Ketika Matahari Terbit
Oleh: Rabiatul Adawiyah
Pena memang hanya sebuah benda tak
berarti, dia hanya bergoyang indah di atas buku putih tak berdosa. Menumpahkan
segala inspirasi dalam pikiranku. Dia tak memiliki sesuatu yang istimewa,
namanya hanya sebuah pena. Pena yang tak ku tahu dari mana aslanya namun aku
hanya tahu satu fungsinya, dengan pena aku bebas berkarya.
-----------
Aku
menghembuskan napas berat, hujan Nopember tengan bernyanyi di luar sana, dingin
yang ditimbulkannya menusuk tulangku. Aku menutup buku 'catatan rahasiaku'
menatapnya tak berdaya, terlalu banyak isi pikiranku yang tertumpah di
dalamnya, dia terlalu tahu rahasia dibalik mimpiku. Mimpi yang mungkin tak akan
pernah terwujud sekeras apapun aku mengejarnya. Aku menyimpan catatan rahasiaku
di tempat rahasia juga, setelah itu aku berdiri di deket jendela yang berembun.
Tanganku bergerak pelan menuliskan mimpiku, sambil mendengarkan irama yang
dihasilkan hujan. pintu kamarku tiba-tiba terbuka, ku temukan sesorang yang
sangat aku sayangi tengah berdiri di depan pintu dengan senyum yang lebar.
Senyum itu mungkin tak akan pernah aku lihat setelah dia tahu rahasia
terbesarku.
Lelaki berkumis dengn wajah tirus
itu menghampiriku dengan langkah cepat. Wajahnya berbinar penuh kebahagiaan,
sedangkan aku gugup menutupi apa yang aku tulis di jendela. Aku berusaha
menatapnya dengan tenang sambil tersenyum, namun tak berhasil dia tahu apa yang
terjadi padaku.
"Raras,
kamu kenapa? tanyanya bingung sambil mengamati wajahku
"Ahh,
tidak. Gak apa-apa Yah." Jawabku
gugup
Dia
tersenyum, memperlihatkan sederet gigi putihnya. Aku semakin curiga, tingkahnya
terlalu bahagia.
"Ayah,
sudah menemukan jurusan buat kamu" ujarnya bahagia. "kamu masuk di
sekolah kedokteran, ini untuk masa depan kamu. Dengan masuk kedokteran kamu
bisa menyembuhkan keluarga nantinya, masa depan kamu akan terjamin Raras"
lanjutnya
Suara
di luar sana menggelegar, dikarenakan
awan yang bermuatan listrik tengah bergesekan dengan angkasa. Electron-elektron
itu berloncatan membuat suaranya semakin mengerikan di telinga, percikan bunga
apinya bagaikan kilatan cahaya penerang malam. Indah memang, namun membuat aku
tak dapat bernapas. Lidahku kelu, entah harus berkata apa mendengar kata-kata
ayah. Kakiku tak dapat lagi menompang berat badanku, aku terjatuh ke lantai dan
tiba-tiba saja air mataku terasa menetes pelan tanpa aku komandoi.
Ayah menggoncang tubuhku, matanya
terbelalak. Raut wajah bahagianya terhapus karena hujan di luar sana. Mendung,
mata Ayah syarat akan kekecewaan.
"Raras, ikuti apa yang Ayah
katakana kali ini. ini demi masa depan kamu" kata Ayah sambil menatap ke
dalam mataku.
"Ayah tahu sendiri. Aku punya
mimpi yah.." jawabku pelan
"Lupakan mimpi kamu yang bodoh itu"
kata ayah dengan suara yang mulai meninggi.
"Tapi Yah, kemampuan aku tak
sebanding dengan yang ayah inginkan. Aku tak dapat bergelut dalam bidang yang
aku tak sukai yah"
"Kamu pasti bis jika berusaha.
Masa depan kamu akan terjamin, memangnya mimpi konyol kamu itu bisa menjamin
masa depan kamu? Memangnya…"
"Aku bisa yah" kataku
memotong perkataan Ayah. "Aku bakaln buktiin, tapi kasih aku kesempatan Yah.."
suaraku meninggi, emosi dalam diriku meluap tak tertahankan. Aku lelah dengan
semua penekanan dan keinginan ayah yang selalu memaksaku.
"Kamu sudah berani membantah
Ayah? Memotong saat Ayah bicara, hah? memangnya apa yang kamu bisa laukakan
jika ayah tak mengizinkannya. Pokoknya kamu haru masuk sekolah kedokteran"
kata ayah kemudian berlalu, dibantingnya pintu kamarku dengan kekuatan 100
volt.
