Aku pernah bertemu seseorang, tidak benar-benar bertemu. Aku hanya kebetulan melihatnya dari jauh. Pertemuan pertama yang menimbulkan sebuah percikan yang aku tahu dengan baik artinya. Aku sedikit susah menjelaskannya seperti apa, mungkin seperti ‘klik’, koneksi rasa nyaman. Ketika itu, aku cepat-cepat mengalihkan pandangan. Aku tahu tak seharusnya jenis perasaan itu ada untuknya. 


Pertemuan kedua, sebuah ketidaksengajaan. Aku sudah melupakan pernah melihatnya dan koneksi itu. Aku bersikap layaknya orang asing yang tak benar-benar mengenalnya. Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba saja aku sudah berada di tengah obrolan yang melibatkannya. ‘Ah, mungkin klik itu sejenis koneksi pertemanan’, pikirku. 


Sejak hari itu, beberapa kali aku berkomunikasi dengannya. Membahas hal-hal yang kadang hanya kami yang mengerti. Bercerita topik-topik tak penting namun terasa menyenangkan. Di jam 03.00 pagi, yang saat harusnya kami berada di dunia mimpi, namun tawa kami justru menggelegar di antara sunyinya malam.  


Pertemuan itu singkat, namun banyak memori yang tak bisa dilupakan. Tanpa aku sadari, khawatirku terhadapnya sering memuncak, hingga tangis pecah beberapa kali. Aku mulai mempertanyakan sikap diri yang rasanya sudah tak wajar. Aku merasa mulai bergantung dan menuntutnya memberi kabar. Aku mulai merasa kecewa saat hal-hal tak memenuhi ekspektasiku. 


Aku menolak, terus memberi keyakinan terhadap diri bahwa aku tak memiliki perasaan apapun untuknya. Pada akhirnya, ada satu titik yang membuatku menyerah untuk menyangkal, detik itu aku menangis, menyesali kebodohan sendiri, memori-memori itu berputar memberi validasi bahwa aku menyukainya. 


Aku jatuh cinta pada orang yang tak seharusnya di waktu yang salah. Aku menyesal mengabaikan pertanda saat pertemuan pertama. Aku berlarut dalam sedih. Aku kehilangan arah, mengabaikan tanggung jawab pada diri. Aku patah bahkan sebelum memulai apapun. Pikiranku selalu tentangnya, membuatku tak bersemangat melakukan apapun. Aku terus mengasihani diri. Mengapa aku terus terperangkap pada keadaan seperti ini? Jatuh hati pada seseorang yang tak bisa dimiliki. 


Dia bukan seseorang yang bisa diperjuangkan. Aku memilih berlari, hilang dan meyelematkan diri. Aku tak ingin terjebak semakin dalam. Apapun caranya, aku harus segera melupakannya. Membebaskan diri dari rumitnya mencinta sendiri. Aku tak menyalahkan dia, aku saja yang berlebih dalam menanggapi sikap baiknya.


Hei, kamu adalah pertemuan yang membahagiakan. Hadirmu memberi tawa, meringankan masalah saat hidup terasa semakin berat. Mungkin, memang kita tak ditakdirkan. Aku melepasmu, tak akan menahanmu untuk menetap. 


Aku berharap, bahagia selalu mengiri ke mana pun langkah membawamu. Seseorang yang kau pilih, dapat menemanimu melewati setiap fase dalam hidupmu. Menjadi tempatmu bersandar dan bercerita hal-hal yang memberatkan dan menyerang pikiran. Seseorang yang akan selalu bisa menenangkanmu saat kamu mulai menyerah pada hidup. Seseorang yang akan menawarkan rumah saat kamu ingin kembali pulang. Seseorang yang akan memelukmu saat kamu merasa lelah dan tak berdaya. 


Aku pamit, aku tinggalkan memori-memori itu di sini. Aku harus menjalani hidup, melanjutkan perjalanan untuk menemukan tempat bersandarku, seseorang yang seharusnya di waktu yang tepat.


0 Komentar