Pelan-pelan. Kata itu sudah berulang kali aku katakan. Bentuk sebuah penenangan untuk diri. Entah, aku yang semakin rumit karena umur bertambah atau memang begini sebenarnya hidup. Menuntut diri untuk berlari menyamakan langkah dengan manusia lainnya. Bukan iri tentang hidup orang lain, tapi merasa bergerak lambat dan jalan di tempat. Aku paham tentang setiap orang punya parameternya dalam mewujudkan apapun yang ada dalam hidup. Aku pun memilikinya, tapi ada satu titik di mana pikiran kadang di luar kendali. Dikuasai perasaan-perasaan, kenapa umur segini kamu masih begini? Seolah aku sedang berlomba dengan sisa umur yang tak pasti. 


Lama-lama aku muak sendiri, duniaku bergerak sangat lambat. Malam berganti pagi, namun pikiranku tetap di satu titik. Kamu ingin apa? Aku mencoba membunuh waktu dengan buku self improvement, mencari pembelaan dari kata-kata mendayu tentang hidup. Bahwa sejatinya manusia memang begitu, penuh ekspektasi dengan harapan semuanya berjalan sesuai perencanaan. Aku tahu, apa yang tertulis di sana memang benar adanya. 


Pikiranku penuh, bercabang dan tiap cabang memiliki topik yang berbeda. Penuntutan-penuntutan yang tak memiliki ujung. Aku diam di tempat, tak bergerak untuk mewujudkannya. Aku bingung harus memulai dari mana. Apa dari pertanyaan tentang mengapa diri ini justru mundur? Atau tentang pertemanan? Tentang keluarga? Tentang lingkungan? Tentang kemampuan? Tentang mau jadi apa setelah ini? Dan bahkan masih banyak hal-hal abstrak lainnya yang tak aku pahami. Semuanya adalah bentuk dari ekspektasiku terhadap diri, menghasilkan kecewa karena tak mampu memenuhinya. 


Pikiran-pikiran itu berkembang dan mempengaruhi perasaan lainnya, seperti perasaan kosong, di mana hanya ada diri sendiri yang berdiri di sana. Aku bukan seseorang yang mudah merasa sepi, tapi jika terus diserang begini, pertahananku pun akan hancur perlahan. Kadang aku menyalahkan diri karena tak mampu menjaga hubungan dengan manusia lain. Mengeluh untuk hidup yang tak aku perjuangkan sendiri. 


Apa sih yang dicari diri ini, bahagia? Sebuah akar hidup yang selalu diimpikan manusia. “Perasaan itu, ada dalam diri kita.” Sepenggal kalimat itu, kuserap hingga ku temukan maknanya. Ah, tak perlu jauh-jauh mencarinya, perasaan-perasaan itu, kita hanya perlu mencari pemicu untuk membangkitkannya. Saat jatuh cinta pada seseorang misalnya, dari mana perasaan membuncah dan senang itu datang? Apakah karena bertemu dia? Perasaan itu sudah kita bawa dalam diri, terekspresikan karena dia sebagai pemicunya. Mungkin sedikit rumit, tapi aku harap kamu juga memahaminya.


Aku mulai menyadari sesuatu, seperti sebuah bentuk evaluasi diri. Aku sering lupa bersyukur dan lalai akan tugasku sebagai manusia. Aku bukan sedang menjadi seseorang yang suci dan baik. Apapun yang kita percaya dalam hidup, aku harap kita bisa berpegangan teguh padanya. 


Aku merenung, menenggelamkan pikiran sejak pada hal-hal baik yang terjadi. Ah, Tuhanku sudah sangat baik, memberikan nafas ini terus berhembus. Masih bisa berkomunikasi dengan orang-orang yang ku sayangi, masih bisa tersenyum dan tertawa karena hal-hal sederhana. Aku menutup mata, menarik napas, menghembuskannya perlahan, kurasakan kelegaan dalam diri. Pikiranku menemukan titik terangnya, egoku mulai teredam dan menemukan kontrolnya. Hal-hal sedikit demi sedikit menemukan ritmenya, belajar menerima apapun yang sudah terjadi dan akan terjadi nantinya. Pelan-pelan, semua memiliki waktunya sendiri. Aku tak sedang berperang dengan dunia, ataupun manusia lainnya, tapi berperang melawan diriku sendiri untuk menjadi lebih baik dari versi sebelumnya. 


Kita hanya perlu mengerjakannya perlahan, satu persatu, dimulai dari topik paling penting menurut parameter kita sendiri, tak semua hal di dunia ini harus kita kuasai dan bisa dilakukan, bukan? Aku akan berjalan pada jalur ku untuk menjadi manusia yang selalu bersyukur dan menghargai setiap pencapaian kecil dalam hidup. Aku harap, kamu pun begitu, menemukan jalanmu sendiri tanpa berlomba dengan manusia lain. 

 

0 Komentar