Aku bersandar di tiang kereta, berdesakan dengan penumpang yang lain. Pagi ini aku sudah berlari maraton dari pintu masuk stasiun, takut tertinggal. Kereta sudah penuh oleh manusia yang berangkat kerja. Hari ini adalah hari pertamaku kerja, tak ada semangat, aku masih berperang dengan perasaan. Di tengah riuhnya keadaan, keringat yang bercucuran, pikiranku melayang pada seseorang di kota seberang.


Aku seperti manusia tak bernyawa. Mematung dengan tatapan kosong. Sesekali terdengar suara di speaker sebagai penanda pemberhentian stasiun. Air mataku rasanya bergelinang di pelupuk mata. Aku berusaha menahannya, akan sangat aneh jika aku menangis tiba-tiba di tengah keramaian ini. Setelah keputusanku untuk berlari darinya, nyatanya aku tak pernah bisa memulai. Aku jauh, tapi memoriku dengannya sedekat nadi.


Kereta tiba di stasiun pemberhentian ku. Aku turun dengan pikiranku yang kacau. Berjalan perlahan menelusuri jalanan menuju kantorku. Tanpa sadar, air mataku sudah jatuh. Aku menunduk di sepanjang jalan, mengabaikan panggilan-panggilan nakal di pinggiran. Entah mengapa, aku merasa kasihan dengan diriku. Aku pergi jauh untuk melupakan. Memaksa lupa pada keadaan, namun justru semakin membuatku sadar. Aku terlalu mencintanya saat ini. 


Sesampainya di kantor, aku bergegas menuju toilet, mencuci muka, dan mengatur senyuman. Pertemuan pertama adalah kesan. Bagaimanapun keadaanku, setidaknya di hadapan semua orang, aku adalah gadis yang kuat. Gadis yang akan berjuang untuk keputusan yang sudah dipilihnya. 


Setelah perkenalan dan basa-basi lainnya, akhirnya aku duduk di sebuah meja yang terletak di pojok ruangan. Di sampingnya terdapat jendela, tampak jelas pemandangan betapa sibuknya Jakarta. Kendaraan berlalu lalang, klakson saling bersahutan. Kemacetan panjang selalu terpampang.


Ponselku berdering, dari salah satu teman baikku. Pesan singkat yang dikirimkan membuat dadaku sesak seketika. Aku pergi untuk memulai hidup baru, untuk melupakan banyaknya kenangan. Namun, dia juga ada di kota ini. Aku dan dia sedang berada di bawah langit yang sama. Jakarta amat sempit, aku takut pertemuan terjadi tanpa sengaja. Sejujurnya, aku bahkan sangat mengharapkannya. Entah bagaimana aku akan menghadapinya, aku tetap berharap bisa bertemu untuk terakhir kalinya. Aku ingin mengatakan banyak hal. Tentang perasaan, tentang aku yang tak baik-baik saja setelah kepergiannya. Tentang aku yang masih ingin berjuang untuk bersamanya kembali.


Aku tahu, mungkin hanya aku yang berpikir sampai sejauh itu. Ketakutan yang tak berarti namun aku amini. Hal yang paling menyakitkan adalah mengenang bahagia bersamanya disertai air mata. Aku tak pernah membayangkan bahagia dapat menyakiti sedalam ini. 


Aku pikir setelah memberi jarak, meninggalkan kota tempat kita bertemu dan menghabiskan waktu, perasaanku akan lebih ringan untuk mengikhlaskan. Tapi, kamu malah datang ke kota pelarianku. Memporak porandakan kembali kepingan kecil yang sudah berserakan. Entah bagaimana aku bisa menata kembali. 


Hari yang buruk untuk hari pertama. Aku menarik nafas, menghembuskan kembali, membuang sesak di dada. Aku membuka email dan aku menemukan kembali kebodohan sendiri. Ada belasan surat untuknya yang masih tersimpan rapi di draf. Tak aku kirim, karena aku adalah hal yang paling tak diinginkannya. Aku hanya masa lalu yang tak akan pernah dia tengok kembali. 


Mungkin memang patah yang kurasa berlebihan. Tapi, percayalah setiap manusia memiliki kapasitasnya sendiri. Aku tak cukup kuat untuk menerima kehilangan. Saat dia adalah yang pertama memberi ketulusan. Aku tak cukup siap untuk menanggung memori yang dulu membahagiakan berganti menyakitkan. Aku tak cukup tegar untuk mengikhlaskan dia dihapus waktu. Aku hanya belum siap menerima keadaan.


Maaf jika hingga kini aku belum mampu melupakan. Masih terus mengenang dan menyayangkan keadaan. Dua manusia yang dulu saling memahami kian asing. Aku yang terus mencari kabar dan kamu yang terus berusaha menghilang. Di antara kita sudah tak ada titik pertemuan yang menyatukan. Aku yang mengejar langkahmu dengan harapan-harapan, namun kamu hempaskan di perjalanan. 


Maaf aku masih dengan rasa yang sama di saat aku tahu kamu sudah menemukan rasa yang baru. Pada seseorang yang kini kau sebut di setiap doa. Meski ikhlasku belum membersamai, harapku tetap kamu bahagia. 


Jakarta. Aku mengisi sendiri setiap sudutnya dengan kenangan yang lalu. Mengenang banyak memori di bawah gemerlapnya malam dari lampu-lampu gedung yang menjulang. Mengukir sendiri bayanganmu di sudut malam. Kamu dan Jakarta, satu ikatan baru yang berharga. Walau aku sendiri yang merasa.


2 Komentar

  1. JOIN NOW !!!
    Dan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
    Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
    BURUAN DAFTAR!
    dewa-lotto.name

    BalasHapus
  2. JOIN NOW !!!
    Dan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
    Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
    BURUAN DAFTAR!
    dewa-lotto.name
    dewa-lotto.cc
    dewa-lotto.vip

    BalasHapus