Google


Episode patah—Pendengar terbaik ku memilih pergi. Tempatku mengeluh dan pulang saat lelah. Bercerita hal-hal sederhana, konyol, bahkan hingga kerumitan dalam hidup. Ketika itu, aku merasa ada seseorang yang akan selalu memihakku dan berdiri di sampingku. Sosoknya yang selalu membuatku bertanya-tanya “Kenapa ya dia sepeduli ini terhadapku?” 

Merelakan banyak waktunya untuk bertemu denganku, menempuh jarak yang tak bisa dibilang dekat. Menuruti keinginanku yang kadang sedikit gila. Yang tiba-tiba muncul di hadapanku, saat pertengkaran-pertengkaran kecil terjadi. Yang memberiku keyakinan bahwa kita akan terus bersama. Tatapan yang memancarkan ketulusan yang dalam. Hal-hal yang dia lakukan membuatku percaya dan berani bersandar padanya. 

Dia yang selalu mengatakan apapun yang dirasakanya, menuliskan surat bersama bunga-bunga yang terus menumpuk di kamarku. Dia yang paling tahu coklat kesukaanku. Dia yang selalu mengapresiasi hal-hal kecil yang aku lakukan. Dia memberikan banyak warna baru dalam hidupku.

Aku tahu, pertengkaran karena hal-hal kecil terus terjadi. Namun, aku tak pernah membayangkan, dia melepas tanganku dengan mudahnya. Dia yang tak pernah ingin melihat air mataku jatuh sedikitpun, menjadi sebab aku terisak malam itu. Duniaku gelap, kepalaku di penuhi memori dan pertanyaan yang tak menuai jawab, dadaku sesak. Menangis menjadi sebuah rutinitas baruku. 

Aku bergantung pada kebiasaan-kebiasan kecil yang dilakukan bersama. Aku ingin bercerita tanpa alur, menghabiskan berjam-jam untuk membahas topik-topik tak jelas. Dan, setelah kepergiannya, hal gila yang kulakukan adalah mengiriminya email. Email yang masih tersimpan rapi di draftku adalah cara untuk berkomunikasi dengan sosok penting yang tiba-tiba hilang. Aku tuliskan perasaan dan rindu yang tak tersampaikan. Aku tumpahkan banyak cerita dan harapan. Doa yang masih inginnya dia hingga akhir. Anehnya, entah mengapa hingga kini, aku tak pernah bisa menghapus pesan-pesan itu. 

Dia adalah pemeran utama untuk setiap tulisanku. Episode tentangnya tak pernah berakhir. Selalu ada cerita yang membuatku kembali pada memorinya. Membawaku berlahan menelusuri setiap kejadian yang ingin aku lupakan. Dulu, rasionalku tak pernah bekerja, selalu aku ikuti kata perasaan. Aku lelah, namun tak memiliki cara untuk mengakhirinya. 

Lucunya, aku sering memamerkan pada dunia, keterpurukanku karena kehilangannya. Seolah dengan mendeklarasikan ini akan membuatnya kembali. Kita memang sudah usai, rasaku pun sudah tak jelas bentuknya. Mungkin beberapa memori masih tertinggal, namun tak ada lagi rasa sesak saat mengingatnya. Aku benar-benar sudah bisa mentertawakannya. 

Aku tak bisa menjamin, ini episode terakhir tentangmu. Mungkin saja, kita akan bertemu pada episode lain yang tak pernah ada dalam skenarioku. 

0 Komentar