"Yahhh…."
Panggilku sambil terisak. Namun, ayah sudah menghilang di balik pintu tak
berdosa yang dibantingnya. Aku bingung, tak satu pun yang mendukung mimpiku.
Tak ada yang menarik tangan ku agar tak menyerah dengan mimpiku selama ini, ke
mana aku akan meminta dukungan selain keluargaku, namun mereka sendiri yang
menghancurkan mimpiku.
******
Saat penaku mulai menari, anganku
merasa bebas. Menuangkan semua yang aku pikirkan. Dengan goresan penaku, aku
merasa mampu menaklukan dunia hanya melalui kata. Dengan goresan penaku, aku
merasa mampu merubah keputusan ayah hanya melalui alur dan sudut pandang yang
berbeda. Dalam goresan penaku, aku bebas menciptakan rasa.
----------
Aku
memandang teman-teman ku yang sedang sibuk berkonsultasi dengan guru BP mengenai jurusan yang mereka akan tekuni di
Universitas pilihan mereka. aku tersenyum, ekspresi wajah mereka berbeda-beda.
Ada yang menggambarkan guratan sedih yang berlebihan atau pun bahagia yang
kelewatan. Tingkah mereka seperti anak kecil yang tengah merebutkan satu buah
permen. Aku abadikan kisah mereka dalam goresan penaku.
"Hai, penulis." Sapa Ayu
sahabatku sejak masuk SMA. Dia duduk di bangku sebelahku, merebut buku yang
tengah aku pegang. Dia memang bertingkah seperti itu, bahkan mimpinya lebih
aneh daripada aku, menjadi agen FBI. Namun, apa yang salah dengan mimpi, semua
orang berhak bermimpi, apaun mimpi itu meskipun mustahil untuk diwujudkan.
Gadis berambut panjang itu terobsesi menjadi agen FBI, dia ingin mengadili para
penjahat kelas dunia. Itulah mimpinya.
"Kok diem Ras?" tanyanya, namun dia bersuara lagi "Tulisan
kamu memnag selalu menarik untuk diaca, kisah yang biasa namun kamu mampu
menceritakannya dengan sudut pandang yang berbeda" katanya, dia memang
selalu begitu. Menilai setiap tulisanku.
"Terimakasih, agen FBI"
jawabku sambil tersenyum. Dia nyengir, memperlihatkan sederetan gigi putihnya.
"Kapan
diterbitkan? Bagaimana dengan Ayah kamu? Dia sudah setuju kamu di Universitas
Sastra dan Seni?" Ayu melontarkan berbagai macam pertanyaan yang menohokku
langsung, tepat di hati. Aku diam, tak satupun pertanyaannya aku jawab, bukan
marah tapi merenunginya semua kata-katanya. Salahkah bila aku tak menuruti
kenginan Ayah? haruskah aku membuang mimpiku begitu saja? Lalu, menjalani apa
yang tak aku sukai. Ah, memikirkn menjadi mahasiswa kedokteran saja membuatku
merinding bagaimana dengan menjalankannya.
"Maaf,
aku terlalu bersemngat" ucap Ayu lagi. Raut wajahnya berubah saat aku tak
bergeming dengan pertanyaannya yang bagaikan peluru yang siap menembus apapun
di depannya.
"Tak
apa, aku sedang berusaha menerbitkan beberapa novelku. Doakan saja Yu."
"Tentu
Ras."
***
Penaku tak akan terhenti untuk
menggoreskan keindahan di atas kertas putih. Memang terlalu banyak halangan,
namun aku akan terus meyakinkan Ayah bahwa menulis adalah menebar buah
kebaikan. Menulis adalah semangat kata yang luar biasa untuk sebuah perubahan
dalam motivasi diri dan orang lain.
Tiba-tiba
saja pintu kamarku terbuka, aku belum sempat menyembunyikan catatan rahasiaku.
Tanpa berkata ayah merebut buku catatanku dan merobeknya begitu saja.
Ditatapnya lemari belajarku yang penuh dengan berbagai macam novel. Api kemarahan menyala dalam
matanya, dengan gerakan cepat semua novel di lemari belajarku berpindah ke
tempat sampah. Dia terlalu marah, kejadian malam itu terngiang dalam benakku
dan aku belum meminta maaf pada Ayah.
