Rabiatul Adawiyah

Kita bertemu dalam satu persimpangan. Tatapanmu kala itu teduh dan menenangkan. Berulang kali aku mencuri tatap ke arahmu yang berdiri tak jauh dariku. Beberapa perasaan muncul tanpa komando. Aku tersenyum sendiri, menyadari hatiku secepat itu kau miliki. Kau berlalu, hilang di antara kerumunan manusia. 

Itu adalah pertemuan tanpa sengaja kita, di sebuah persimpangan, di antara ribuan tatapku bertemu hari itu, aku terperangkap dalam milikmu.

Takdir berulang. Tanpa sengaja kita bertemu di sebuah kafe. Aku tak ingin menyesal, bukankan kesempatan kedua tak selalu ada? Aku melangkah dengan percaya diri, menghampirimu yang sedang duduk dengan secangkir kopi dan sebuah buku. Kau tampak sangat menarik di antara manusia lainnya. 

Langkahku yang tertuju padamu diiringi sebuah lantunan musik yang menggema di seluruh ruangan. Aku pikir semesta merestui pertemuan kita, dibuat skenario terindah untuk seorang perempuan yang akan mengajak seseorang berkenalan.

Tanpa banyak kata, aku menjulurkan tanganku dengan percaya diri. Mata yang ku kagumi itu, menatapku sejenak, tak lama kamu menggapai tanganku, mulai menyunggingkan senyum saatku menyebut namaku. 

Pertemuan kedua kita adalah takdir yang ku buat. Membiarkan diriku mengenal sosok dirimu yang tak pernah aku bayangkan. Seseorang yang paling aku kagumi, menjadi bagian dalam cerita hidupku.

Hadirmu adalah warna, hidup tak lagi terasa hitam dan putih. Kafe ini menjadi tempat kita berbagi cerita. Hidup terasa lebih ringan, selalu ada kamu yang akan mendengarkan. Aku pun mulai berani bersandar pada seseorang. Membiarkan diriku menaruh percaya yang berlebih. 

Mata itu masih menjadi favoritku, tatapan yang selalu membuatku merasa aman. Aku tersipu sendiri. Tatapan itu semakin tulus adanya saat dia tersenyum. Rasanya, menjadikan dia rumah adalah hal yang ingin aku wujudkan.

Ah, nyatanya takdir tak sebaik itu. Aku dijungkir balikkan lagi, dijatuhkan ke titik terendah. Dia, hilang tanpa kata. Nyatanya, aku yang salah mengartikan segalanya. Dia telah memiliki seseorang. Lalu, aku apa? Aku tersenyum getir. 

Aku pun tak dapat menyalahkan siapaun selain diri. Aku yang memilihnya. Aku rayakan kehilangan berulangku untuk melepas seseorang pada bahagianya. Selamat menikmati perasaan abstrak, sebuah seni dari siklus perasaan tak terbalaskan.

Malam semakin larut, aku masih berkelana di persimpangan jalan pertemuan kita. Dingin mulai menusuk tulangku, berkali-kali aku merapatkan jaket yang kukenakan. Drama bersedihku berlanjut, saat mendung bergelayut, menemani perasaanku yang kalut. Suasana yang sempurna untuk kesakralan patah hati. Ditambah lampu-lampu kafe yang menyala di sudut kota, memutar memori kisah kita, hingar-bingar kendaran terdengar bersahutan, seperti sebuah alunan musik yang terasa memilukan.  

Anganku berkelana ke sudut tersepi, mulai berjalan tanpa arah, ditemani pikiran sendiri yang bercabang dan tak berujung. Pertanyaan-pertanyan menerjang tanpa menuai jawab. Sesak di dada kian terasa, memuncak menjadi tangis. 

Perasaan sesal dan menyalahkan diri bercampur menjadi rasa benci yang mendalam. Tak pernah membayangkan akan di titik hidup yang membuatku hilang kendali. Tersesat di antara memori sendiri. Tatapan itu terus berkelebat dalam ingatan. 

Semakin aku berjalan, sedihku terus berulang. Tiap langkahku adalah memori tentangnya. Seseorang yang menjadikan hidupku kembali pada hitam dan putih.  

Tatapan itu, membunuhku berlahan.






0 Komentar