak tahu.

Aku membenamkan wajahku dengan kedua tangan, rasanya berat sekali menceritakan sebab kegalauanku yang tak menentu. Aku diam sejenak, berpikir apakah akan menceritakannya atau tidak. Namun, jika tidak aku ceritakan maka kisah ini tak memiliki akhir yang lengkap. pasti menjengkelkan sekali. Aku mulai menimbang untung ruginya jika aku ceritakan. Dan, aku menemukan lebih banyak ruginya. Rugi yang paling besar adalah semua orang akan mentertawakanku atau mungkin saja dunia tiba-tiba tergelitik mendengarnya. Ah, alasan kegalauanku benar-benar konyol. Bukan sesuatu yang keren. Aku mulai bimbang, kisah ini terancam memilki akhir yang tragis.

Setelah merenung, ketika jarum jam di angka 17. 25 dengan menimbang keadaan Indonesia saat ini. Sebentar, jangan bertanya lebih lanjut bagaimana keadaan Indonesia saat ini. Aku rasa kita semua sudah tahu, kecuali kamu seorang yang primitif, aku bisa memaklumi jika tidak tahu. Namun, jika kamu salah satu orang yang selalu mengupdate status di social media dengan kata galau kamu pasti tahu. Ah, gara-gara bicara Indonesia aku jadi lupa harus menulis alasan kegalauanku.

Cukup, aku tidak ingin bicara lebih banyak. Sebelum, galauku di atas titik maksimum akan aku bagi pada dunia. Karena, jika sudah melampaui titik maksimum aku bisa hancur, tak berdaya atau mungkin saja jatuh pingsan. Bukan sesuatu yang lucu, aku pingsan di kamar kos tanpa seorang pun tahu kemudian aku mati. Dosaku masih banyak, aku masih ingin hidup. Maka aku beritahu langsung saja, aku galau karena kehabisan unag bulanan. Jangan kaget, karena pada dasarnya akar permasalahan anak kos adalah uang saku habis. Ketika uang saku habis, masalah lain pun akan datang sedikit demi sedikit, eh lama-lama jadi bukit. Pada akhirnya, datanglah galau.




4 Komentar

  1. Ribet banget ya mau ceita uang bulanan habis.. Tapi pas paragraf ke-6 aku teriak~haha
    Kenapa? Rahasia.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha. Efek beli hp uang terkuras. Kenapa teriak di paragraf 6? Kasih taulahhj

      Hapus
    2. Yaelah sok2an main rahasia. Bilang aje sih

      Hapus