Photo : Google docx
Dia tersenyum. Entah untuk siapa. Aku sudah lama mengamatinya. Dia adalah laki-laki sibuk yang selalu becengkrama dengan kameranya. Menangkap setiap momen untuk diabadikan. Setiap kali senja akan kembali pada peraduannya, tersirat bahagia di mata tajamnya. Aku rasa dia adalah pengagum senja.


Dia berjalan sambil mengamati hasil fotonya. Sesekali melihat sekelilingnya. Mencari objek untuk diabadikkanya, lagi. Aku dengan sigap, segera mengalihkan pandanganku darinya. Aku tak ingin tertangkap basah sedang mengaguminya.
Hari ini adalah hari ke tiga, aku mengantarkan senja dengannya. Sebenarnya, bukan suatu kebetulan atau takdir. Hanya saja, aku yang merencanakannya. Aku yang selalu menunggunya di tempat ini. Aku ingin mengamati dia yang selalu tersenyum entah untuk siapa.
Dia sudah menarikku untuk mengenal dia dalam diam. Setelah senja pulang, dia pun begitu, dan aku kembali mengikuti langkahnya. Mungkin aku terlihat seperti penguntit. Dia akan tetap menjadi laki-laki sibuk di tengah perjalanan pulangnya. Memotret keramaian malam. Aku tersenyum. Dia memiliki sesuatu yang membutku mengikuti jejak langkahnya. Jari-jarinya dengan indah dan cepat mengabadikan apa yang menarik baginya.
Malam itu sedikit mendung. Hanya beberapa bintang di atas langit sana. Dia duduk di sebuah bangku panjang secara mendadak. Aku bingung, merasa tertangkap. Aku tak dapat berpikir, maka dengan cepat aku mengeluarkan payung yang ada di tasku. Menutupi wajahku. Orang-orang yang berjalan di sekelilingku tertawa, heran dengan tingkahku yang sedia payung sebelum hujan. Dan, aku tahu dia melihatku. Kemudian, mengabadikanku dalam kameranya. Mungkin bukan aku, tapi peristiwanya. Namun, aku berharap, aku dapat menjadi salah satu alasan dia tersenyum nanti, saat dia bercengkrama dengan kameranya. Lelaki senja itu benar-benar sudah mengusikku. Semua hal tentangnya dalam tiga hari ini tak dapat aku jelaskan.
Dia menarik dengan segala hal kecil yang dilakukannya. Aku sekarang menjadi penganggum lelaki yang mengagumi senja. Perempuan pengamat. Aku berlari, setelah diam beberapa detik. Meninggalkan laki-laki senja dengan kesibukan malamnya. Membiarkan dia mencoba memikirkan siapa perempuan di balik payung merah muda. Harapku, dia juga terusik sepertiku.
*****
Aku kembali lagi, ingin menemui dia. Berharap dia mengingatku karena kejadian kemaren. Tak apalah dalam memorinya, aku hanyalah gadis aneh. Setidaknya dia mengingatku. Aku berjalan di tepian sungai, dari sini terlihat jelas bangku taman yang selalu didudukinya. Dia tak ada. Sosok laki-laki jakun yang selalu memegang kameranya bolos mengantar senja ke peraduannya. Si penggemar senja, menghilang dari pandnaganku hari ini.
Aku berlari kecil mendekati bangku itu. Aku duduk lemas. Sedikit menyesal. Kenapa tak aku beranikan diri untuk mendekatinya? hanya sekadar untuk bertanya siapa namanya. Aku terlalu takut. Aku putuskan hari ini mengantar senja sendiri. Tanpa lelaki itu. Dia yang tak aku ketahui namanya. Lelaki senjaku.
Aku beranjak dari bangku. Namun, robekan kertas kecil berwarna putih mengusikku. Kertas itu terselip di bangku. Tersembunyi dengan rapih. Sepertinya memang sengaja disembunyikan. Kubuka kertas itu berlahan.
“Raka”
Aku tersenyum. Entahlah, aku merasa lelaki senja yang menulis ini untukku. Bioskop kecil tentangnya mulai berputar di otakku. Senyum manisnya saat melihat senja. Senyumnya saat memotret hal-hal di sekelilingnya. Raka. Nama yang indah. Aku menyimpulkan bahwa dia sejak awal sudah mengetahui keberadaanku. Perempuan aneh yang selalu mengamatinya. Menemaninya mengantarkan senja dari jauh.
*****
Esoknya, aku kembali lagi. Aku harap dia datang kali ini. Aku sudah memutuskan akan mendekatinya lebih dulu. Semalam aku bertapa, memikirkan apa yang harus aku lakukan. Entah kenapa sepanjang jalan aku selalu tersenyum. Aku berlari kecil, rasanya aku ingin cepat sampai di taman.
Aku berhenti, merapikan napasku yang terdengar. Aku langsung berlari ke arah bangku tempat biasanya dia memotret senja. Tak kulakukan rutinitas mengendapku seperti biasanya. Namun, tak ada siapapun di bangku itu. Kosong, yang ada hanya suara binatang-binatang kecil.
Aku diam, terduduk lemas, lagi. Senja mulai meninggi, warna jingganya memancar, memantul di danau yang tenang. Warna peraduan mereka indah sekali. Tanpa sadar, air mataku sudah terjatuh. Aku sudah kehilangan lelaki senja. Harusnya pemandangan senja dan danau yang saling melengkapi ini aku saksikan dengannya. Ke mana perginya lelaki senjaku? Setelah meninggalkan sepenggal kenangan tentang namanya, dia pergi. Setelah dia memberiku harapan yang semu, dia menghilang. Aku akan menunggumu kembali lelaki senaj..


Next nanti ya heheh

0 Komentar