Aku menatap nanar kamarku yang
bagaikan kapal pecah, ayah tak pernah berkata apaun namun hasilnya indah
sekali. Air mataku sudah terlalu banyak yang keluar, potongan kertas buku
catatanku yang kering berubah menjadi basah. Aku ingin berteriak, berlari dari
keluar kamar namun, aku tak berdaya. Dengan langkah cepat aku masuk ke kamar
mandi, mengambil air Whudu. Yang ada dalam otakku hanya satu mengadu pada
Tuhanku.
---Tuhan,
aku bersimpuh memohon pada-Mu. Gerakkan hati ayah hamba. Hamba memohon
pertolongan-Mu Tuhan. Sesungguhnya dengan dukungan-Mu hamba mampu berdiri. Memperjuangkan
mimpi using yang tak pernah terlewatkan dalam doa---
Aku tak tahu harus mengadu kepda siapa lagi.
Dukungan terbesarku hanya Allah. Setelah sholat, aku membersihkan robekan
kertas catatan rahasiaku yang bukan rahasia lagi. Aku merasa penat, mungkin
terlalu capek menangis. Menangisi mimpiku yang diujung kematian. Aku memejamkan
mata, berharap sebuah mimpi indah hadir dalam tidurku.
****
Suara
ayam kampung bernyanyi membangunkan warga, azan tak lama berkumandang
menyusulnya. Menyuruh semua manusia untuk melaksanakan kewajibannya. Kepalaku
terasa berat, aku bangkit dari tempt tidurku beranjak ke meja riasku. Ku tatap
pantulan diriku yang terlihat kacau, mata yang sembab. Dengan cepat aku masuk
ke kamar mandi, membersihkan wajahku dan mengambil air whudu.
Hari
ini hari minggu, hari di mana semua keluargaku berkumpul. Memang sudah menjadi
rutinitas kami. Namun, mengingat kejadian semalam membuat langkahku ragu untuk
keluar kamar. Aku menyalakan laptop kecilku, menatap deretan novel yang sudah
aku buat. Lagi-lagi buliran bening membasahi pipiku, sepertinya tak ada pilihan
lain selain menyerah pada mimpi. Aku baca mereka dengan seksama. Memoriku mulai
memutarkan bioskop kecil yang sudah lama aku simpan. Memutarkan bagaimana aku
ketika menulis mereka, mengenang robekan catatan rahasiaku yang sudah lama aku
goreskan denga penaku. Suara alarmku membangunkan aku dari lamunanku, alarm itu
pertanda semua keluarga besarku tengah berkumpul di ruang keluarga. Sebelum
kejadian akhir-akhir ini, bunyi alarm itu adalah satu hal yang paling aku
tunggu, namun sekarang aku berharap tak
pernah mendengarnya.
Aku
membuka pintu kamarku pelan, melangkahkan kaki tanpa suara ke ruang keluarga.
Aku melihat wajah ayah yang hanya diam namun trelihat bahagia. Dia meliahtku,
dilambaikannya tangannya memintaku bergabung, yang lainnya pun begitu. Aku
bingung melihat tingkah ayah dan tambah bingung lagi ketika dia memberikanku
sebuah novel. Dan, aku sadar ketika membaca judul novel tersebut " Ketika
Matahari Terbit"
Air
mataku jatuh lagi, salah satu novel yang aku kirim diterbitkan. Dengan gerakan
cepat, aku memeluk Ayah. Menangis sejadi-jadinya dalam pelukannya. Dan,
kuucapkan syuhur pada Tuhan, Dia tidak hanya meluluhkan hati ayah tapi juga
memberi kesempatan novelku terbit.
TAMAT
BIODATA NARASI
Rabiatu
Adawiyah mahasiswa di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta (UII) Fakultas
MIPA jurusan Statistika. Cerita pendek (cerpen) ini merupakan sebuah inspirasi
dari diri sendiri yang ingin menjadi penulis, karena menulis merupakan menebar
buah dari kebaikan kepada semua pembaca. Nama facebook: Rabiatul Adawiyah.
4 Komentar
ceritanya bagus, mengangkat kisah tentang kebanyakan problem mahasiswa. tapi pas di endingnya kok kayaknya kurang mengena ya..
BalasHapussoalnya aku yang bacanya kayak 'loh kok tiba-tiba udah selesai sih..
tapi namanya cerpen ya harus pendek..
itu aja sih maaf kalo cuma bisa komen, tetep semangat Atul..
maksih nisa komentarnya. Tak tunggu komen selanjutnya untukmemperbaiki diri. Hihihi
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus