Photo : Google.dox

Story by : Rabiatul Adawiyah

******
Aku naomi. Selain gadis pemimpi juga gadis penduh imajinasi. 

Cerita ini merupakan lanjutan kisah bagaimana Naomi memaknai dunia. 

*****
Hariku berjalan seperti biasa, kampus, tugas, dan belajar. Aku tengah sibuk dengan jadwal kuliah yang padat. Sebenarnya aku juga ingin mengikuti organisasi atau kepanitiaan kampus. Tapi, aku tidak menemukan sesuatu yang membuat aku senang melakukannya. Aku malas harus berpura-pura berdialektika, yang tujuan sebenarya entah apa. Bagiku menambah wawasan tidak dengan cara seperti itu. Aku memang berbeda, jalan pikiran kita tak sama. Jadi jangan menyalahkanku. Aku menghembuskan napas pelan. Lagi, aku sibuk dengan pikiran sendiri, berdebat tak jelas.

“Eh, boleh salin tugas kalkulus gak mi?” Seorang laki-laki berdiri di depan kursiku. 

Senyumnya mengembang lebar, rambutnya acak-acakan, dan muka bantalnya terlihat jelas. Aku tatap dia dengan seksama. Aku bukan sedang terpesona dengan senyumnya yang aku akui manis. Dia adalah jenis mahasiswa yang aku benci. Berani sekali dia memanggilku dengan akrab, sedang aku tak tahu dia siapa. Apa karena memang aku pendiam atau dia yang bertingkah sok terkenal?

“Pinjem ya mi, mana sini” katanya lagi santai saat aku tak merespon. 

Mudah sekali dia akan menyalin tugas yang sudah aku kerjakan semalam suntuk. Hasil kerja kerasku. Jenis mahasiswa seperti ini yang harus dibasmi. Aku bukannya pelit, hanya saja dia tak berusaha menyelesaikan tugasnya sendiri.

“Boleh ya” tanyanya untuk yang ketiga kalinya.
“Tentu saja tidak” jawabku dengan penuh penekanan. 

Memangnya dia siapa dengan seenaknya akan menyalin tugasku? Aku berdiri dari kursiku, kemudian keluar kelas, meninggalkan wajah heran teman sekelasku. Aku tahu, kejadian ini akan membuatku menjadi mahasiswa terkenal, karena pelitnya.
******  
Aku menatap keluar jendela perpustakaan, menerawang kembali pada kejadian pagi tadi. Ingatan tentang itu terus berulang.  Entah sebenarnya perasaan apa yang aku rasakan. Aku tahu aku sedikit rumit tentang banyak hal. Saat banyak hal tak terduga terjadi dalam hidupku. Maka di sinilah aku, merenungi semuanya. Kesunyian tempat ini memberikan ketenangan. Tempat ternyaman untuk membebaskan diri. 

Buku-buku yang berjejer rapi adalah pemandangan yang indah. Menikmati orang-orang yang tengah sibuk dengan buku bacaan mereka. Aku juga bisa bebas mengimajinasikan banyak hal atau membuat skenario tentang hidupku di dalam otak. Maka, aku bisa tersenyum sendiri hanya karena melakukan hal-hal seperti itu. Bagiku itu menyenangkan. Sesuatu yang membuat bahagia tidak harus nyata. Imajinasi saja sudah cukup.

“Hai”

Aku terkejut mendengar suara yang berhasil membawaku kembali ke dunia nyata. Suaranya tak asing dan tipe suara yang aku benci. Aku tahu pemiliknya. Rasanya aku tak ingin membalikkan badan hanya untuk memastikan tebakanku benar. Aku putuskan diam, pura-pura tak mendengar. Aku tundukkan kepalaku pada buku yang ada di hadapanku. Mencoba tenggelam di dalamnya.

“Aku minta maaf.” 

Sial. Dia sama sekali tak memiliki pengertian bahwa aku tak ingin diganggu olehnya. Tetap, aku memilih diam. Biarkan dia lelah berdiri dan pergi dengan sendirinya. Aku  terus membaca, seolah tak ada yang terjadi.  Lima menit kemudian, aku yakin dia sudah pergi.  Namun, aku salah, saat aku mebalikkan badan, dia masih berdiri dan tersenyum lebar padaku. Ada apa dengan lelaki ini?

“Mau apa kamu? Aku tak mengenalmu. Jangan ganggu aku, tolong. Cukup pagi tadi kamu sudah merusak nama baikku. Mahasiswa itu harus mandiri dan berusaha sendiri. Kamu bukan anak SMP yang seenaknya bisa menyalin tugas temanmu,” aku mengeluarkan rentetan kalimat, menudingnya dengan banyak hal yang aku yakin dia tak mengerti dan heran.

“Wow,” jawabnya dengan ekspresi tak percaya dengan apa yang barusan aku katakan. Ah, aku mengutuk diriku sendiri. Ada apa denganku? Mengapa aku menceramhi laki-laki ini. Padahal dia berniat baik untuk meminta maaf. Sial.

“Ray, temen sekalas lo sejak semester pertama,” katanya sambil mengulurkan tangan dan tak lupa disertai senyum manisnya. Kalimatnya seperti sebuah sindiran. Jadi, aku ternyata memang sependiam itu sampai tak menyadari ada manusia bernama Ray.

Aku mengabaikan uluran tangannya. Kemudian melangkah pergi. Aku tak berniat untuk berkenalan dengannyaa. Dia jenis mahasiswa yang sudah masuk dalam daftar blacklist. Wah, gaya bicaranya seperti  mahasiswa sok gaul. Sialnya, dia mengikuti ku.

Saat sampai di parkiran, aku berhenti dan menatapnya. Sialnya lagi, dia tetap memberikan senyuman terbaiknya. Karena laki-laki aneh di hadapanku ini, aku sudah mengumpat lebih dari tiga kali.

“Mau apa kamu?” tanyaku lagi dengan pertanyaan yang sama seperti sebelumnya. “Mau pinjem tugas lagi?” ah, aku membut masalah lagi.
“Kan tadi gue udah bilang, mau minta maaf. Satu lagi, mau berteman,” jawabnya sambil nyengir memperlihatkan deretan giginya yang putih.

Aku melongo. Manusia jenis apa ini? Setelah apa yang aku katakan dia masih bisa terseyum. “Kamu sudah gila ya. Jangan ikutin aku lagi atau aku bakal teriak dan bilang kamu penguntit,” ancamku. Dan, ancamanku  memang berhasil tapi dia dengan bodohnya melambaikan tengan padaku.

*****
Aku bersyukur, laki-laki bernama Ray itu sudah beberapa hari ini tak terlihat. Dia mungkin memang si raja bolos. Entah mengapa, di saat memoriku mengulang bagaimana tingkah konyolnya, imajinasiku tentang seseorang yang selalu aku seandaikan juga muncul. Jelas sekali merea berbeda. Aku tak penah mengimajinasikan lelaki seperti Ray. 

Dia yang aku imajinasikan selama ini adalah seseorang yang memiliki pemahaman sama sepertiku. Seseorang yang akan mengerti sepertia apa aku, yang selalu mendukung apapun pemikiranku yang rumit, yang selalu mendukungku dalam hal apapun. Ah, aku kembali lagi pada pemikiran ini. Aku tahu sendiri, tak akan ada seseorang seperti apa yang kamu inginkan. Hidup tak pernah sebaik itu. Justru, akan muncul seseorang yang benar-benar berbeda, ya seperti Ray. Lagi, nama itu diam-diam masuk dalam imajinasiku.

Aku menggeleng, berusaha mengusirnya dari imajinasiku.Tak akan ada hari indah, jika dia ada. Hidupku akan semakin rumit jika dia ada di dalamnya.

“Naomi” Suara khas Ruri terdengar. Dia berteriak dari pintu kelas, kemudian berlari kecil ke arahku. Aku hanya tersenyum padanya.
“Ray”

Ah, kenapa gadis ini mengucapkan nama itu di dunia nyata. Cukup dia mengacaukan dunia imajinasiku. Aku manyun, kemudian menggeleng, tak ingin membahas masalah itu. Cukup, aku menerima tatapan aneh setiap hari dari orang-orang yang mengetahui kejadian itu.

“Apa dia lelaki yang selama ini selalu kamu seandaikan” tanyanya dengan penuh semangat. Dia mengbaikan isyarat bahwa aku enggan membahas lelaki itu. Dan lagi, penykait sok tahunya mulai kambuh. Dia senang sekali menebak isi pikiranku.

“Tentu saja bukan. Aku kan sudah bilang lelaki yang selama ini aku seandaikan adalah imajinasiku”
“Ah iya, karena Ray tak sesuai dengan apa yang kamu imajinasikan. Jadi, kamu selalu mengandaikannya. Andaikan dia bisa menjadi seperti yang kamu inginkan, bukan?”

Aku menggeleng. Berdebat dengan Ruri tak akan memiliki ujung. Dia selalu sok tahu tentang pikiranku. “Bukan Ri. Jangan membahas dia lagi. Hidupku akan tambah rumit nantinya.”
“Naomi, tolong. Hentikan bagaimana kamu berpikir tentang hidup kamu yang rumit. Semuanya gak serumit yang kamu pikirkan.”

Aku tersenyum Kemudian, diam mendengar apa yang dikatakan Ruri. Tak bisa berkata apapun. Kadang dia memang benar, hanya saja aku tak tahu mengapa aku begitu memikirkan tentang banyak hal dalam hidupku. Masa depan yang harus terencana, usaha yang begitu keras, menutup diri dari seseorang yang mengusik hati, dan banyak hal lainnya. Apa yang sebenarnya aku takutkan?  

