Berlari darimu

Pinterest

Aku kehilangan. Kamu memilih untuk meninggalkan saat aku yakin tentangmu. Aku pikir kita adalah kisah yang sempurna untuk diceritakan kelak. Pertemuan yang indah. Tawa kita yang membahagiakan. Cerita tentang hidup yang selalu kita bagikan satu sama lain. Tempat bersandar untuk banyak masalah yang datang.

Dulu, aku tahu kamu berusaha dengan keras untuk ku. Membicarakan hal-hal yang bahkan tak kamu sukai. Kamu berikan perhatian-perhatian dengan cara sederhana tapi bermakna. Aku belum bisa melupakan tiap potongan memori. Tentang senyummu yang selalu terukir manis. Tiap janji kita terngiang dalam ingatanku.

Semuanya sudah berakhir. Cerita kita yang ada di setiap sudut Jogja terasa menyesakkan. Selalu ada kamu di setiap jalan yang aku lewati. Jogja yang romantis menyiksaku. Aku gila karenamu. Aku membenci diriku karena selalu memikirkanmu. Makanan yang aku sukai, jadi hal yang paling tak ingin aku makan. Tempat-tempat yang sering kita kunjungi, menjadi yang paling inginku hindari. Jika setiap Jogja adalah kamu, ke mana aku harus berlari?

Hariku adalah mengingatku. Mungkin, kamu berbeda. Kehilanganku, adalah hal yang paling kamu rayakan. Aku bukan apa-apa di hidupmu. Hanya seseorang yang menetap sebentar. Saat aku tak sesuai dengan harapanmu, kamu menyuruhku pergi.

Aku tak menarik. Tak cantik menurut standar pada umumnya. Kamu sedang sial saja kebetulan bertemu denganku. Aku paham dengan sangat baik. Tak apa jika benar begitu. Biarkan aku memaknai apa yang terjadi. Izinkan aku mengenang memori sendiri.

Aku memutuskan untuk pergi. Meninggalkan kenangan di setiap sudut Jogja. Meninggalkan kamu yang bahkan sudah tak peduli. Aku menahan diri untuk tak menghubungimu. Aku tahu, kepergianku tak berarti bagimu. 

Kita bahkan punya cerita di stasiun ini. Aku memandang ruang tunggu tempat kita duduk dulu. Saat itu, kamu menemaniku untuk menggapai satu mimpiku. Aku sangat menghargai itu. Entah mengapa, air mataku jatuh. Di tengah keramaian ini, aku justru merasa sepi. Langkahku terasa berat, ingin sekali aku pamit denganmu. Tapi, aku siapa? 

Aku duduk di dekat jendela. Menatap nanar, pandanganku kosong, dan air mataku terus mengalir deras. Aku genggam erat telepon genggamku. Menahan diri untuk tak menelponmu. Kamu terlalu sering mendengar ku memohon sambil menangis. Aku tak ingin mempermalukan diriku.

Kursi di sebelahku masih kosong. Aku bersyukur, aku bisa menangis sepuasnya tanpa menarik perhatian orang. Kereta melaju dengan kencang, meninggalkan Jogja dan kamu. Tangisku pun semakin menjadi, perputaran memori tentangmu sedang ditayangkan. Tawamu, senyummu, waktu yang kita habiskan, semuanya. 

Aku hampir saja menghubungimu. Aku ingin mengucapkan terimakasih untuk waktu yang kamu berikan, untuk bahagia yang kamu ciptakan. Aku ingin mengungkapkan, bahwa kehilanganmu adalah hal yang paling menyiksaku. Aku masih sangat menginginkan kamu sebagai teman hidupku hingga nanti. Aku juga ingin mengucapkan maaf. Aku kerap menyakitimu, menyusahkanmu, dan membebanimu. Mungkin hadirku adalah satu hal yang paling tak kamu inginkan.

Aku harap kamu bahagia. Bertemu dengan seseorang yang tak membuatmu menjadi orang lain. Aku tahu, aku bukan orangnya. Selama ini, di hadapanku, kamu tak pernah benar-benar menjadi dirimu sendiri. Kamu harus berpura-pura tertawa, pura-pura bahagia, pura-pura menginginkanku. Kamu pasti lelah dengan banyak sandiwara dan karakter yang kamu mainkan. Sekarang, kamu bebas. Temukan bahagiamu, tanpa harus mengorbankan perasaan orang lain. 

Aku adalah kesalahanmu. Jadikan pertemuanmu denganku sebagai pelajaran. Kamu tak berhak mempermainkan perasaan orang lain. Cukup hanya aku yang menangisimu sampai gila. Yang masih mencintamu bahkan saat kamu mematahkanku berulang kali. 

Tak apa, bukan salah kamu sepenuhnya. Justru ini kesalahanku, membiarkan diriku jatuh hati padamu. Semoga setelah tak ada aku, Jogja tak lagi muram. Kamu bisa tertawa dan memulai kisah baru.