Foto: Rani Farinda


Rabiatul Adawiyah

Mungkin beberapa hari lagi, kakiku akan berpijak pada belahan dunia lain, amat jauh dari tanah kelahiranku. Beberapa kali rasa takut membayangi. Ada banyak cabang yang dipertanyakan dalam diri. Tentang kesiapan mengahadapi budaya yang sangat berbeda. Perempuan berhijab ini akan menjadi seorang minoritas. Keteguhan dan keyakinan akan terguncang oleh banyaknya krikil. Aku berharap kakiku tak pernah melangkah sedikitpun meninggalkan tauhidku. Semoga iman yang tak seberapa ini semakin menguat sebagai benteng pertahananku.

Kakak laki-lakiku berpesan kemaren sore. Sebaik apapun wujud seorang lelaki, ia tetap lelaki. Jangan terlalu dekat dengan siapapun, berteman sewajarnya. Aku tertegun, menyadari beberapa hal dalam diri yang mudah sekali percaya akan kebaikan seseorang. Saat aku menemukan nyaman, kadang aku lupa mengontrol diri untuk tetap tenang dan tak berbicara banyak hal, mengeluarkan isi pikiranku yang terus bekerja. Semakin besar energi yang dikeluarkan sesorang denganku saat mengobrol, maka aku pun demikian. Bisa berjam-jam, sampai meresa amat dekat dengan mereka. 

Ah, sepertinya menjadi seseorang yang sedikit suka berbicara rumit juga. 

Sebagai seorang perempuan yang tumbuh di lingkuangan beragama. Ini menjadi salah satu ketakutan terbesar. Aku takut lingkungan mengubahku menjadi sesorang yang asing, jauh dari Tuhanku. Ah aku harus segera menepis pikiran ini. 

Ketakutan lainnya tentang perkuliahan. Hal ini sudah pasti. Selain mata kuliahnya yang amat susah, perbedaan bahasa yang digunakan juga menjadi faktor utamanya. Ya, kemampuan bahasaku cukup, tapi entahlah nanti akan seperti apa. Bagaimana jika aku tak bisa mengikuti perkuliahan dengan baik? Bagaimana jika aku tak bisa menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan? Dan bagaimana lainnya.

Hal-hal semacam itu sebenarjnya wajar dirasakan. Yang terpenting bagaimana kita mengontrolnya, tetap menjaga pikiran untuk berpikir positif. Semuanya sudah Allah rancang dan tentu akan berjalan baik-baik saja. 


#Polandia-1

Aku sudah hampir sebulan di sini, Polandia. Negara yang bahkan tak pernah masuk dalam daftar mimpiku. Aku perempuan pemimpi, namun masih pada rasionalnya. Jika aku merasa tak memiliki kapasitas di sana, aku tak akan berani menulisnya. Negara asia adalah target pada awalnya, Thailand misal. 

Namun, entah bagaimana, Tuhan punya rencana yang berbeda dari rencanaku. Ya, aku di sini, berbekal keberanian yang tak seberapa dan keinginan melanjutkan kuliah, Tuhan izinkan itu terjadi. Setelah melewati proses yang panjang, penuh rintangan, bahkan hingga ingin menyerah. Dan aku percaya, jika memang itu takdir kita, bagaimanapun itu terlihat tak mungkin, akan tetap terjadi. Jika takdir itu tidak berakhir baik, mungkin takdir itu belum selesai. Aku membacanya di salah satu cuplikan di buku Maaf Tuhan Aku Hampir Menyerah. 

Tentang perkuliahan, sejauh ini masih bisa aku tangani. Tugas sudah menumpuk sejak hari pertama. Beberapa mata kuliah terasa sulit, beberapa sedikit mengulang materi saat sarjana. Semoga Tuhan selalu mudahkan untuk ke depannya hingga lulus nanti. Apa yang aku harapkan Tuhan izinkan untuk terwujud.

Cobaan banyak wajahnya ya ternyata, bukan hanya yang terlihat saja. Aku merasa di beberapa titik diri ini masih belum sepenuhnya fokus akan tanggung jawab yang besar ini. Ada yang salah dalam diriku, mungkin tentang sedikit perasaan yang masih tertinggal di Indonesia. 

Butuh memuntahkan beberapa perasaan yang tak perlu, merenung beberapa kali, menyusun kembali banyak rencana, memutar kompas untuk kembali pada arahnya sekuat tenaga, memang belum pulih seutuhnya. Tapi, semangat sudah kembali pada jalurnya. 

Aku saat ini sedang menikmati diri, kota ini, dan kehidupan kuliah yang selalu tentang tugas. Sedang berusaha belajar untuk memahami bahasa negara ini. Selain itu, sedang berusaha menjaga agar menulis adalah healing terbaik yang bisa aku lakukan saat hal-hal rumit mulai berdatangan.

Ohya, sebenarnya tidak banyak keluh atau kesulitan yang dirasakan sejauh ini. Ada banyak teman, yang bisa selalu jadi rumah dan membantu. Namun, satu hal yang sangat terasa amat berbeda dari perjalanan merantau di Yogjakarta dan Jakarta. Makanan.

Aku harus masak setiap hari jika ingin makan. Iya sebenarnya, bukan hal yang amat berat, bukan karena aku memiliki kemampuan memasak di atas rata-rata tapi karena aku bisa makan apa aja. Aku bisa mencampur banyak jenis sayur dengan bumbu seadanya. Bisa makan telur berhari-hari tanpa merasa bosan. Lidahku tak pilih-pilih dan bukan Insonesia banget alias harus pedas dan terasa sambalnya. 

Namun, aku tak kreatif, masakanku itu-itu saja, berputar pada wortel, kentang, kol, dan jamur. Jika tak ditumis atau digoreng, ya direbus. Tak lupa bawang bombai sebagai bahan dasarnya, apapun jenis masakannya. 

Hal ini menjadi sedikit sulit karena rasa malas. Jika lapar, butuh usaha berlebih, memasak nasi, mencuci piring dan peralatan lainnya terlebih dahulu kemudian baru ke dapur bersama membawa semua alat dan bahan yang sudah aku siapkan. Iya, aku tinggal di dorm kampus. Yang menambah banyak drama dalam memasak. Aku akan bertemu dengan penghuni-penghuni lainnya, memasak tanpa bertegur sapa dan bercanggung ria memang bukan aku. Manusia ekspresif di setiap gerakannya.

Aku tak bisa bebas membeli makanan di luar, mengingat terbatasnya makanan halal. Kalau pun menemukan makananhalal, harganya bisa jadi mahal. Memasak adalah jalan keluar untuk menghemat dan pastinya aman. 

Ini aku bagi beberapa foto yang aku tangkap dengan Hpku. Kota ini indah dan nyaman. Foto ini diambil saat di Old Town Warsaw. 

 


Foto ini diambil di lingkungan kampus saat berangkat kuliah. 



Foto terakhir hasil hunting daun-daun bersama mba Rani, taken by her of course. Hehehe


4 Komentar

  1. "Menulis adalah healing terbaik"

    BalasHapus
  2. Setelah baca ini, akupun ingin menulis perjalanan ku mba Reb ☺️ huhu semangat terus

    BalasHapus
    Balasan
    1. Goooo Katoooo, menulis untuk menebar buah kebaikan wqwqwq

      Hapus