Sejak nama Ray muncul. Hidupku sedikit berubah. Entah apa yang dipikirkan lelaki itu tentangku. Dia memiliki kebiasaan menggangguku. Dia sengaja membuatku kesal. Mengajakku berbicara, mengobrol dan bahkan hanya sekadar menyapa. Aku abaikan semua yang dilakukannya. Aku tak ingin seseorang masuk dalam hidupku. Aku sudah terlanjur nyaman dengan apa yang aku jalani selama ini. Aku biarkan dia melakukan apa yang dia inginkan. Aku terus mengacuhkannya. Aku tak ingin meladeni apa yang dilakukan.

*******
Aku Naomi, meskipun memiliki pikiran yang rumit tentang banyak hal, namun aku masih tetap seorang perempuan yang memiliki hati. Aku mulai terusik olehnya, Ray. Dia mulai menggantikan lelaki yang aku seandaikan selama ini. Kadang, saat aku mengimajinasikan sesosok lelaki yang selama ini menemaniku, Ray muncul. 

Perasaanku mulai terganggu dengan hal-hal yang dilakukannya. Tingkahnya yang menyebalkan kerap mulai aku rindukan. Ah, senyumnya sudah seperti pengisi hariku. Sekuat tenaga aku menahan perasaanku. Aku tak ingin dia memasuki hidupku yang cukup rumit. Aku takut, dia tak dapat menerimaku. Aku takut tentang banyak hal.

Naomi, perempuan aneh yang berpikiran rumit ini sepertinya mulai jatuh cinta pada laki-laki paling dibencinya, Ray.

“Hai, sedang memikirkan tentang hidup?” Aku menoleh. Dia sudah duduk di sampingku. Menatapku sambil tersenyum. Kemudian, dia melihat buku yang aku pegang, ‘Merayakan kehilangan’.

Dia tak bertanya apapun tentang itu. Kemudian, dia menatap ke depan, di antara pohon-pohon, melihat mahasiswa yang sedang tertawa, mengobrol, berdiskusi, dan bercengkrama. Dia diam cukup lama. Dia bertingkah tak seperti biasanya, mengganggu dan menyebalkan. Kesunyian di antara kami, membuat degup jantungku semakin terdengar.

“Kenapa?” Akhirnya aku memutuskan memecah kesunyian. Aku tak ingin dia mengetahui rahasiaku, bahwa aku telah jatuh cinta padanya.
“Masih sering memikirkan tentang rumitnya hidup?” tanyanya lagi. Ah, dari mana dia tahu bahwa aku perempuan yang seperti itu. Ternyata dia ahli menebak seseorang.

“Ya begitulah. Kenapa?”
“Boleh aku menjadi sesorang yang akan selalu mendengarkan apa yang kamu pikirkan? Sebagai tempat kamu memuntahkan isi pikiran kamu. Sebagai sesorang yang akan mengajarkan kamu bahwa hidup tak serumit itu. Dan, kamu bisa menemukan banyak hal yang membahagiakan dalam dunia nyata. Asalkan, kamu menjalaninya denga benar. Semuanya akan baik-baik saja. Jadi, boleh kan aku menjadi lelaki yang kamu seandaikan selama ini?”

“Aku tak tahu kalau kamu bisa berbicara tentang hal semacam itu.” Ray tertawa, pandangannya tak lepas dari ku.  

Sekarang aku tahu, dia bukan penebak yang baik, tapi rahasiaku tentang dia yang selalu aku seandaikan  dan bagaimana aku berpikir tentang rumitnya hidup, telah dibongkar oleh Ruri. Sahabatku itu memang melakukan segala sesuatu yang diinginkannya. Tapi, kali ini aku berterima kasih dia telah membongkar semua itu.

“Bagaimana, aku cukup keren bukan?” Tanyanya sambil tertawa kecil.
“Iya, kali ini aku akui” jawabu sambil tersenyum.
“Jadi, bolehkah?”
“Tentu. Aku harap kamu kuat mengahadapi pikiranku.” 

Aku dan Dia pun tertawa bersama, tenggelam dalam bahagia kami di dunia yang sebenarnya, bukan hanya sekadar imajinasiku belaka.

******
Naomi, perempuan ini sekarang tak sendiri dalam memikirkan banyak hal. Dia sudah memiliki seseorang yang akan selalu mendengarkannya, entah itu tentang apapun. Dia tak peru lagi mengimajinasikan sesosok lelaki yang dia inginkan. Karena, Ray sudah menjadi wujud nyata dari dia yang diseandaikan dalam imajinasinya selama ini. 

Ternyata, dunia tak bepusat padamu, jadi jangan terlalu memikirkan segala sesuatunya denga rumit. Tanpamu, dia akan terus berjalan. Kamu hanya membutuhkan waktu smapai kamu menemukan seseorang yang mampu membawamu menyadari hal itu. Seseorang yang memang tak pernah terpikirkan, tak pernah terimajinasikan, namun datang untuk mengajarkan, membimbing, memahami, menemani, mendengarkan, menerima, dan mencintai.

Hai, aku naomi.
Dan, aku sudah menenmukan dia yang selalu aku seandaikan selama ini, Ray. 
Duniaku tak akan rumit lagi karena dia ada di dalamnya.



To be continue~ Part III, Untitled, 2019

0 Komentar